Part 34"Ayu juga kecewa sama ibu! Ayu aja yang mendengarnya sakit, Bu! Apalagi Dewi? Apa ibu tidak berpikir kesana? Demi kebahagiaan Arin, ibu rela mengorbankan perasaan Dewi? Anak yang selama ini baik pada ibu?!" pekik mbak Ayu lagi. Dia memandang Arin dengan tatapan sinis."Kalian ini sudah gila ya? Aris suruh bertanggungjawab untuk hal yang tidak dia lakukan?!" tukas mbak Ayu lagi. Ia terlihat begitu kesal. Berbeda denganku yang langsung menangis.Aku makin tergugu. Astaghfirullah, sungguh berat mendengar ini semua. Apalagi keluar dari mulut ibu, seseorang yang selama ini aku hormati. Kulihat ibu juga menangis, ibu seperti menyesali perkataannya. Tapi kenapa ibu begitu tega melakukan hal ini? Memberikan pilihan yang sulit bagiku dan juga bagi Mas Aris. Rasanya kepercayaanku pada ibu hancur berkeping. Dan adikku Arin, aku begitu menyayanginya setulus hatiku, tapi ia tega merusak kepercayaanku, menusuk dari belakang. Meminta hal yang tak bisa kuberikan. Aku tak bisa, sungguh aku tak
Part 35Di Rumah Ibu."Bu, kau lihat sekarang Bu? Dewi pasti kecewa sama ibu! Apa ibu tidak menyesal?" Ayu terus mendesak ibu. "Harusnya ibu tahu bukan? Kalau Aris disuruh menikah dengan Arin, berarti sama saja menyuruh Aris dan Dewi untuk berpisah?" sahut Ayu lagi.Ibu menangis, lagi-lagi menangis. Obu menyesali ucapan yang terlontar dari mulutnya sendiri. Ia tak bisa menjaga hati Dewi demi ingin menyelamatkan hati Arin."Mbak, tapi aku gak minta mereka berpisah. Aku mau kok jadi yang kedua..." sahut Arin. Ia masih shock dengan penolakan yang dilakukan oleh Aris secara terang terangan.Plaakkk...!! Sebuah tamparan mendarat di pipi Arin.Ayu sudah geram dengan sikap adiknya itu. Dia menamparnya sekali lagi."Heh gadis bodoh! Kau sudah gila ya? Apa kau tidak tahu? Apa ibu juga tidak tahu? Kalau dalam agama islam tidak boleh menikahi kakak dan adik kandung sekaligus?" ujar Ayu dengan nada berapi-api.Arin menatap Ayu dengan penuh kebencian. Dari dulu, Ayu selalu keras padanya. Berbeda
Part 36Arin hanya menunduk. Air matanya kembali turun. Dia mulai terisak"Kenapa, Rin? Kenapa kamu membohongi kami semua? Katakan dengan jujur, Rin!" Dani ikut menimpali. Ia sangat menyayangkan sikap adiknya yang kekanak-kanakan dan ratu drama. Bisa-bisanya ia membohongi satu keluarga demi kebohongannya. Bahkan ia memulai sandiwara yang lain agar bisa memiliki sang kakak ipar. Sungguh keterlaluan! Sangat keterlaluan."Arin... Arin cuma ingin dapatkan simpati dari kalian semua, terutama mas Aris. Selama ini kalian sibuk dengan kehidupan kalian masing-masing. Kalian tak pernah memperhatikan Arin," jawabnya. Membuat semua orang gemas dan juga kesal."Astaghfirullah... Bisa-bisanya kamu berkata seperti itu, dek" sahut mbak Ayu dengan nada kecewa."Maaf... Tapi Arin serius kalau Arin menyukai mas Aris.""Astaghfirullah, kamu masih belum sadar-sadar juga dek... Dia itu kakak iparmu lho, apa kamu gak menganggap mbak Dewi? Apa kamu gak menghargai mbak Dewi? Sampai-sampai berpikiran untuk mer
Bab ini tentang cerita masa lalu ibu Bab 37Betapa kemiskinan itu sangat menyakitkan. Dihina, dimaki, dikucilkan sudah hal biasa yang kami terima.***"Dek, maaf... Mas cuma bawa uang 10 ribu saja," ucap suamiku sambil menyerahkan selembar uang 10 ribuan. Wajahnya terlihat lelah, peluhnya bercucuran di tubuhnya. Pekerjaannya memang serabutan, hanya sebagai kuli panggul di pasar. Untuk sekadar mencari kebutuhan untuk makan saja terasa begitu sulit. Apalagi untuk memenuhi kebutuhan yang lainnya.Aku tersenyum mencoba menguatkan suamiku. Aku tahu susahnya mencari uang, apalagi di kampung seperti ini. Tapi aku tidak mau menyia-nyiakan hasil jerih payahnya. Aku terima dengan suka cita. Karena seberapapun itu adalah nafkah darinya."Tidak apa-apa mas, insyaallah segini juga cukup," sahutku. Padahal dalam hati aku pusing harus seperti apa mengatur keuangan ini. Harus membeli apa agar cukup untuk makan hari ini. Garis kemiskinan sungguh membuat kami mengikat pinggang, menahan segala rasa yan
Bab 38Kubukakan mataku dan melihat sekeliling. Ini tempat yang begitu familiar, ya ini adalah kamarku. Aku ingin beranjak, tapi semua tubuhku terasa nyeri dan ngilu. Lalu terbayang lagi peristiwa tadi malam. Peristiwa yang paling pahit aku alami. Perisfiwa kelam yang takkan bisa kulupa begitu saja. Sepertinya aku pingsan di tempat terkutuk itu, tapi kenapa aku sekarang bisa ada di rumah?"Aaaarrrrgggghhhh....!!" teriakku frustasi. Aku sudah gila, benar-benar gila memikirkan semua ini. Tubuhku sudah kotor, benarkan? Dia melecehkanku. Dia, orang itu, pria itu, entah siapa, aku tak mengenalnya yang jelas dia hanya seorang pemabuk.Kulihat ibu berlari-lari tergopoh-gopoh menghampiriku. Mungkin tadi dia mendengar teriakanku tadi. Ah, aku benar benar kotor sekarang. Dia menangis melihatku. "Nduk, kamu sudah sadar sayang?" tanya ibu begitu lembut dan perhatian.Tak ada jawaban yang keluar dari mulutku. Sesak rasanya. Dadaku seperti dihantam oleh batu besar, sulit sekali untuk bernafas. Aku
Bab 39Hari berganti hari, aku makin stress dibuatnya. Apalagi mendengar ocehan para tetangga. Yang seolah selalu menyudutkanku. Bukannya mendukung, tapi justru menyudutkan aku yang hanya seorang korban perkosaan. "Makanya jadi wanita itu harus bisa jaga diri, biar gak diincar laki laki lain. Dah punya suami masih saja umbar tubuh dan tebar pesona. Ya akhirnya begitu. Rasakan sendiri akibatnya."Kata kata yang kerap kali aku dengar menyudutkanku, menyalahkanku sebagai wanita. Ya, siapa yang mau menjadi korban pelecehan. Akupun tak sanggup. Apalagi hari hari kujalani seperti penuh hina dan caci membuat mentalku makin down.Berulangkali aku mencoba untuk bunuh diri, tapi selalu saja gagal. Ibu selalu menolongku. Ibu yang selalu menyemangatiku. Hingga kandunganku semakin hari semakin besar. Perut yang tadinya rata mulai membuncit. Aku tidak tahu kenapa diperkosa justru aku hamil. Hamil anak yang tak pernah kuinginkan. Ingin kugugurkan saja kandungan ini karena sudah menjadi aib keluarga
Bab 40Hari hari berlalu dengan cepat, mas Hasan selalu jadi suami siaga, dia merawatku dengan sangat baik.Dia menyisir rambutku setelah selesai mandi, dia juga yang menyuapiku makan. Mengajak aku berbincang dan bercanda bersama. Setiap hari selalu begitu. Ya, dia sangat setia membantuku untuk bangkit kembali.Mendengar ocehan tetangga, yang masih memojokkanku, akhirnya mas Hasan mengajak kami pindah rumah."Dek, kita siap-siap ya... Kita pindah dari rumah ini dan memulai hidup yang baru," ucapnya kala itu.Aku mengangguk. Mungkin inilah kesempatan terbaik untuk kami. Pindah dari lingkungan tetangga yang toxic."Ini juga demi kebaikanmu, agar kamu tidak trauma dengan kejadian itu. Agar mereka tak membicarakanmu lagi. Kamu butuh tempat yang tenang, semoga kamu bisa pulih kembali," jawab Mas Hasan. Ah dia begitu peduli padaku. Sangat peduli bahkan dia mengesampingkan perasaannya sendiri yang mungkin kecewa karena aku.Aku mengangguk lagi.Dia tersenyum lalu mengecup keningku dengan lem
Bab 41Hari hari berlalu, kini tiba waktunya Arin menikah. Adik bungsuku akan melepas masa lajanganya di usia yang masih sangat muda. Tapi dua keluarga sudah bertemu dan mencapai kesepakatan bersama. Jadi tak ada yang perlu dikhawatirkan lagi.Satu hari sebelum hari H."Mbak, tolong Arin mbak... Arin gak mau nikah sama Zaky. Tolong Arin mbak..." rengek Arin padaku. Aku heran kenapa bisa begitu? Bukankah semuanya sudah setuju?Dia menangis, air matanya tumpah tak berhenti turun. Apa maksudnya dengan gadis ini? Kenapa dia tak mau menikah? Bukankah sudah disetujui pernikahan ini?"Mbak... Mbak Dewi bisa kan bantu aku? Arin gak mau nikah sama Zaky, mbak..." ujarnya lagi. Ia seolah frustasi."Tunggu dek, kenapa kamu gak mau nikah sama Zaky? Bukannya dia itu pacarmu, dek? Ada apa sebenarnya ini?" tanyaku lagi. Bisa gawat kalau dia tak mau menikah, bisa bisa kesehatan ibu drop lagi karena banyak pikiran."Arin trauma sama dia mbak... Dia sangat kasar, Arin gak mau punya suami seperti dia," s