"Kamu sudah punya pacar?" tanya Bu Windia. "Maksud Ibu apa?" tanya Rara seraya mengerutkan keningnya. "Bukankah yang meneloponmu tadi adalah pacarmu?" tanya Bu Windia balik. "Ah itu, Ibu salah sangka. Tadi itu cuman teman satu kelas aku," jawab Rara. "Siapa? Apa Ibu tahu orangnya?" tanya Bu Windia, penasaran. Rara terdiam beberapa saat, ia tampak berpikir lebih jauh untuk ke depannya. Meskipun, ia yakin sang Ibu akan mencari tahu sendiri, jikalau ia tak memberi tahu. "Jevan, Bu," terang Rara. "Ah anak itu, anaknya Pak Haris ya," tanggap Bu Windia. "Baguslah, kamu tak bergaul dengan pengawalmu itu lagi." Rara menghentikkan suapannya, ia menatap Bu Windia bingung. "Maksud Ibu pengawal aku yang mana?" tanya Rara. "Itu yang selalu bersamamu. Kamu kan sering bersamanya," jawab Bu Windia. "Namanya Naren, Bu. Ibu kan tahu kalau dia lagi dalam masa pemulihan," ucap Rara. "Iya Ibu tahu," balas Bu Windia. "Lagian kalau dia sudah sembuh, aku akan bersama dia lagi. Dia itu adala
"Makasih Bu, sudah mengantar aku ke sekolah," kata Rara menatap wanita di sebelahnya.Bu Windia menatap Rara, kemudian ia mengulas senyum. Wanita itu mengelus surai hitam Rara."Sama - sama, Rara," balas Bu Windia.Rara menyalami sang Ibu, ia kemudian turun dari mobil sedan itu."Rara, hari ini Ibu tak bisa menjemput kamu. Pulanglah dengan Jevan ya," ucap Bu Windia.Rara menjawab, "Aku akan bilang nanti ya, Bu.""Baiklah, kamu belajar yang benar ya," pesan Bu Windia.Rara mengangguk, ia kemudian membungkuk sopan seraya melambaikan tangannya. Rara menatap kepergian mobil sedan itu. "Wih, lo diantar siapa tuh?" tanya Sandra yang baru turun dari mobilnya."Itu Nyokap gue," jawab Rara.Sandra membulatkan matanya, terlihat jelas di wajah cantiknya kalau gadis itu terkejut akan ucapan Rara. "Nyokap? Lo uda baikan sama beliau?" tanya Sandra."Iya, sekarang lagi proses," tanggap Rara.Sandra tersenyum tipis melihat wajah Rara, ia mengalungkan tangannya di tangan Rara. "Lo kelihatan bahagia
Rara memberikan helm pada Jevan. "Makasih udah ngantar gue balik ya," kata Rara mengulas senyum. Jevan mengangguk, "Lo kelihatan senang. Hari ini ada hal baik?" tanyanya.. Rara terdiam beberapa saat, ia kemudian menggeleng kecil. Gadis itu memilih untuk tak memberitahu Jevan perihal pulangnya Naren. "Gue hari ini bakalan balik ke rumah utama yang dikasih bokap," terang Rara. Jevan tersenyum kecil, "Perlu gue antar kesana?" "Gak usah. Gue emang mau pulang malam entar kok," jawab Rara. "Kabarin gue ya," pinta Jevan. "Kabarin apa?" tanya Rara bingung. "Lo pulang dari sini. Gue mau antar lo," jawab Jevan. "Gue kan udah bilang gak usah," kata Rara. "Lo sama siapa entar kesananya?" tanya Jevan menatap Rara penasaran. "Gue balik sama taksi kayanya," sahut Rara tak yakin. "Atau bisa minta tolong nyokap antar gue, kalau gak lembur." "Tuh kan. Sama gue aja ya," bujuk Jevan tak menyerah. "Kenapa mau antar gue? Lagian gue -" "Karena gue peduli sama lo dan gue gak mau lo dalam baha
Jevan mengikuti langkah Rara dari belakang. Lelaki itu tersenyum kecil, melihat Rara yang tampak sibuk dengan memilih barang yang ada di depannya. "Lo ngasih kado buat siapa?" tanya Jevan menyamakan langkahnya dengan Rara. Rara menoleh pada Jevan, ia tersenyum manis. "Cuman untuk orang yang gue kenal," tanggap Rara. Jevan terdiam beberapa saat, ia kemudian mengangguk kecil. "Apa gue kenal sama orangnya?" tanya Jevan, penasaran. "Kenapa lo penasaran?" tanya Rara. "Gue enggak penasaran," sanggah Jevan. Rara mengambil sepatu putih di depannya. Ia menunjukkan sepatunya pada Jevan, "Apa ini cocok untuk orang yang mau gue kasih?" tanya Rara. "Iya itu bagus. Sepatu olah raga banyak fungsinya," jawab Jevan. Rara membawa sepatu putih itu ke kasir. Gadis itu meletakkan sepatu putih itu ke kasir. "Tolong bungkus ini," ujar Rara. Pelayan kasir itu mengangguk. Tangannya mulai sibuk d
"Buka pintunya Narendra!" seru seseorang dari luar. Naren memutar bola matanya mendengar suara yang tak asing di telinganya. Lelaki itu membuka pintu dengan perlahan. Seorang wanita melengos begitu saja dan sengaja menabrak pundak Naren. Naren menghela napas melihat wanita yang telah melahirkannya. "Saya tidak mempunyai uang," ucap Naren datar. Wanita itu masih mencari uang di ruang tamu. Dengan sengaja memecahkan akuarium sebagai bentuk memaksa. "Bukankah waktu itu kamu bilang, kamu punya uang?" sentak wanita itu. "Saya terakhir mengabari anda adalah saya tidak punya uang," jawab Naren. "Lalu saya harus bagaimana?" tanya Naren bingung. "Saya tidak tahu, saya mohon jangan buat kacau. Saya baru saja -" Wanita itu menarik kerah Naren dengan paksa. "Tunjukan uangnya!" bentak wanita itu. "Ibu, saya gak ada uang. Saya sudah memakainya," balas Naren tenang. Wanita itu terkekeh kecil, "Dipakai untuk apa?" tanyanya. "Saya memakainya untuk membeli sepatu dan beberapa keperluan
Rara menatap gaun hitam yang ada di depannya. Ia memakai gaun hitam itu kemudian menatap pantulan dirinya di cermin. "Oke, gue harus bersiap nanti malam," ucap Rara.Hari ini adalah hari makan malam keluarga Jevan. Seperti yang direncanakan di awal, ia akan berpura - pura menjadi kekasih Jevan. Rara mengambil ponselnya yang bergetar. Ia menatap layar ponselnya sebelum menjawab panggilan itu."Halo Jev," sapa Rara. "Halo Ra, lo siap kan?" tanya Jevan."Iya gue siap. Jangan lupa yang waktu itu kita bahas," pesan Rara. "Oke, gue sudah mengingatnya. Lo harus tampil cantik ya biar meyakinkan mereka yang hadir di makan malam nanti." pesan Jevan."Tentu saja, gue akan berusaha keras biar lo dan Sandra terbebas," timpal Rara semangat."Hahaha, lo lucu banget," kekeh Jevan."Hah? Lucu?" "Gue akan jemput lo saat jam tujuh malam di rumah lo," ucap Jevan berdeham kecil."Oke, gue akan tunggu lo," sahut Rara.Jevan memutuskan panggilan teleponnya. Rara membuka aplikasi catatan di benda pipih
"Nona cantik sekali," puji Bibi Ica. Rara menatap pantulan dirinya di cermin. Ia menarik napasnya kemudian menghembuskan napasnya perlahan. Gadis itu tersenyum manis. "Nona, Tuan Jevan sudah menunggu di luar," kata Bibi Nia. Rara mengangguk. "Bi, aku gak terlihat aneh, kan?" tanya Rara. "Tidak Nona. Nona cantik sekali," tanggap Bibi Nia. Rara akhirnya keluar dari ruangan khusus gaun. Gadis itu keluar dari rumahnya. "Jevan!" seru Rara melambaikan tangan. Jevan yang sedang memainkan ponselnya, segera menghentikan kegiatannya. Ia mengangkat kepalanya. Seketika lelaki itu merasa dunianya berbunga. Rara terlihat cantik dengan gaun hitam model off shoulder. "Wow lo cantik banget Ra," puji Jevan. "Makasih. Lo juga tampan," tanggap Rara ceria. Rara menatap penampilan Jevan dari atas ke bawah. Lelaki di depannya memakai jas hitam dan dasi berwarna hitam. "Gue gak salah milih lo," ucap Jevan. "Sebenarnya, gue takut banget kelihatan aneh. Tapi ternyata enggak ya," kata Rara. "
"Jadi ada yang bisa jelaskan, apa yang terjadi antara kalian?" tanya Ayah Haris. Rara dan Jevan berpandangan. Rara memilih bungkam daripada ia salah berbicara. "Kita gak seperti yang ayah pikirkan," terang Jevan. Ayah Haris mengangkat alisnya, "Memangnya kamu tahu pikiran ayah?" "Tidak," jawab Jevan singkat. "Sebaiknya kalian jelaskan pada ayah tentang kejadian hari ini," pinta Ayah Haris. "Jev, lo aja yang jelaskan," bisik Rara pelan. Jevan meneguk ludahnya, ia berdeham kecil. "Ini adalah rencana aku agar terhindar dari perjodohan yang mau dilakukan," aku Jevan hati - hati. "Dengan mengaku pada Bu Sri kalau kamu punya pacar?" tanya Ayah Haris, memastikan. "Iya Om. Aku disini membantu Jevan agar dia dan Sandra tidak dijodohkan lagi," sahut Rara. "Lalu apa benar kamu adalah pacar Jevan?" tanya Ayah Haris menatap Rara. "Dia -" "Bukan Om. Saya hanya teman Jevan," tegas Rara. Ayah Haris mengangguk. Ia melirik putranya yang terlihat sedih. "Kamu memangnya tidak ada peras