Share

6. Jebakan Suami Ara

===

“Maaf, Mbak mau  ke mana, ya?”

Security yang berdiri di pintu utama mencegatku. Cari akal! Berpikir, Indri! Cepat! Kupaksa otak berpikir keras.

Kenapa kedua security ini membedakan aku dengan pengunjung lain, coba? Apakah karena penampilanku? Gamis panjang ini  kah penyebabnya, hingga mereka curiga padaku?

“Atau ada yang bisa kami bantu, Mbak?”  tanyanya lagi.

“Oh, tidak, itu suami saya, lho! Maaf, permisi!”

Kupasang wajah yang sangat meyakinkan, sambil menunjuk suami Ara yang kini sudah sapai di dekat  pintu lif.

“Tunggu, Mas!” Aku berteriak. Setengah berlari aku pura-pura mengejar ketiga orang itu.

Untunglah kedua petugas  keamanan  itu tidak curiga.

Hampir saja pintu lif tertutup, saat aku sampai di depan pintunya. Kini aku berdiri begitu dekat dengan mereka. Untung beberapa pengunjung  juga bersama kami di dalam lif. Jadi, suami Ara tak akan mencurugai kalau aku membuntutinya.

Di lantai dua, pintu lif terbuka, dua orang turun, tetapi bukan suami Ara. 

Di lantai tiga, pintu lif terbuka lagi satu orang turun, suami Ara belum juga turun. Aku bertahan.

Di lantai empat, baru mereka keluar, gegas aku juga keluar. Mereka berbelok ke kanan, kupilih berbelok ke kiri.  Berjalan   perlahan, memasang ekor mata unutk memindai gerakan mereka.

Ketiganya berhenti di depan sebuah kamar. Itukah kamar yang ditempati oleh Mas Haga dan Ara? Darimana suami Ara tahu,  kalau bukan dia sendiri yang membokingnya.

Pura-pura aku berhenti di depan sebuah kamar, sok sibuk membongkar-bongkar isi tas sandangku, seolah-olah   ada yang  tengah aku cari. Padahal aku sengaja menunggu mereka beraksi.

Kuhitung dalam hati, satu … dua … tiga … empat … li –

Suami Ara mulai menggedor kasar pintu kamar itu, sambil berteriak.  Aku ikut panik.

“Ara! Keluar kau! Ara! Buka pintunya!”

Pintu terbuka, kepala Ara menyembul. Suaminya langsung menyerbu masuk ke dalam kamar. Aku ikut berlari  menuju kamar itu, tapi tidak  menerobos masuk. Aku bertahan di balik pintu yang masih setengah terbuka, sambil mencari tahu kejadian di dalam sana.

Mas Haga kini menjadi bulan-bulanan suami Ara. Tak masalah dia kalah tinggi dan kalah tegap. Tinggi badannya hanya seketiak Mas Haga. Tetapi, Mas Haga tak berdaya di buatnya. Dua orang berwajah sangar  itu memegangi  ke dua lengannya.

Pukulan dan terjangan mendarat di tubuh lelaki itu. Suamiku. Ya, dia masih berstatus suamiku, meski kami telah pisah ranjang. Kata talak juga hampir saja diucapkannya kemarin saat kekasihnya Ara memaksa.

Meski benci ini membakar, namun, melihat dia disiksa  secara membabi buta begitu, hatiku rasa terenyuh juga. Bayangan wajah kedua  mertuaku berkelebat di benak.  Bukankah aku ke sini juga karena mereka? Ya, demi kedua mertuaku. Orang yang telah memilihku menjadi menantunya, meski aku bukan istri pilihan bagi anaknya.

“Sebutkan, sudah berapa kali kau tiduri istriku!” tanya suami Ara sambil melayangkan tinjunya di pelipis Mas Haga.

Mas Haga hanya mengerang minta ampun. Darah segar sudah menetes  dari hidungnya. Kekasihnya hanya bisa pasrah, diam sambil sesegukan di pojok kamar.

“Cepat kau jawab!  Ini, aku sudah bersiap merekamnya!  Untuk bukti perselingkuhanmu dengan istriku.  Akan kusebar di media sosia, koran local maupun nasional. Agar semua orang tahu, kalau putra pengusaha tambang  terbesar di kota ini, adalah seorang bajingan. Tukang selingkuh  dengan istri orang!  Lumayan, bisa kugunakan untuk meras orang tuamu, iya, kan? Hehehehehe … dasar otak mesum! Orang kaya, tapi mikirnya hanya selangkangan!”

“Mas! Udah, dong! Lepasin Mas Haga, Mas!” Jerit Ara, saat tinju suaminya kembali mendarat di pelipis kanan  Mas Haga.

“Kau diam! Perempuan murahan!”  Suaminya membentak.

“Aku mencintai Mas Haga, Mas. Sebaliknya dia juga mencintaiku. Tidak seperti kau. Kau hanya sibuk dengan  istri sahmu. Aku tak pernah kau pedulikan! Aku mau lepas darimu, Mas! Aku gak mau lagi jadi istri  simpananmu!”

“Sampai kapanpun, aku tak akan pernah melepasmu! Meski hanya nikah siri, kau sah sebagai istriku! Kau coba-coba berkhianat lagi, habis kau!”

“Kau egois, Mas!”

“Diam! Diam di situ!”

Ara mengkerut. Kini kutahu, ternyata dia hanyalah istri simpanan lelaki itu. Pantas dia punya banyak kesempatan  berselingkuh dengan Mas Haga. Rupanya dia perempuan jablay yang haus kasih sayang. Mas Haga adalah pelampiasan.

“Cepat anak muda, kau jawab! Cepat kau akui bahwa kau selingkuh dengan istriku!” Kembali suami Ara membentak.

Mas Haga hanya menunduk kini, Dari mulutnya sudah mulai keluar darah.

“Kau masih diam? Bagaimana kalau anak buahku ini yang membuka mulutmu, ha!”

Mas Haga bergeming.

“Ok, hajar!  Buat hingga mulutnya terbuka dan berkata seperti yang kita inginkan.  Tapi, ingat, jangan sampai mati. Tambang duit kita ini!” Suami Ara memerintahkan anak buahnya sambil terkekeh kecil.

“Siap, Bos!” Keduanya mulai beraksi. Aku tak tahan saat Mas Haga disiksa sedemikian rupa. Sama  seperti  dia, Mas Haga  sepertinya mulai menyerah.

“Ok, a … ku, aku  akan ja …wab!” ucapnya di antara ringis kesakitannya.

“Bagus, akhirnya kau menyerah juga, hehehehe …. “ Suami Ara terkekeh panjang.

“Ayo, sekarang buat pengakuan kamu! Ini udah mulai kurekam , cepat!” Suami Ara mendekatkan ponselnya ke mulut Mas Haga.

“Aku … aku mengakui, bahwa aku … aku –“

“Mas Haga! Kamu kenapa di sini!” Aku berteriak, pura-pura tak tahu kejadian yang sebenarnya.

Semua yang ada di kamar itu terperangah.

“Aku nunggu kamu dari tadi, lho Mas. Kamu salah kamar! Kamar yang kupesan itu di sebalah, bukan yang ini! Ayo, Mas!” kugandneg tangannya.

“Tunggu!” Suami Ara membentakku.

“Astaga! Kamu, kok, luka lebam begini? Kamu juga berdarah? Apa yang terjadi, Mas? Mereka menyakitimu? Bentar aku panggil security dan telpon polisi!” Pura-pura aku histeris sambil merogoh ponsel di dalan tas sandangku.

“Tunggu!” Suara itu menggelegar. Aku menoleh.

“Dia suamimu?”  tanyanya dengan nada penuh ancaman.

“Ya, kami baru menikah, kami sengaja booking kamar di hotel ini, karena di rumah gak bebas, rame, ada mertua, jadi gak leluasa.  Emangnya kenapa?” tantangku tak mau kalah. 

“Kamu tahu siapa perempuan itu?” Dia menunjuk Ara yang masih mengkerut di sudut kamar.

“Tahu, dia Ara, teman karib suami saya.”

“Teman karib, hahahaha!”

“Kenapa Anda tertawa?”

“Dia istriku! Mereka berselingkuh di belakangku, juga di belakangmu!”

“Nah, itu juga yang dituduhkan oleh ibu mertuaku, saat Anda menemukan dia menangis di depan rumah saya beberapa hari yang lalu. Anda dan ibu mertua saya sama, ya! Sama-sama nuduh tanpa bukti! Cari dulu buktinya, baru Anda boleh nuduh, ok! Ayo, Mas kita pergi. Gak usah jadi di hotel ini, ribet!”

Kutarik lenagn Mas Haga. Lelaki itu bagai kerbau di cucuk hidung, menuruti  langkah kakiku.

“Ok,  kau selamat kali ini, berengsek! Tapi, ingat, aku tidak akan diam!” Suami Ara berteriak. Aku mempercepat langkah. Khawatir dia dan anak buahnya mengejar.

*

“Langsung pulang, kita bicara di rumah!” perintahku begitu, Mas Haga masuk ke dalam mobilnya.

“Kamu enggak ikut masuk, kah?” tanyanya bingung.

“Tidak! Bukankah kau jijik  bila aku duduk di mobilmu? Sama, aku juga jijik  duduk dekat dekat dengan pezina paling hina seperti dirimu, camkan itu!” ketusku langsung berlalu.

“Indri!” panggilnya dengan nada yang tak kupaham.

Aku menghentikan langkah, menoleh lalu tersneyum miring.

“Kau panggil namaku? Kau sudah ingat rupanya siapa namaku,” cibirku.

“Masuklah! Kita pulang bareng saja!” pintanya lemah.

“Maaf, saya jijik pada Anda!”

Gegas aku berjalan ke depan hotel, di mana mobil taksi yang kupesan tadi masih menunggu. Dan setelah mobil Mas Haga berlalu, kuminta Pak Sopir mengikuti lagi dari belakang.

Jalanan terasa sangat padat. Mobil ini terasa merayap. Kukeluarkan ponsel dari dalam  tas. Mencoba menghubungi Kak Jo, pemilik Butik tempatku bekerja dulu.

Beberapa kali kutelpon, namun tak diangkat. Mungkin dia sibuk,  kuakhiri saja, tak ingin mengganggu, begitu pikirku.

Namun, selanjutnya  dialah menghubungiku. Segera kugeser tombol hijau di layar ponsel.

“Ya, Kak Jo, maaf, aku ganggu, ya?” sapaku merasa tak enak.

“Tidak, kamu gak ganggu, kok, In. Maaf,  tadi aku agak riweh di sini,” jawabnya melegakanku.

“Begitu.”

“Iya, gimana kabar pengantin baru? Udah belah duren belum, nih?”

“Ah, Kak Jo, gitu, deh.”

“Lho, kenapa, kan aku nanya, gak salah, kan?”

“Malu, dong, Kak.”

“Ya, udah, kalau malu. Ada apa, tadi, In, nelpon Kakak?”

“Ini, Kak, anu.” Aku terbata. Bingung mengucap kalimat yang paling tepat, kalau aku hendak mengundurkan diri dari butiknya.

“Oh, kalau kamu mau lanjut kerja lagi, aku minta maaf, ya, In.” Nada suara Kak Jo berubah sedih.

“Kenapa, Kak?” aku ikut sedih, meski belum paham apa yang terjadi.

“Begini, In. Butik ini d jual pemiliknya. Kita gak bisa kerja di sini lagi.”

“Lho lho! Bukannya Kak Jo pemilik butik itu?”

“Sebenarnya bukan, In. Kakak hanya dipercayakan mengelolanya.  Kakak bertindak seolah-olah Kakaklah pemilik untuk menjaga  saja.  Agar pegawai gak berani macam-macam meski pemilik yang sebenarnya jarang terjun.”

“Oh, begitu.”

“Iya, In. Sekarang kita semua terancam kehilangan pekerjaan, nih. Kamu sih, enak, gak usah kerja juga gak apa-apa. Tetapi, kami berbeda, In. Kami tulang punggung keluarga. Kalau gak kerja, asap di dapur gak ngepul.”

“Kapan mulai butiknya dijual, Kak? Sepetinya baru seminggu  aku  gak masuk kerja.”

“Baru beberapa jam lalu, In.  ditelpon sama yang pemilik, suruh tutup butik, dan kami diminta pulang.”

“Astaga! Tiba-tiba begitu?”

“Iya, karena yang beli ini orang hebat. Orang nomor satu di kota ini setelah Bapak Gubernur. Tapi kalau mengenai hartanya, mungkin dia nomor satu terkaya di provinsi kita ini, In.”

“Wakil gubernur?’

“Bukan. Pengusaha. Kalau gak salah Pengusaha tambang  pasir terbesar di daerah ini.”

“Apa?” Aku tercekat. 

Secepat inikah Papa pertuaku bergerak. Baru beberapa jam yang lalu aku bilang bosan di rumah dan ingin bekerja lagi. Mereka langsung menawariku mengelola butik sendiri demi menjaga nama baik keluarga mereka.  Malu kalau menantunya bekerja di butik orang lain. Tak menunggu sejam, dia langsung mengambil alih kepemilikan butik tempat aku  bekerja selama ini.

Orang kaya, memang selalu bisa melakukan apa saja.  Aku tergidik ngeri. Ya,  begitu mudahnya mereka melakukan apa yang mereka inginkan.  Tak peduli untung ruginya  bagi kehidupan orang lain.  Ada sepuluh orang yang bekerja dan menggantungkan hidup keluarganya di butik itu. Bagaimana nasip mereka jika butik itu dia ambil alih. Sedikitpun mereka tak pikirkan itu.  Dan  kini aku terlibat di dalamnya.

 “Kenapa, In? Kamu kaget?”

“Ti-tidak,”  jawabku tergagap.

“Ya, sudah, ya, In. Kami harus menutup butik, dan aku  di suruh mengantarkan kunci butik ini  berikut  seluruh  file laporan  kepada pemilik baru itu.  Aku buru-buru, In, sorry, ya!”

“Gak usah, Kak!” potongku cepat.

“Gak usah? Apa maksud kamu?” tanya Kak Jo, terdengar nada kebingung dari suaranya. Tentu saja dia bingung. Kak Jo sama sekali tak tahu kalau pembeli Butik yang dikelolanya itu adalah Mertuaku.  Dia juga tak tahu, kalau Butik itu dibeli karena ingin menyenangkan hatiku.

“Maaf, Kak. Saya tidak bermaksud memerintah Kak Jo. Tetapi, ini saya meminta agar Kak Jo, buka lagi butik seperti biasa.  Kakak dan teman-teman bekerja seperti biasa! Sebentar lagi saya datang.”

“Indri? Kamu sakit,  kah? Kok ngomong ngeracau begitu?” Kak Jo kini malah panik.

“Enggak, Kak. Ok, gini aja, aku  minta satu jam saja, ya. Tempo sejam, aku sudah ada di butik, menjelaskan semuanya ke Kakak.”

“Kamu siapa ngatur-ngatur saya, In?”

“Aduh, gimana, ya, Kak, saya enggak enak mau bilang. Saya, harus bilang apa, coba?”

“Tunggu! Sebentar! Di  kartu udangan pernikahan kamu kemarin tertulis di situ nama mempelai pria Haga Wijaya. Jangan bilang kalau suamimu itu adalah  bagian dari keluarga pengusaha Wijaya! Pemilik perusahaan tambang pasir itu!”

“Maaf, Kak Jo!”

“Jadi, benar, In?”

“Maaf, Kak.”

“Kenapa kamu gak terus terang kalau suami kamu itu  adalah keluarga  mereka? Kamu hanya bilang mo nikah, kami di suruh datang  menghadiri resepsinya, gitu, doang.”

“Aku gak mau, entar dikira aku pamer, Kak.”

“Astaga, Indri. Terus, kalau keluarga suamimu sekaya itu, kenapa pesta pernikahanmu di gelar secara sederhana begitu?”

“Itu memang persayratan dari aku, Kak. Gak mau yang mewah-meawah, apalagi diliput wartawan, berita dan semacamnya. Aku dan keluargaku hanya orang biasa, Kak. Gak pantes rasanya kalau  pesta mewah-mewah.”

“Ok, terserah kamu. Sekarang bisa kamu jelasin, kenapa mertuamu mengambil alih kepemilikan butik ini?”

“Itu yang mau aku jelasin Kak, aku udah sampai rumah ini, mau bicara pada mertuaku, lalu aku langsung meluncur ke situ. Pokoknya butik tetap kalian buka, dan layani pelanggan seperti biasa, ok.”

“Siap, Bu Direktur!”

“Jangan begitu, dong, Kak, Jo! Nanti aku jelasin, ya!”

“Siap, Bu Indri Wijaya.”

“Kak Jo!”

“Jangan sungkan, In. Aku justru bangga, ternyata aku dan teman-teman gak jadi kehilanagn pekerjaan. Makasih, ya In.”

“Iya, Kak, Jo.”

“Cepat datang. Kami ingin peluk kamu.”

“Siap, Kak.”

Aku segera keluar dari mobil, membayar ongkos taksi dan meninggalkan bonus untuknya karena telah sabar menungguku di hotel tadi. Mas Haga  sudah menungguku di teras. Entah mengapa,  aku merasa   cara dia menatapku agak aneh. Tidak lagi seperti kemarin.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Helminawati Pandia
makasih teman teman tersayang
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status