Share

7. Aku Menantu Idaman Tapi Bukan Istri Pilihan

7

Pemenang itu  bisa saja lebih dari  satu. Agar bisa menang, yang lain tak  harus disingkirkan.  Biarkan dia  membayang-bayangi kesuksesan kita. Kita tak  harus tampil menjadi satu-satunya pemenang.  Tak perlu menginjak  orang lain agar bisa berdiri kokoh.  Kita bisa berdiri  sama-sama. Bahkan  menjalin kerja sama.

===

Berjalan terburu-buru, aku melewati lelaki itu. Dia menatapku dari kejauhan, saat melangkah  melintasi halaman nan luas rumah mewah itu. Tak peduli dengan tatapannya, aku menerobos masuk. Hampir saja aku menabrak tubuhnya, saat dia menghalangi jalanku menuju pintu utama.

“Sebentar, aku mau bicara!” Dia menangkap lenganku.

Terpksa langkahku terhenti.

“Maaf!”  ucapku menatap tajam cengkraman tangannya di lenganku, sebagai protes atas perbuatan tak sopannya.

“Aku mau bicara,” tuturnya melonggarkan cengkraman.

“Lepas tangan  saya!” perintahku tetap tak mengalihkan tatapan.

“Ok, tapi kamu jangan pergi dulu sebelum aku berbicara.”

“Baik, silahkan! Satu menit waktu kamu!”

“Sok hebat banget kamu, ultimatum aku seperti itu! Ini rumahku, kamu itu hanya numpang. Kebetulan aja, Mama dan Papa menyukaimu. Palingan sudah kamu sogok dengan sikap sok alim dan gamis murahanmu itu.”

“Kamu mau berbicara atau mengatai aku? Waktumu tinggal setengah menit!”

“Gak usah sok ngatur aku! Terserah aku  mau berbicara berapa lama denganmu!”

“Maaf, waktumu habis!”

“Indri!” Kembali tangannya mencekal lenganku saat aku hendak bergerak pergi.

Kali ini aku tidak diam. Kukibaskan cengkramannya dengan kasar. Bersyukur sekali dulu aku sempat  dipaksa Bapak ikut latihan bela diri. Meski hanya  menguasai tingkat dasar, setidaknya  tubuhku tidak kaku  untuk melawan dalam keadaan terdesak.

Lelaki itu terkejut, gerakanku yang spontan mampu membuatnya agak limbung.  Mendengkus kasar, dia menatapku dengan sorot mata aneh. Aku tak peduli.

Kuteruskan langkah masuk ke dalam.

“Jangan cerita pada Papa dan Mama tentang peristiwa tadi!” serunya.

Jadi, hal itulah yang ingin dikatakannya rupanya. Dia khawatir rahasianya kubongkar.

“Hemh, dasar pengecut!” ketusku sinis  menoleh ke arahnya. “Kalau kau tidak mau Papa dan Mamamu mati tiba-tiba! Jaga sikapmu!”  sergahku kasar! Tak perlu menjaga kesopanan pada lelaki itu, karena dia yang memulai bersikap seperti ini.

“Kau!” teriaknya melotot.

Aku tersenyum miring lalu  berjalan cepat. Kutinggalkan dia yang menatapku dengan geram.

Mungkin dia berpikir, aku akan menyerah kalah dengan sikap dan mulut kasarnya. Lalu memilih keluar dari rumah ini. Kupastikan tidak! Orang tuanya telah memintaku untuk merubah sifat buruknya. Dan aku telah berjanji menyanggupi. Akan kubuktikan, bahwa aku bisa. Meski pada akhirnya, aku akan meninggalkannya juga. Dia bukan jodohku, aku yakin itu.

==

“Indri! Kamu sudah pulang, Nak? Katanya mau ke butik tempat kamu kerja dulu? Kamu bertemu dengan manajernya yang bernama Johana?” Papa mertua memberondong dengan kalimat itu, saat melihatku berjalan menghampiri mereka di halaman samping. Sepasang suami istri itu tengah berjemur, menikmati  hangatnya sinar matahari di pagi  cerah itu.

“Maaf, Pa. Saya kurang suka dengan cara Papa,” ucapku hati-hati. Aku tahu, kewajibanku bersikap hormat pada mertuaku. Tetapi, jika cara mereka dalam menyikapi suatu masalah kurang tepat, apalagi sampai melindas  orang bawah, aku  akan mencoba meluruskan. Semoga mereka bisa terima. Keluarga kaya raya  ini, harus bisa  berubah menjadi manusia yang  punya hati. Harta bukan segala-galanya.

“Ma …  maksud, kamu, Sayang?”  Mama mertuaku terkejut dengan reaksiku, sama seperti suaminya.

“Papa membeli butik itu secara paksa, saya tahu itu. Maaf, jika saya  dianggap kurang sopan. Tetapi, jujur, saya tidak suka cara Papa menguasainya. Saya tahu Papa orang hebat. Bagi Papa, membeli butik itu hanya seperti membeli sebungkus kacang  goreng di pinggir jalan.  Begitu gampang dan mudah. Apalagi Papa bisa membayar dengan harga di atas yang mereka minta. Tetapi, pernahkah Papa berpikir bagaimana nasip para karyawan yang bekerja di butik itu? Mereka akan kesulitan cari kerja lagi, Pa. Kenapa Papa memerintahkan mereka agar mengosongkan butik segera?”

“Maaf, Indri. Papa hanya ingin menyenangkan hatimu, Nak. Kamu bilang mau bekerja lagi. Kami malu bila menantu kami bekerja di bawah perintah orang lain. Makanya kami beli saja butik itu untukmu!” Papa menerangkan.

“Terima kasih banget, kalau Papa membeli itu untuk  saya. Tetapi bukankah kita bisa mendirikan butik sendiri tanpa harus menguasai butik orang lain, Pa? Kita tak perlu menginjak  orang lain agar kita bisa berdiri,  bukan? Kita bisa berdiri  sama-sama. Bahkan kalau bisa menjalin kerja sama, iya, kan, Pa?”

“Kamu benar, Nak. Tetapi di dalam menjalankan bisnis yang selama ini Papa geluti, tidak bisa seperti prinsip seperti kamu itu. Pemenang itu hanya satu. Agar bisa menang, yang lain harus disingkirkan. Kalau tidak, selamanya dia akan membayang-bayangi kesuksesan kita. Kita harus bisa tampil menjadi satu-satunya pemenang.”

“Terus, Apakah Papa bahagia, jika Papa sukses  sementara saingan Papa menderita? Keluarganya terancam  tidak bisa melanjutkan hidup?”

“Indri, sejauh itu pemikiran kamu, Sayang?”

“Iya, dong, Pa.  Kesuksesan itu hanya milik Allah semata. Jika Allah ingin mencabutnya, maka detik ini juga, itu bisa terjadi.  Tidak melulu hidup ini masalah siapa yang pemenang dan siapa yang paling sukses. Perlu juga kita pikirkan bagaimana ratapan orang-orang yang tertindas karena perbuatan kita!”

“Kamu benar, Sayang. Papa sering mendengar kalimat itu di pengajian. Tetapi,  hanya lewat bagai angin lalu.   Tak pernah bisa Papa wujudkan dalam kehidupan nyata. Kami memang tidak salah memilihmu menjadi bagian keluarga ini. Ingatkan  Papa dan Mama bila salah bersikap, ya Sayang.”

Tangan lelaki itu terjulur, aku mendekat. Dia memelukku, menepuk-nepuk punggungku dengan lembut. Istrinya ikut tersenyum penuh haru. Sedang putranya mengintip dari balik tirai  gapura tengah. Sempat kulihat mulutnya mencibir.

“Jadi, bagaimana menurutmu tentang butik itu, Sayang?” Mama menatapku lembut.

“Kalau Papa dan Mama  izinkan, semua karyawan yang bekerja di situ, biarlah tetap bekerja, meski pemiliknya sudah berganti,” jawabku hati-hati.

“Papa ikut apa keputusan kamu, Sayang. Butik itu milikmu! Silahkan kamu kelola! Kalau butuh suntikan dana, kamu jangan segan bilang Papa, ya, Nak!”

“Makasih, Pa.”

Kuraih dan kucium punggung tangan ke dua mertuaku.

“Saya ke sana  sekarang, untuk menenangkan mereka, ya, Pa, Ma!” izinku kemudian.

“Sama siapa? Diantar Haga, ya! Haga …!” Wanita itu berteriak. Mas Haga datang  menghampiri.

“Tidak usah, Ma! Saya naik taksi saja!” tolkku halus.

“Tidak, Haga sedang tidak bekerja di kantor, bukan. Biar dia yang mengantar kamu!”

“Haga capek, Ma. Mau istirahat.” Mas Haga berlalu dengan angkuhnya.

Aku menelan saliva. Andai dia mau pun aku pasti akan menolak. Tetapi melihat sikapnya seperti itu, membuat harga diriku tertantang. Tetpi, apa yang bisa kulakukan sekarang? Tenang! Ya, harus tenang. Belum saatnya bertindak.

“Indri nyetir sendiri aja, bawa mobil Papa, Nak!” usul  Mama kemudian.

Lelaki itu berbalik.

“Apa? Mama bilang apa? Gak salah ucap? Dia Mama suruh stir sendiri?” tanyanya  sembari mengangkat telunjuknya  ke arahku sambil terkekeh sinis.

“Iya, kenapa? Tapi kamu capek, mau istirahat, kan? ” jawab ibunya  geram.

“Perempuan miskin, perempuan kampung kayak dia,  bisa nyetir? Hahahaha ….”

Aku membeku. Ya, daripada aku emosi dan terbakar mendengar penghinaannya, lebih baik kubekukan hatiku agar dingin.  Menarik napas dalam-dalam, lalu menghembuskannya perlahan. Kulakukan berulang kali.

“Jaga mulutmu, Haga! Kalau Indri tidak bisa nyetir, siapa yang menyelamatkan Papamu saat pingsan di lampu merah waktu itu?”

“Apa?” Mas Haga tercekat. Matanya membulat menatapku kami bergantian.

“Papa harap kamu bisa bersikap lebih baik pada istrimu, Ga! Tolong kau hargai dia! Berhenti menyebutnya perempuan kampung!” Papa mertua berkata penuh tekanan.

“Maaf, Pa. Haga gak bermaksud menghina dia, kok. Tadi itu keceplosan aja, canda, Pa.” Mas Haga membela diri, namun  aura terkejut dan meremehkan masih terlihat jelas di sorot matanya.

“Candanya kelewatan, Nak. Bisa menyakiti perasaan istrimu.”

“Iya, Pa. Maaf, ayo, aku antar!” Mas Haga menarik lenganku.

Segera kutepis dengan halus, karena mata kedua mertuaku tak lepas mengawasi  kami.

“Maaf, sebenarnya saya lebih nyaman naik taksi aja. Tapi, kalau Papa dan Mama merasa gengsi menantu kalian naik taksi, saya nyetir sendiri saja. Pinjam mobil Papa,” ucapku pelan.

“Baik, Sayang. Ini kuncinya! Hati-hati, ya!  Dan kalau memang kamu butuh mobil, besok pagi, sudah ada, Nak.”

“Tidak usah, Pa.” Aku terperangah. Gila keluarga kaya ini, beli mobil seperti beli bakwan saja.

“Kamu menantu kami,  semua yang ada pada dirimu adalah harga diri kami, Nak.”

Aku  hanya bisa menurut. Terserahlah. Kuraih kunci mobil milik Papa mertuaku. Lalu berjalan menuju port-car, di mana mobil mewah itu terparkir. Mas Haga mengikutiku.

“Aku belum yakin,  kamu bisa nyetir. Ini mobil mewah, lho, bukan angkot!”  cecarnya menjejeri langkahku.

Aku tak selera melayani ucapannya.

Gegas kubuka pintu mobil, dan melemparkan tubuhku dengan kasar di jok depan, tepat di belakang stir.

“Oh, ya, aku juga penasaran. Jujur, baru hari ini aku dengar kalau kamulah yang sok jadi pahlawan, yang  langsung melarikan mobil Papa ke rumah sakit, saat dia tiba-tiba pingsan waktu itu. Aku tahu, kalau kamu yang  menolong Papa dan Mama. Tapi gak nyangka, kamu juga yang nyetir mobil.

Tak merespon,  aku mulai menstater mobil.

“Dia pingsan karena penodong itu mengarahkan pisau lipat ke leher Mama, dan  kau berteriak, sehingga warga berdatangan. Hehehe strategi yang jitu,” ejeknya kemudian.

“Apa maksud kamu?” Aku melotot tajam menatap tepat ke manik-manik matanya.

“Kamu dan penodong itu sekomplotan, iya, kan? Sengaja mengatur drama itu, agar Papa dan Mamaku simpati, sangkin terobsesinya  kamu menjadi menantu orang kaya, iya, kan?” tandasnya.

Darahku menggelegak.

“Sepertinya luka di kening kamu itu belum kering, Mas. Apakah kamu mau ditambah lagi?” ketusku menahan amarah.  Sakit sekali rasa hatiku, di hina lagi seperti ini. Kembali harta yang dia bangga-banggakan,  menuduhku lagi  dengan alasan yang sama. Harta.

“Oh, ya? Kamu mau melukaiku lagi? Hehehe … perempuan   tak tahu malu! Kemarin vase bunga, kali ini apa? Pisau lipat seperti milik teman kamu penodong  itu?”

“Tak perlu senjata tajam, pakai ini saja, puah!”

Lelaki itu terkejut, meraba wajahnya yang kini basah dengan semburan air ludahku.

“Kau! Karena ada Papa, kalau tidak!” Giginya menggeretak menahan murka.  Aku tersenyum miring.

“Kalau tidak kenapa? Kau mau tampar aku? Pengecut!  Kau tahu, mulut kotormu itu, sama busuknya dengan ludah basiku! Permisi!”

Kulajukan mobil Papa  menuju pintu gerbang. Meninggalkannya yang terlihat makin geram. Security langsung membuka melebarkan pintu gerbang untukku, begitu di aspal hitam, kupacu mobil dengan kecepatan tinggi.

Kulampiaskan kesal ini, amarah ini terasa mencekik.

Peristiwa di lampu merah beberapa bulan lalu melintas  di benak.  Saat  netraku tak sengaja menyaksikan tindak penodongan yang dilakukan  oleh seseorang pengemis terhadap sepasang orang kaya. Aku berdiri tak jauh dari situ, karena sedang menunggu Bapak datang menjemput sepulang aku kerja di butik. 

Tak ada yang menyadari penodongan itu, karena si penodong awalnya berpura-pura membersihkan kaca depan mobil mereka. Cara yang banyak dilakukan pengemis untuk mengais rezaki di lampu merah.

Ibu mertuaku merasa iba, dia membuka pintu mobil, secepat itu pula sebuah pisau lipat di arahkan ke lehernya.  Mungkin merasa ngeri melihat kilatan pisau, Papa terkena serangan jantung. Dia  jatuh pingsan. Aku berteriak, seketika suasana ramai. Tanpa pikir panjang kularikan mobil mereka ke rumah sakit terdekat.

Kuminta Bapak menjemputku ke rumah sakit, sungguh tak kusangka, ternyata orang kaya  itu  mengenal Papa. Perjodohan ini tak bisa kuelakkan. Hingga aku terjebak sekarang.

Astagfirullah! Sabar!

Kuhibur diri, bukankah semburan air ludah itu sudah cukup sepadan dengan mulut kotor lelaki itu? Ok, tenang. Ingin sekali kutinggalkan keluarga itu sekarang juga. Tetapi, aku tak bisa. Janjiku pada  kedua mertuaku, juga janjiku pada kedua orang tuaku, harus kupikirkan.  Aku tak ingin menjadi anak yang mengecewakan.

Selama Mas Haga masih bisa kuhadapi, aku harus bertahan. Namun, entah bagaimana dengan Mas  Bara besok.  Semoga dia tak lebih parah dari adiknya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status