“Lo mau ikut dulu sama gue?” tanya Jevan.
Rara menatap Naren, meminta persetujuan.
“Silakan, naik mobil Jevan. Saya akan mengikuti dari belakang,” ucap Naren sembari memakai helmnya.
Rara tersenyum tipis, “Makasih ya.”
Rara masuk ke mobil Jevan. Naren mulai menyalakan mesinnya. Naren mengangguk ke Sonia yang melambaikan tangannya. Sonia menatap ketiga teman barunya, ia tersenyum senang. Sonia merasa kalau lingkungan Rara menjadi lebih baik.
Jevan melirik Rara yang duduk di sampingnya. Rara menyandarkan tubuhnya ke kursi, ia menghela napas.
“Hari ini berat ya?” tanya Jevan fokus menyetir.
Rara mengarahkan tubuhnya ke Jevan, “Yah, gue kaget. Gak siap sama sekali. Gue pikir pertemuan dengan nyokap gue bakalan hangat dan terharu. Ternyata…kenyataannya gak seindah yang gue bayangin.”
“Tante Windia sebenarnya baik, cuman dia emang gak suka kalau bergaul dengan orang rendahan,” ujar Jevan.
Rara menimpali, “Itu gak baik
Terima kasih sudah membaca~ Mohon dukungannya.
“Lo udah sarapan?” tanya Rara sembari membukakan pintu untuk Naren. “Sudah,” jawab Naren sembari duduk di lantai depan meja lipat kecil. Rara memang tidak mempunyai meja untuk makan. “Bener?” tanya Rara membawa sandwich buatannya ke meja lipat kecil. “Iya,” ucapan Naren tidak sesuai dengan isi perutnya yang berbunyi. Rara yang mengunyah gigitan pertama, melirik Naren sekilas, tanpa sadar ia menahan tawanya. Naren bergumam pelan, ia sedikit malu. Rara menggeser piringnya, ia menatap Naren. “Makan aja Ren. Ini masih ada satu lagi.” “Boleh?” tanya Naren ragu. “Iya boleh, lo santai aja,” kata Rara tersenyum. Naren mengambil sepotong sandwich itu dalam diam. Ia menatap Rara yang sibuk membaca buku sambil memakan sandwichnya. “Lo sebaiknya makan aja dulu,” kata Naren memberi saran. Rara menoleh, “Ini kebiasaan gue kalau mau ulangan.” “Emang hari ini ada ulangan?” tanya Naren mengerutkan keningnya.
“Lo ngelewatin ulangan,” kata Naren melirik Jevan yang baru bergabung dengannya di kantin. Jevan mengangguk, “Gue udah minta waktunya entar pas pulang, buat nyusul ulangan.” “Rara mana?” tanya Jevan menatap sekelilingnya. “Sama Sandra, lagi ke toilet,” jawab Naren sembari sibuk memainkan ponselnya. “Sandra?” Jevan mengerutkan keningnya, ia baru mendengar nama itu. “Murid baru di kelas. Tadi pagi, baru aja datang,” Naren menyimpan ponselnya saat es tehnya datang ke meja. “Nama lengkapnya bukan Sandra Carissa kan?” tanya Jevan. “Gak tau, gak peduli gue,” balas Naren cuek. “Salah sih nanya ke lo,” komentar Jevan. “Jevan, lo udah selesai urusannya?” Rara baru saja datang diikuti Sandra yang mengambil duduk di samping Naren. “Udah, Ra,” Jevan melirik murid baru yang sibuk memainkan ponselnya. “Sandra?” Sandra mengangkat wajahnya, matanya membulat saat melihat sosok Jevan. “Jevan?” “Kalian kena
“Naren, jalan lo jangan cepet – cepet dong,” ucap Sandra sembari berusaha menyamakan langkah kakinya dengan Naren. Naren melirik Sandra sebentar, ia mendengar ucapan Sandra. Tetapi, Naren memilih tidak peduli dengan ucapan Sandra. “Lo emang deket ya sama Rara?” tanya Sandra penasaran. “Apa hubungannya sama lo?” Naren berbalik bertanya. “Gue cuman penasaran aja,” jawab Sandra mengangkat bahunya. Naren tak menanggapi lagi ucapan Sandra. “Sandra,” seseorang memanggil Sandra. “Iya?” sahut Sandra. “Lo dipanggil TU. Untuk ngurus masalah kepindahan lo,” ucap orang yang memanggil, Linda namanya. “Oke. Makasih ya,” ucap Sandra tersenyum. “Sama – sama,” Linda berlalu dari hadapan Sandra. Sandra menatap Naren yang ternyata menunggunya sejak Sandra mengobrol dengan Linda. Sandra tersenyum melihat Naren, ia mendekati Naren dengan semangat. “Lo tau TU dimana?” tanya Sandra. “Tau,” jawab N
Jika dilihat dari luar, kafe RealTaste terlihat seperti kafe pada umumnya yang menonjolkan suasana nyaman dan sederhana. Lokasinya strategis membuat banyak yang mengunjungi kafe ini, baik dari golongan pelajar, mahasiswa, ataupun orang dewasa. Cat dinding berwarna biru langit dipadukan dengan hiasan kayu menambah kesan hangat dalam kafe. Rara yakin menu disini ramah di kantong pelajar seperti dirinya. Buktinya, pelajar dari sekolah elit lain tampak asik menikmati suasana di kafe. Rara duduk di kursi paling ujung, ia tidak ingin menjadi pusat perhatian. Seorang pelayan mendekati Rara dan menyerahkan buku menu. “Saya boleh nunggu teman saya dulu?” tanya Rara menatap pelayan. Pelayan itu tersenyum ramah, “Baik. Nanti silakan panggil saya kalau anda ingin memesan.” Pelayan itu berlalu dari hadapan Rara. Rara membuka buku menu itu perlahan. Matanya melotot melihat harga yang tertera di buku menu itu. Rata – rata harga yang tertara adalah dua digit pertama.
Naren menatap orang yang ia panggil ‘Tuan Besar’ itu. Naren hanya dapat menatap punggung yang tampak tegas itu dalam keheningan, karena pria di hadapannya masih sibuk mengurus tumpukan berkas.“Ada apa Naren?” tanya pria itu sembari menyimpan berkasnya.“Saya ingin membuat laporan mengenai apa yang terjadi hari ini,” ujar Naren sopan.“Saya mendengarkan,” balas pria itu.“Hari ini, Nona Rara bertemu Sandra, ia adalah murid baru di kelas kami. Sandra bertanya mengenai identitas saya, dan Nona Rara mengatakan kami hanya teman SMP. Kemudian, Sandra bertanya mengenai mengapa anda tidak membawa Nona Rara saat perayaan perusahaan Jarvis. Nona Rara menjawab kalau ia sibuk,” ucap Naren menjelaskan.“Wah, pintar juga anak itu,” komentar pria itu pendek.“Tuan Besar, saya ingin menyelidiki lebih jauh mengenai Sandra Carissa. Kemudian, Nona Rara khawatir kalau ada yang bertan
“Ada apa, Bi?” tanya Naren menatap wanita berumur itu. “Bibi belum bilang kalau hari ini pelayan khusus Nona Rara, Bi Ica dan Bi Nia pulang jam sepuluh malam,” ungkap Bi Santi menatap Naren. “Nona Rara sudah bilang ke saya. Tapi, apakah ini sudah dibahas dengan Tuan Besar?” tanya Naren. “Ah itu…” Bi Santi tampak berpikir. Naren menghela napas, ia menepuk pundak Rara. “Nona,” “Jangan bangunkan Nona Rara,” cegah Bi Santi. “Saya gak bisa ngobrol dengan benar kalau Nona Rara masih disini,” balas Naren kembali berusaha membangunkan Rara. “Saya kan su-“ “Bi, bisa bantu saya bangunkan Nona Rara?” sela Naren. Bi Santi akhirnya mengalah, ia mendekati Rara dan menepuk pelan pipi Rara. Rara yang merasa terganggu berusaha bangun dan mengumpulkan kesadarannya. “Uhh…Naren? Bi Santi?” Rara tampak kebingungan. “Nona, ayo saya antar ke kamar,” ucap Bi Santi lembut. “Tidak Bi. Saya saja yang mengantar Nona
Rara mengacungkan jempolnya ke Chef Dino. “Ini enak banget, aku jatuh cinta sama masakan Chef.” “Suatu kehormatan, Nona,” Chef Dino menunduk sopan. Chef Dino kembali sibuk di dapur. Rara menatap Bi Nia, Bi Ica, dan Bi Santi yang berdiri tak jauh darinya. Rara sedikit heran, biasanya Bi Santi akan memberi perintah pada pelayan lain, ditambah Bi Nia dan Bi Ica yang terlihat tak nyaman dengan kehadiran Bi Santi. “Selamat pagi, Nona,” Naren datang dengan membawa amplop putih. Naren melangkahkan kakinya ke samping Rara, berdiri tegak. Rara menatap Naren bingung. “Ngapain lo?” tanya Rara sembari berbisik. Naren memberikan amplop putih ke Rara, “Buka ini dan bacakan. Ini perintah Tuan Besar.” “Emang isinya apa?” tanya Rara sembari membuka amplop putih. Naren tak menjawab apapun, matanya menatap Bi Santi yang sudah tampak gelisah. Bi Ica dan Bi Nia ikut tegang karena keduanya sedikit terlibat. Rara membaca isi surat itu,
Rara tampak melamun di meja kelasnya. Ia menghela napas perlahan, masih terbayang di benaknya ucapan Bi Santi. Rara bertanya pada Naren mengenai maksud dari ucapan Bi Santi, tetapi si lawan bicara hanya mengangkat bahunya. “Ra,” panggil Amel dari depan pintu kelas. Rara mendekati Amel dan menatapnya dengan tanya. “Kak Rai mau ngomong sama lo nih,” Amel mendorong Rara agar keluar dari kelas. Amel tanpa peduli kembali masuk ke kelas. Raihan menyimpan ponselnya di jas sekolah. Ia menatap Rara yang menatapnya dengan pandangan tidak suka. “Mau apa?” tanya Rara. Raihan mengulurkan tangannya. Rara hanya menatap uluran tangan Raihan tanpa berniat menyambut uluran tangan. “Niat gue baik,” ujar Raihan menarik kembali tangannya. Rara tak menanggapi apapun, ia sibuk menatap sekitarnya yang lebih menarik dipandang. Raihan menghela napas, “Gue mau minta maaf atas omongan gue kemarin.” “Tenang aja Kak, gue udah nerima