===
“Maaf, Mbak mau ke mana, ya?”
Security yang berdiri di pintu utama mencegatku. Cari akal! Berpikir, Indri! Cepat! Kupaksa otak berpikir keras.
Kenapa kedua security ini membedakan aku dengan pengunjung lain, coba? Apakah karena penampilanku? Gamis panjang ini kah penyebabnya, hingga mereka curiga padaku?
“Atau ada yang bisa kami bantu, Mbak?” tanyanya lagi.
“Oh, tidak, itu suami saya, lho! Maaf, permisi!”
Kupasang wajah yang sangat meyakinkan, sambil menunjuk suami Ara yang kini sudah sapai di dekat pintu lif.
“Tunggu, Mas!” Aku berteriak. Setengah berlari aku pura-pura mengejar ketiga orang itu.
Untunglah kedua petugas keamanan itu tidak curiga.
Hampir saja pintu lif tertutup, saat aku sampai di depan pintunya. Kini aku berdiri begitu dekat dengan mereka. Untung beberapa pengunjung juga bersama kami di dalam lif. Jadi, suami Ara tak akan mencurugai kalau aku membuntutinya.
Di lantai dua, pintu lif terbuka, dua orang turun, tetapi bukan suami Ara.
Di lantai tiga, pintu lif terbuka lagi satu orang turun, suami Ara belum juga turun. Aku bertahan.
Di lantai empat, baru mereka keluar, gegas aku juga keluar. Mereka berbelok ke kanan, kupilih berbelok ke kiri. Berjalan perlahan, memasang ekor mata unutk memindai gerakan mereka.
Ketiganya berhenti di depan sebuah kamar. Itukah kamar yang ditempati oleh Mas Haga dan Ara? Darimana suami Ara tahu, kalau bukan dia sendiri yang membokingnya.
Pura-pura aku berhenti di depan sebuah kamar, sok sibuk membongkar-bongkar isi tas sandangku, seolah-olah ada yang tengah aku cari. Padahal aku sengaja menunggu mereka beraksi.
Kuhitung dalam hati, satu … dua … tiga … empat … li –
Suami Ara mulai menggedor kasar pintu kamar itu, sambil berteriak. Aku ikut panik.
“Ara! Keluar kau! Ara! Buka pintunya!”
Pintu terbuka, kepala Ara menyembul. Suaminya langsung menyerbu masuk ke dalam kamar. Aku ikut berlari menuju kamar itu, tapi tidak menerobos masuk. Aku bertahan di balik pintu yang masih setengah terbuka, sambil mencari tahu kejadian di dalam sana.
Mas Haga kini menjadi bulan-bulanan suami Ara. Tak masalah dia kalah tinggi dan kalah tegap. Tinggi badannya hanya seketiak Mas Haga. Tetapi, Mas Haga tak berdaya di buatnya. Dua orang berwajah sangar itu memegangi ke dua lengannya.
Pukulan dan terjangan mendarat di tubuh lelaki itu. Suamiku. Ya, dia masih berstatus suamiku, meski kami telah pisah ranjang. Kata talak juga hampir saja diucapkannya kemarin saat kekasihnya Ara memaksa.
Meski benci ini membakar, namun, melihat dia disiksa secara membabi buta begitu, hatiku rasa terenyuh juga. Bayangan wajah kedua mertuaku berkelebat di benak. Bukankah aku ke sini juga karena mereka? Ya, demi kedua mertuaku. Orang yang telah memilihku menjadi menantunya, meski aku bukan istri pilihan bagi anaknya.
“Sebutkan, sudah berapa kali kau tiduri istriku!” tanya suami Ara sambil melayangkan tinjunya di pelipis Mas Haga.
Mas Haga hanya mengerang minta ampun. Darah segar sudah menetes dari hidungnya. Kekasihnya hanya bisa pasrah, diam sambil sesegukan di pojok kamar.
“Cepat kau jawab! Ini, aku sudah bersiap merekamnya! Untuk bukti perselingkuhanmu dengan istriku. Akan kusebar di media sosia, koran local maupun nasional. Agar semua orang tahu, kalau putra pengusaha tambang terbesar di kota ini, adalah seorang bajingan. Tukang selingkuh dengan istri orang! Lumayan, bisa kugunakan untuk meras orang tuamu, iya, kan? Hehehehehe … dasar otak mesum! Orang kaya, tapi mikirnya hanya selangkangan!”
“Mas! Udah, dong! Lepasin Mas Haga, Mas!” Jerit Ara, saat tinju suaminya kembali mendarat di pelipis kanan Mas Haga.
“Kau diam! Perempuan murahan!” Suaminya membentak.
“Aku mencintai Mas Haga, Mas. Sebaliknya dia juga mencintaiku. Tidak seperti kau. Kau hanya sibuk dengan istri sahmu. Aku tak pernah kau pedulikan! Aku mau lepas darimu, Mas! Aku gak mau lagi jadi istri simpananmu!”
“Sampai kapanpun, aku tak akan pernah melepasmu! Meski hanya nikah siri, kau sah sebagai istriku! Kau coba-coba berkhianat lagi, habis kau!”
“Kau egois, Mas!”
“Diam! Diam di situ!”
Ara mengkerut. Kini kutahu, ternyata dia hanyalah istri simpanan lelaki itu. Pantas dia punya banyak kesempatan berselingkuh dengan Mas Haga. Rupanya dia perempuan jablay yang haus kasih sayang. Mas Haga adalah pelampiasan.
“Cepat anak muda, kau jawab! Cepat kau akui bahwa kau selingkuh dengan istriku!” Kembali suami Ara membentak.
Mas Haga hanya menunduk kini, Dari mulutnya sudah mulai keluar darah.
“Kau masih diam? Bagaimana kalau anak buahku ini yang membuka mulutmu, ha!”
Mas Haga bergeming.
“Ok, hajar! Buat hingga mulutnya terbuka dan berkata seperti yang kita inginkan. Tapi, ingat, jangan sampai mati. Tambang duit kita ini!” Suami Ara memerintahkan anak buahnya sambil terkekeh kecil.
“Siap, Bos!” Keduanya mulai beraksi. Aku tak tahan saat Mas Haga disiksa sedemikian rupa. Sama seperti dia, Mas Haga sepertinya mulai menyerah.
“Ok, a … ku, aku akan ja …wab!” ucapnya di antara ringis kesakitannya.
“Bagus, akhirnya kau menyerah juga, hehehehe …. “ Suami Ara terkekeh panjang.
“Ayo, sekarang buat pengakuan kamu! Ini udah mulai kurekam , cepat!” Suami Ara mendekatkan ponselnya ke mulut Mas Haga.
“Aku … aku mengakui, bahwa aku … aku –“
“Mas Haga! Kamu kenapa di sini!” Aku berteriak, pura-pura tak tahu kejadian yang sebenarnya.
Semua yang ada di kamar itu terperangah.
“Aku nunggu kamu dari tadi, lho Mas. Kamu salah kamar! Kamar yang kupesan itu di sebalah, bukan yang ini! Ayo, Mas!” kugandneg tangannya.
“Tunggu!” Suami Ara membentakku.
“Astaga! Kamu, kok, luka lebam begini? Kamu juga berdarah? Apa yang terjadi, Mas? Mereka menyakitimu? Bentar aku panggil security dan telpon polisi!” Pura-pura aku histeris sambil merogoh ponsel di dalan tas sandangku.
“Tunggu!” Suara itu menggelegar. Aku menoleh.
“Dia suamimu?” tanyanya dengan nada penuh ancaman.
“Ya, kami baru menikah, kami sengaja booking kamar di hotel ini, karena di rumah gak bebas, rame, ada mertua, jadi gak leluasa. Emangnya kenapa?” tantangku tak mau kalah.
“Kamu tahu siapa perempuan itu?” Dia menunjuk Ara yang masih mengkerut di sudut kamar.
“Tahu, dia Ara, teman karib suami saya.”
“Teman karib, hahahaha!”
“Kenapa Anda tertawa?”
“Dia istriku! Mereka berselingkuh di belakangku, juga di belakangmu!”
“Nah, itu juga yang dituduhkan oleh ibu mertuaku, saat Anda menemukan dia menangis di depan rumah saya beberapa hari yang lalu. Anda dan ibu mertua saya sama, ya! Sama-sama nuduh tanpa bukti! Cari dulu buktinya, baru Anda boleh nuduh, ok! Ayo, Mas kita pergi. Gak usah jadi di hotel ini, ribet!”
Kutarik lenagn Mas Haga. Lelaki itu bagai kerbau di cucuk hidung, menuruti langkah kakiku.
“Ok, kau selamat kali ini, berengsek! Tapi, ingat, aku tidak akan diam!” Suami Ara berteriak. Aku mempercepat langkah. Khawatir dia dan anak buahnya mengejar.
*
“Langsung pulang, kita bicara di rumah!” perintahku begitu, Mas Haga masuk ke dalam mobilnya.
“Kamu enggak ikut masuk, kah?” tanyanya bingung.
“Tidak! Bukankah kau jijik bila aku duduk di mobilmu? Sama, aku juga jijik duduk dekat dekat dengan pezina paling hina seperti dirimu, camkan itu!” ketusku langsung berlalu.
“Indri!” panggilnya dengan nada yang tak kupaham.
Aku menghentikan langkah, menoleh lalu tersneyum miring.
“Kau panggil namaku? Kau sudah ingat rupanya siapa namaku,” cibirku.
“Masuklah! Kita pulang bareng saja!” pintanya lemah.
“Maaf, saya jijik pada Anda!”
Gegas aku berjalan ke depan hotel, di mana mobil taksi yang kupesan tadi masih menunggu. Dan setelah mobil Mas Haga berlalu, kuminta Pak Sopir mengikuti lagi dari belakang.
Jalanan terasa sangat padat. Mobil ini terasa merayap. Kukeluarkan ponsel dari dalam tas. Mencoba menghubungi Kak Jo, pemilik Butik tempatku bekerja dulu.
Beberapa kali kutelpon, namun tak diangkat. Mungkin dia sibuk, kuakhiri saja, tak ingin mengganggu, begitu pikirku.
Namun, selanjutnya dialah menghubungiku. Segera kugeser tombol hijau di layar ponsel.
“Ya, Kak Jo, maaf, aku ganggu, ya?” sapaku merasa tak enak.
“Tidak, kamu gak ganggu, kok, In. Maaf, tadi aku agak riweh di sini,” jawabnya melegakanku.
“Begitu.”
“Iya, gimana kabar pengantin baru? Udah belah duren belum, nih?”
“Ah, Kak Jo, gitu, deh.”
“Lho, kenapa, kan aku nanya, gak salah, kan?”
“Malu, dong, Kak.”
“Ya, udah, kalau malu. Ada apa, tadi, In, nelpon Kakak?”
“Ini, Kak, anu.” Aku terbata. Bingung mengucap kalimat yang paling tepat, kalau aku hendak mengundurkan diri dari butiknya.
“Oh, kalau kamu mau lanjut kerja lagi, aku minta maaf, ya, In.” Nada suara Kak Jo berubah sedih.
“Kenapa, Kak?” aku ikut sedih, meski belum paham apa yang terjadi.
“Begini, In. Butik ini d jual pemiliknya. Kita gak bisa kerja di sini lagi.”
“Lho lho! Bukannya Kak Jo pemilik butik itu?”
“Sebenarnya bukan, In. Kakak hanya dipercayakan mengelolanya. Kakak bertindak seolah-olah Kakaklah pemilik untuk menjaga saja. Agar pegawai gak berani macam-macam meski pemilik yang sebenarnya jarang terjun.”
“Oh, begitu.”
“Iya, In. Sekarang kita semua terancam kehilangan pekerjaan, nih. Kamu sih, enak, gak usah kerja juga gak apa-apa. Tetapi, kami berbeda, In. Kami tulang punggung keluarga. Kalau gak kerja, asap di dapur gak ngepul.”
“Kapan mulai butiknya dijual, Kak? Sepetinya baru seminggu aku gak masuk kerja.”
“Baru beberapa jam lalu, In. ditelpon sama yang pemilik, suruh tutup butik, dan kami diminta pulang.”
“Astaga! Tiba-tiba begitu?”
“Iya, karena yang beli ini orang hebat. Orang nomor satu di kota ini setelah Bapak Gubernur. Tapi kalau mengenai hartanya, mungkin dia nomor satu terkaya di provinsi kita ini, In.”
“Wakil gubernur?’
“Bukan. Pengusaha. Kalau gak salah Pengusaha tambang pasir terbesar di daerah ini.”
“Apa?” Aku tercekat.
Secepat inikah Papa pertuaku bergerak. Baru beberapa jam yang lalu aku bilang bosan di rumah dan ingin bekerja lagi. Mereka langsung menawariku mengelola butik sendiri demi menjaga nama baik keluarga mereka. Malu kalau menantunya bekerja di butik orang lain. Tak menunggu sejam, dia langsung mengambil alih kepemilikan butik tempat aku bekerja selama ini.
Orang kaya, memang selalu bisa melakukan apa saja. Aku tergidik ngeri. Ya, begitu mudahnya mereka melakukan apa yang mereka inginkan. Tak peduli untung ruginya bagi kehidupan orang lain. Ada sepuluh orang yang bekerja dan menggantungkan hidup keluarganya di butik itu. Bagaimana nasip mereka jika butik itu dia ambil alih. Sedikitpun mereka tak pikirkan itu. Dan kini aku terlibat di dalamnya.
“Kenapa, In? Kamu kaget?”
“Ti-tidak,” jawabku tergagap.
“Ya, sudah, ya, In. Kami harus menutup butik, dan aku di suruh mengantarkan kunci butik ini berikut seluruh file laporan kepada pemilik baru itu. Aku buru-buru, In, sorry, ya!”
“Gak usah, Kak!” potongku cepat.
“Gak usah? Apa maksud kamu?” tanya Kak Jo, terdengar nada kebingung dari suaranya. Tentu saja dia bingung. Kak Jo sama sekali tak tahu kalau pembeli Butik yang dikelolanya itu adalah Mertuaku. Dia juga tak tahu, kalau Butik itu dibeli karena ingin menyenangkan hatiku.
“Maaf, Kak. Saya tidak bermaksud memerintah Kak Jo. Tetapi, ini saya meminta agar Kak Jo, buka lagi butik seperti biasa. Kakak dan teman-teman bekerja seperti biasa! Sebentar lagi saya datang.”
“Indri? Kamu sakit, kah? Kok ngomong ngeracau begitu?” Kak Jo kini malah panik.
“Enggak, Kak. Ok, gini aja, aku minta satu jam saja, ya. Tempo sejam, aku sudah ada di butik, menjelaskan semuanya ke Kakak.”
“Kamu siapa ngatur-ngatur saya, In?”
“Aduh, gimana, ya, Kak, saya enggak enak mau bilang. Saya, harus bilang apa, coba?”
“Tunggu! Sebentar! Di kartu udangan pernikahan kamu kemarin tertulis di situ nama mempelai pria Haga Wijaya. Jangan bilang kalau suamimu itu adalah bagian dari keluarga pengusaha Wijaya! Pemilik perusahaan tambang pasir itu!”
“Maaf, Kak Jo!”
“Jadi, benar, In?”
“Maaf, Kak.”
“Kenapa kamu gak terus terang kalau suami kamu itu adalah keluarga mereka? Kamu hanya bilang mo nikah, kami di suruh datang menghadiri resepsinya, gitu, doang.”
“Aku gak mau, entar dikira aku pamer, Kak.”
“Astaga, Indri. Terus, kalau keluarga suamimu sekaya itu, kenapa pesta pernikahanmu di gelar secara sederhana begitu?”
“Itu memang persayratan dari aku, Kak. Gak mau yang mewah-meawah, apalagi diliput wartawan, berita dan semacamnya. Aku dan keluargaku hanya orang biasa, Kak. Gak pantes rasanya kalau pesta mewah-mewah.”
“Ok, terserah kamu. Sekarang bisa kamu jelasin, kenapa mertuamu mengambil alih kepemilikan butik ini?”
“Itu yang mau aku jelasin Kak, aku udah sampai rumah ini, mau bicara pada mertuaku, lalu aku langsung meluncur ke situ. Pokoknya butik tetap kalian buka, dan layani pelanggan seperti biasa, ok.”
“Siap, Bu Direktur!”
“Jangan begitu, dong, Kak, Jo! Nanti aku jelasin, ya!”
“Siap, Bu Indri Wijaya.”
“Kak Jo!”
“Jangan sungkan, In. Aku justru bangga, ternyata aku dan teman-teman gak jadi kehilanagn pekerjaan. Makasih, ya In.”
“Iya, Kak, Jo.”
“Cepat datang. Kami ingin peluk kamu.”
“Siap, Kak.”
Aku segera keluar dari mobil, membayar ongkos taksi dan meninggalkan bonus untuknya karena telah sabar menungguku di hotel tadi. Mas Haga sudah menungguku di teras. Entah mengapa, aku merasa cara dia menatapku agak aneh. Tidak lagi seperti kemarin.
7Pemenang itu bisa saja lebih dari satu. Agar bisa menang, yang lain tak harus disingkirkan. Biarkan dia membayang-bayangi kesuksesan kita. Kita tak harus tampil menjadi satu-satunya pemenang. Tak perlu menginjak orang lain agar bisa berdiri kokoh. Kita bisa berdiri sama-sama. Bahkan menjalin kerja sama.===Berjalan terburu-buru, aku melewati lelaki itu. Dia menatapku dari kejauhan, saat melangkah melintasi halaman nan luas rumah mewah itu. Tak peduli dengan tatapannya, aku menerobos masuk. Hampir saja aku menabrak tubuhnya, saat dia menghalangi jalanku menuju pintu utama.“Sebentar, aku mau bicara!” Dia menangkap lenganku.Terpksa langkahku terhenti.“Maaf!” ucapku menatap tajam cengkraman tangannya di lenganku, sebagai protes atas perbuatan tak sopannya.“Aku mau bicara,” tuturnya melonggarkan cengkraman.“Lepas tangan saya!” perintahku tetap tak mengalihkan tatapan.“Ok, tapi kamu jangan pergi dulu sebelum aku berbicara.”“Baik, silahkan! Satu menit waktu kamu!”“So
===“Baru pulang, In?” Mama mertua menyambut kepulanganku dengan senyum ramah. Suaminya melirikku sekilas lalu kembali fokus pada ponselnya. Sepertinya dia tengah video call dengan seseorang. Siapa lagi kalau bukan putra sulungnya, Mas Bara.“Iya, Ma. Maaf saya terlambat. Gak bisa ikut makan malam bareng tadi,” ucapku sedikit menyesal.“Gak apa-apa. Maklum, ini hari pertama kamu mengelola butik kamu sendiri, iya, kan? Gimana tadi?”“Lancar, Ma. Saya tetap menempatkan Kak Johana sebagai manager di Butik. Dia sudah berpengalaman banyak. Dan karyawan lain, saya janji akan meningkatkan income mereka mulai bulan depan.”“Bagus. Mama dan Papa akan tetap mendukung apapun keputusan kamu, Sayang. Hanya saja, kami berharap, kamu jangan terlalu forsir di kerjaan. Lebih baik kamu fokus ke pernikahan kamu saja. Kami pengen cepat-cepat gendong cucu, In, hehehe ….”Aku ikut terkekeh kecil, meski sedikitpun aku tak merasa lucu. Justru aku merasa gamang. Bagaimana bisa aku memenuhi harapan mereka? Cu
===“Ara sudah ditalak suami sirinya. Dia berjuang untuk lepas dari lelaki bedebah itu. Maka sebagai imbalannya, dia memintaku berbuat yang sama. Aku harus talak kamu, kuharap kamu bisa mengerti.”“Ya, aku mengerti, jangan khawatir. Jadi, talak ini karena permintaan Ara?”“Maaf, aku sangat mencintai Ara.”“Tak perlu minta maaf, aku terima talak kamu, Mas. Mulai detik ini, kita bukan lagi suami istri.”“Kamu marah?”“Tidak. Inilah yang terbaik untuk kita. Toh dilanjutkan juga tak ada gunanya, bila kamu tetap tak bisa lepas dari bayang-bayang perempuan itu.”“Aku mencintai Ara. Kami saling mencintai.”“Ya, aku paham. Meski dia istri seseorang.”“Dia sudah ditalak.”“Selamat untuk kalian berdua.”“Semula, aku ingin menikahinya tanpa mentalak kamu, tetapi Ara tak mau. Dia ingin menjadi satu-satunya untukku.”“Dan aku tak akan mau bila berbagi suami dengannya. Jadi, aku sangat mendukung keputusanmu mentalak aku.”“Terima kasih atas pengertian kamu, In!”“Ok. Besok pagi aku akan beran
===“Kita pulang, Sayang? Kamu udah kuat, kan?” Mama mertua menepuk lembut pipiku.Kuulas senyum tipis.“Bentar lagi, dong, Ma! Tunggu barang sejam dua jam lagi. Biar Indri lebih kuat.” Suaminya menyarankan.“Iya, iya. Mama itu rasanya gak sabar, Pa. Pengen waktu cepat berlalu, biar cepat gendong cucu, hehehe ….”“Orang tua Nak Indri udah mama telpon, kan?”“Udah. Mereka udah di jalan. Saya suruh nunggu di rumah saja. Kita ketemu di rumah, toh kita juga udah mau pulang.”“Ya, udah. Saya mau ke lantai tga sebentar, ada rekan bisnis kita kebetulan juga sedang di rawat di sini. Kamu mau nemani Papa, Bara?” Papa mertua menatap putra sulungnya.“Papa aja, deh, Pa. Bara mau ngurus administrasi ruamh sakit ini sebentar lagi, Mama aja yang nemani Papa!” tolak Mas Bara.“Haga, kan bisa ngurus administrasi perawatan istrinya. Tapi, sudahlah. Papa pergi dulu, ayo, Ma!”“Indri, bentar, ya, Sayang! Kamu istirahat aja dulu, sambil ngabisin infus di botol itu, biar semakin kuat.” Mama mertu
****“Apa, rujuk?” Haga tersenyum tipis sambil menggeleng-gelengkan kepala.“Iya, rujuk! Kamu harus rujuk dengan Indri!” ujar Bara sambil menatapnya tajam.“Aku tak mau!”“Harus, Haga, titik!”“Aku tidka mau rujuk, Mas! Kalau Mas Bara mau sama dia, silahkan ambil!”“Apa maksudmu? Apa maksudmu?”“Mas peduli pada kesehatam Papa dan Mama, kan? Kenapa tidak Mas aja yang nikahi Indri?”“Bang*sat kau!”“Hentikan!” teriaku saat tangan Mas Bara kembali menyerang wajah Mas Haga.Kedua laki-laki itu menoleh ke arahku.“Kalian bertengkar karena kehamilanku?” tanyaku dengan nada pelan, hampir mirip gumaman.“Bukan itu masalahnya, Sifat ktidakdewasaan kalianlah yang menjadi permasalahannya,” jawab Mas Bara masih ketus.“Mas Haga sudah menceraikanku. Saat itu kami belum tahu kalau ada janin di perutku. Dan perlu Mas Bara tahu, janin ini ada akibat aku diperkosa. Bukan atas dasar cinta.”“Apa maksudmu?” Mas Bara menatapku tajam.“Tak ada maksud apa-apa. Aku hanya ingin menekankan, agar Mas Ba
===“Jadi, kamu diam-diam sudah pisah dengan Haga?” Mama mertua berjalan masuk.“Tenang, Ma! Tenang! Mama salah dengar sepertinya.” Mas Bara menyongsong ibunya.“Mama dan Papa sudah dengar semuanya. Tak perlu kalian tutup-tutupi lagi!”Ok, tapi Mama harus bisa tenang! Kalau Mama saja seperti ini, bagaimana dengan Papa?”“Stop Bara! Berhenti mengkhawatirkan Papa dan Mama. Kami baik-baik saja. Cukup sudah perbuatan Haga menghancurkan semuanya. Berhenti menutupi kesalahannya!”Aku terperangah. Mama terlihat begitu tegar. Awalnya dia memang tampak sangat terkejut, tetapi setelahnya aku dan Mas Bara yang dia buat terkejut. Apalagi melihat reaksi Papa mertuaku. Lelaki paruh baya itu malah berjalan tenang menghampiri kami, meraih sebuah kursi lalu duduk di sisi ranjang. Tepat di sebelah kanan kepalaku.“Papa dan Mama baik-baik saja?” Mas Bara masih tak percaya.“Haruskah kami menghembuskan napas terakhir hanya karena ulah adikmu? Haga sudah kelewatan. Semua kami lakukan demi kebaika
****“Kita duduk, Pa! Papa tenang, ya!” Mas Bara memapah ayahnya menuju kursi di teras itu.“Baik, baik. Papa baik-baik saja! Tolong jelaskan, siapa perempuan itu!” ulang Papa menunjuk ke arah Mas Haga dan Ara.“Gak usah pura-pura terkejut Om!”Mas Arga yang menjawab.“Om sudah tahu sebetulnya kebusukan putra Om, sengaja menikahkannya dengan adik saya untuk menutupi kebejatannya. Agar keluarga Om tetap terhormat di mata masyarakat. Dengan menikahi putri seorang Ustadz, maka masyarakat akan menilai kalau Haga laki-laki baik, terhormat. Padahal busuk, pezina! Berzina dengan pelacur busuk! Dasar keluarga munafik!” maki Mas Arga kian emosi.“Hentikan Arga! Tutup mulutmu!” Bapak mengguncang bahu Mas Arga.“Aku sudah lama menyelidiki ini. Laki-laki busuk ini bahkan sudah menikah siri dengan perempuan itu! Adikku yang baik, ternyata bernasip begitu malang! Dia diselingkuhi, bahkan di madu dengan seorang perempuan murahan, dimadu dengan seorang lont*!”Mas Arga meradang lagi.“Arga! K
POV Haga===“Mas ke sini? Tumben?” tanya Ara.Wanitaku ini langsung berseri saat melihatku telah berdiri di ambang pintu. Senyumnya mengembang. Terlihat dereten gigi rapi mengintip di antara bibir tipis nan ranum menggiurkan itu.“Gak boleh aku ke sini? Atau kamu sedang menunggu si Leo, mantan suamimu yang impot*n itu” godaku seraya mengelus pipinya.Seketika tangan lembutnya mendaratkan pukulan manja di dadaku. Kutangkap dan langsung mendorong tubuhnya masuk. Segera kututup pintu dengan sebelah kakiku sambil berjalan memapahnya menuju kamar.“Pintunya gak dikunci, Sayang?” desisnya manja.“Biar aja, kelamaan!” sergahku memeluk pinggangnya.“Gimana keadaan Indri? Kenapa dia pingsan tiba-tiba tadi?” selidiknya sembari bergelayut manja di bahuku.“Kami bertengkar, aku tampar dia! Eh, pingsan!” ucapku berdusta.Dusta untuk menyenangkan hati wanita yang sangat kucintai ini. Tak mungkin kuberitahu dia kalau Indri pingsan karena ternyata dia tengah mengandung anakku. Bisa kiamat n