****
Lelaki itu menggendong tubuh ibunya, kembali masuk ke dalam rumah. Aku mengikuti dari belakang. Bik War terlihat panik. Berlarian kesana ke mari, lalu kembali dengan minyak subuah botol minyak kayu putih di tangan. Mas Haga meletakkan ibunya di sofa ruang tamu, karena itu yang paling dekat saat ini.
“Ibuk! Bangun, Buk! Ibuk!” panggil Bik War. Kuperhatikan cara dia menyadarkan nyonya besarnya. Mengoleskan minyak kayu putih di hidung, kening dan pelipis sang majikan.
Aku hanya berdiri mematung.
“Aku akan telpon Papa,” ucap Mas Haga berinisiatif.
“Buat apa? Agar dia juga pingsan?” tanyaku menghambatnya.
Lelaki itu melotot. Menatapaku dengan sorot amarah. Aku tak peduli. Sekarang tak penting lagi bagiku, dia menatapku seperti itu, atau sebaliknya, tak akan berpengaruh apa-apa.
“Lalu apa yang bisa kulakukan? Ha? Seperti kamu itu? Hanya diam dan menonton?”
Aku tersenyum miring.
“Setidaknya bukan aku yang membuat Mama kamu pingsan, begitu tahu ternyata anak kebanggaannya meniduri istri orang,” sindirku tajam.
“Kamu!” Lelaki itu geram, menghentak napas kasar, lalu diam.
Aku bergerak mendekati tubuh ibunya. Bik War segera bergeser.
“Tolong ambil air hangat!” perintahku kepadanya.
Kuambil alih mengembalikan kesadaran Mama mertua. Membalurkan minyak kayu putih di ujung setiap jemari tangan dan kakinya, lalu mulai memggosok-gosok dan menekan aliran darah di pergelangan tangannya.
“Indri ….”
Aku menarik napas lega. Ibu mertuaku mulai membuka kelopak matanya.
“Saya, Ma,” jawabku lembut.
“Syukurlah, Mama sudah sadar. Perlu kita ke rumah sakit, Ma?” Mas Haga langsung bersimpuh di dekat kepala ibunya.
“Tolong suruh dia pergi dulu, In!” Sang Mama menghiba. Wajahnya berpaling ke arah sandaran sofa.
“Tolong tinggalkan kami!” perintahku pada sang putra. Lelaki itu menghela napas berat, lalu perlahan bangkit, dan berlalu.
“Mama minum dikit, ya?” bujukku setelah Bik War datang dengan segelas air putih hangat.
Kubantu mertuaku duduk, lalu meneguk air itu beberapa teguk, lalu membantunya untuk kembali berbaring di atas sofa itu.
“Ambilkan ponsel saya, Bik!” titahnya kepada Bik War. Wanita itu segera berlalu.
“Mama mau nelpon Papa?” tanyaku hati-hati.
Wanita itu menggeleng.
“Lalu siapa?”
“Bara.”
Aku tercekat. Bara adalah anak sulungnya. Posisinya di negara luar sana. Untuk apa ditelpon, coba? Toh tak akan menyelesaikan masalah. Justru akan membuat anaknya tak tenang di sana. Tapi, aku bisa apa, terserah dia saja. Aku bukan siapa-siapa di rumah ini, tak pantas ikut campur apalagi sok menggurui.
“Carikan namanya, Sayang!” pintanya padaku, sambil menyodorkan ponsel miliknya.
Aku menurut.
“Polanya, Ma?” ucapku menyerahkan kembali benda itu padanya.
“Tahun lahir Bara dan tahun lahir Haga, Nak!”
Aku tercekat. Bagaimana mungkin aku tahu tahun lahir anak-anaknya. Oke tahun lahir Mas Haga aku tahu karena sempat kubaca di surat nikah kami. Tapi, Mas Bara?
“Cepat, In!” Wanita itu seperti tak sabar melihat aku hanya bengong.
“Tahun lahir Mas Bara, Ma?” tanyaku menatapnya.
“Lima tahun lebih tua Bara dari pada Haga,” sahutnya membuat otakku harus berpikir. Kuhitung mundur sebanyak lima dari tahun kelahiran Mas Haga.
Benar, ponselnyapun terbuka. Kuscrol daftar kontak, tidak terlalu jauh.
“Ini, Ma!” Kusodorkan ponsel kepadanya setelah menemukan nama itu.
“Panggil lewat WA saja, In!”
Aku menuruti perintahnya.
“Ini, Ma!” kembali lagi aku menyodorkan ponsel miliknya.
“Kamu aja yang ngomong!”
Duh! Ribet benar mertuaku ini. Bagaimana aku memulai pembicaraan dengan seseorang yang belum kukenal?
Kutatap layar ponsel, klik symbol telpon, panggilanku disambungka. Kutatap lekat foto lelaki yang bernama Bara itu di layar. Mirip Mas Haga, tetapi wajahnya terlihat lebih kalem, meskipun tatapan matanya teramat tajam. Tercermin kedewasaan dari aura yang terpancar dari wajahnya. Beda dengan mata Mas Haga yang terlihat kekanakan.
“Hallo, Ma? Assalamualaikum ….”
Aku tersentak kaget. Larut memandangi wajah tampan itu, tak sadar panggilanku sudah tersambung. Segera kutekan pengeras suara, agar Mamanya bisa mendengar langsung.
“Hallo, Mas Bara,” jawabku pelan.
“Hey, siapa ini? Asisten Baru, ya?”
Deg!
Begitu jelekkah suaraku, sehingga aku dia anggap asisten baru Mamanya?
“Mana Mama? Kasihkan dia saja!”
Lho, kok sadis amat? Siapa juga mau nelpon dia kalau bukan dipaksa mamanya. Tampan tapi sombong! Duh, kenapa kedua anak mertuaku ini sombong-sombong, sih? Terllau laam bergelimang harta dan kemewahan sepertinya, sehingga lupa tata karma.
“Hey, siapa nama kamu? Berikan Mama telponnnya!” perintahnya dari ujung sana.
Kusodorkan pada ibunya.
“Bara, itu tadi Indri, istrinya Haga! Bukan asisten baru!” Mamanya menerima telpon.
Mas Haga berjalan lalu duduk di depan ibunya. Aku memilih pergi, kutinggalkan ibu dan anak itu berbicara.
**
Sudah dua hari Mama mertuaku tinggal di rumah ini. Bahkan suaminya juga ikut pindah ke sini. Rumah besar ini memang tak akan bertambah sempit meski penghuninya bertambah sepuluh orang lagi sekali pun. Hanya saja, aku menjadi kikuk, tak leluasa dalam bertindak dan bersikap, terutama dalam menghadapi anak mereka. Mas Haga.
Tadi malam dia tidur di kamar tamu, jelas dia tak sudi tidur sekamar denganku. Entah karena dia jijik, benci atau apapun alasannya, tak penting bagiku. Karena akupun tak sudi sekamar dengannya.
Tetapi malam ini sepertinya dia harus tidur di kamar ini. Papa dan Mama mertuaku mengawasi setiap gerak-geriknya. Mas Haga masih dikurung di rumah oleh Mama, khawatir suami Ara mencelakainya. Sepertinya akan tetap seperti itu, hingga Mas Bara pulang. Dua hari lagi.
Kudengar, Mas Bara mempercepat kepulangan. Atas permintaan ibunya, dia tak akan berlama-lama di negara kanguru tersebut, begitu acara wisuda selesai. Kedua mertuaku tak menghadiri acara itu, karena kondisi kesehatan mereka yang tak memungkinkan.
**
Kuraih selimut dan sebuah bantal, lalu memilih pindah ke sofa, di dekat jendela kamar. Lelaki itu menatap perbuatanku dengan acuh. Aku bersikap lebih acuh.
Mulai berbaring di sana, menutup seluruh tubuh dengan selimut dari ujung kepala hingga kaki. Berusaha memusatkan hati dan pikiran agar cepat terlelap. Namun, mata ini sulit diajak kompromi. Entah mengapa aku begitu waswas. Ya, aku khawatir kalau-kalau lelaki itu mengulang perbuatanya dua hari yang lalu. Tiba-tiba memperkosaku.
Meskipun statusnya adalah suamiku, namun tidak lagi bagiku sejak dia mengatakan ada wanita lain yang dia cintai, dan itu bukan aku. Bahkan dia tega membawa perempuan itu ke rumah ini di malam pertama pernikahan kami. Mereka berzina sampai pagi, di kamar tamu.
Sepertinya aku sempat terlelap, saat tiba-tiba telingaku menangkap suara mencurigakan. Kutajamkan pendengaran.
“Iya, Sayang, besok aku usahakan, ya. Aku pasti bisa keluar.”
Itu suara Mas Haga. Dengan siapa dia berbicara? Siapa lagi yang dia panggil ‘Sayang’?
“Iya, lho, Ra. Aku paham. Besok, ya, kita ketemu di hotel biasa, ya!”
Astaga! Ara? Jadi Mas Haga belum kapok juga? Dia masih melanjutkan hubungannya dnegan Ara, yang jelas-jela sistri orang lain? Ya, Tuhan, laki-laki seperti apa yang Engkau pilihkan menjadi suamiku ini, Ya, Allah?
“Iya, Sayang, Tapi, bisa gak kamu jelasin, kenapa gak jujur dari awal kalau kamu itu sudah bersuami?”
Aku tak bisa mendengar jawaban Ara. Mas Haga sengaja tak menggunakan speaker ponselnya.
“Ya, tidak juga, sih. Aku tak akan mundur meskipun kamu sudah bersuami. Cuma, aku berharap, agar kamu segera berpisah dari dia!”
Hem, Mas Haga kini menyempurnakan dosa-dosanya. Setelah menzinahi istri orang, kini dia menyempurnakan dengan menyuruh bercerai. Ya, si Ara juga sama. Sepasanag manusia yang sangat cocok. Benar kata orang-orang, bahwa orang yang baik pasti pasangannya juga orang baik, sebaliknya orang yang bejad, maka pasangannya juga orang yang bejad.
Jelas, pernikahanku ini salah. Aku bukan pasangan lelaki itu. Kupastikan bukan. Meskipun kami sempat melangsungkan pernikahan, tetapi aku yakin, dia bukan pilihan Allah untukku. Ini hanyalah kesalahan.
Entah berapa lama lagi mereka mengobrol, aku tak berniat menguping lagi. Kusumbat kedua telingaku dengan bantal guling, lalu melanjutkan tidurku yang sempat terjaga.
**
“Kamu serius mau bekerja lagi di butik itu, In?” tanya Mama mertua, saat aku meminta izin keluar rumah pagi ini. Kami tengah berkumpul di meja makan untuk sarapan bersama.
“Iya, Ma,” jawabku tersenyum. Kuolesi roti tawar dengan selai srikaya dan menaburinya dengan butiran coklat.
“Kenapa tidak di rumah saja, Nak! Kalian masih pengantin baru, kan? Belum seminggu juga pernikahan kalian,” protes Papa mertua. Dia belum tahu juga apa yang telah terjadi. Sengaja dirahasiakan padanya.
“Saya enggak betah di rumah, Pa. Biasa bergerak, udah tiga hari diam di rumah membuat badan saya sakit semua, Pa.” Aku beralibi.
“Tetapi, kamu itu bukan Indri yang dulu lagi, Nak. Kamu itu sudah menjadi Nyonya Haga, putra bungsu pemilik perusahaan tambang terbesar di daerah ini, Sayang. Apa kata orang nanti, kalau menantu kami masih bekerja di toko pakaian itu, Nak?” Mama mertua memelas.
Kulirik Mas Haga. Lelaki itu terlihat acuh. Dikunyaknya rotinya cepat-cepat, menyeruput habis susu di gelasnya. Sepertinya dia tak peduli dengan perbincangan kami. Atau jangan-jangan dia malah tak mendengar apa-apa kini, setelah obrolannya tadi malam dengan Ara.
Aku juga harus cepat-cepat. Karena tujuanku yang sebenarnya adalah hendak mengikutinya. Bukan untuk mencegah atau menghalangi, tetapi untuk melindungi mertuaku. Kedua mertuaku tak boleh mati berdiri karena perbuatan anaknya. Aku khawatir, suami Ara justru sedang sengaja menjebak Mas Haga dengan mengumpankan Ara.
“Bagaimana kalau kamu buka usaha butik sendiri, In?”
Aku tercekat. Ucapan Mama mertua membuatku terperangah.
“Ya, kalau memang kamu enggak bisa diam di rumah seperti Mama, kamu boleh kok buka usaha. Usaha butik seperti pekerjaan kamu selama ini. Kamu sudah berpengalaman di bidang itu, bukan? Papa pasti akan modali usaha kamu, Nak.” Papa mertua menimpali.
Aku kian terharu. Keduanya berlomba menunjukkan perhatian dan kasih sayangnya padaku. Mertua seperti ini, aku tak akan sanggup mengecewakannya. Aku berjanji akan selalu membahagiakan mereka. Meski kedua anaknya yang sombong sombong itu akan menjadi penghalang buatku. Kasihan mereka. Suami istri begini baik, tetapi mempunyai putra tak sesuai harapan. Ya, meskipun watak Mas Bara aku masih belum jelas. Tetapi dari cara dia menerima telpon waktu itu, aku yakin dia lelaki dingin, sombong dan tak punya etika. Itu pendapat awalku.
“Bagaimana, In?”
“Oh, iya, baiklah, Ma, Pa, saya senang sekali. Terima kasih, Ma, Pa,” jawabku.
“Haga, kamu setuju?” Papa menoleh ke anaknya.
“ya, terserah saja, Haga permisi, Pa, Ma, mo servise mobil sebentar!” Mas Hag bangkit.
“Eh, Haga! Kamu gak boleh keluar dulu! Belum seminggu pernikahan kalian!” Mamanya berteriak. Itu hanya alasannya untuk mencegah sang putra.
“Bentar, Ma. Gak jauh dan gak lama.”
Mas Haga meraih dan mencium punggung tangan kedua orang tuanya. Mama dan Papa tak bisa mencegah.
“Saya juga mau nemui Bos tempat saya kerja, ya, Pa, Ma. Sekalian mau izin resign dan sekaligus nanya-nanya untuk persiapan buka usaha sendiri,” ucapku buru-buru, meraih dan mencium juga punggung tangan mereka, lalu setengah berlari menyusul Mas Haga.
“Kalian bareng aja!” Mama mengikuti sampai ke teras.
“Kita pura-pura bareng aja! Nanti di depan aku turun!” usulku begitu menghenyakkan tubuh di samping Mas Haga. Terpaksa dia menurut.Segera kupesan taksi online lewat aplikasi di ponselku.
“Turun di sini saja! Aku mau menjumpai Ara!” Lelaki itu menepikan mobil tak jauh dari rumah. Sedikitpun tak ada nada sungkan dari cara bicaranya. Sebegitu jijiknya dia padaku, hingga berlama-lama semobil pun dia enggan. Sayangnya aku tak sakit hati lagi. Ya, taka da rasa apa-apa lagi di hati ini, meski itu rasa sakit sekalipun. Sudah mati rasa.
Gegas aku turun, bertepatan dengan taksi online pesananku tiba. Kuminta dia mengikuti mobil Mas Haga.
Dua puluh menit perjalanan, Mobil suamiku berhenti di sebuah hotel lalu masuk ke areal parkir. Aku menunggu di dalam mobil taksi pesananku, sengaja kuminta bersabar menunggu.
Dua menit, Mas Haga kulihat berjalan dari areal parkir menuju pintu utama sambil menelepon, pasti dia menelepon Ara pasangan mesumnya. Tubuhnya lenyap di dalam gedung hotel. Saat itulah aku melihat lelaki yang kemarin menjemput Ara, suaminya. Dua orang tinggi tegap mengiringinya masuk ke dalam hotel.
Benar dugaanku, Mas Haga sengaja dijebak.
Tanpa pikir panjang aku turun dari mobil, mengikuti ketiganya. Demi mertuaku, demi nama baik mereka, aku akan berjuang semampuku.
===“Maaf, Mbak mau ke mana, ya?”Security yang berdiri di pintu utama mencegatku. Cari akal! Berpikir, Indri! Cepat! Kupaksa otak berpikir keras.Kenapa kedua security ini membedakan aku dengan pengunjung lain, coba? Apakah karena penampilanku? Gamis panjang ini kah penyebabnya, hingga mereka curiga padaku?“Atau ada yang bisa kami bantu, Mbak?” tanyanya lagi.“Oh, tidak, itu suami saya, lho! Maaf, permisi!”Kupasang wajah yang sangat meyakinkan, sambil menunjuk suami Ara yang kini sudah sapai di dekat pintu lif.“Tunggu, Mas!” Aku berteriak. Setengah berlari aku pura-pura mengejar ketiga orang itu.Untunglah kedua petugas keamanan itu tidak curiga.Hampir saja pintu lif tertutup, saat aku sampai di depan pintunya. Kini aku berdiri begitu dekat dengan mereka. Untung beberapa pengunjung juga bersama kami di dalam lif. Jadi, suami Ara tak akan mencurugai kalau aku membuntutinya.Di lantai dua, pintu lif terbuka, dua orang turun, tetapi bukan suami Ara. Di lantai tiga, pintu lif
7Pemenang itu bisa saja lebih dari satu. Agar bisa menang, yang lain tak harus disingkirkan. Biarkan dia membayang-bayangi kesuksesan kita. Kita tak harus tampil menjadi satu-satunya pemenang. Tak perlu menginjak orang lain agar bisa berdiri kokoh. Kita bisa berdiri sama-sama. Bahkan menjalin kerja sama.===Berjalan terburu-buru, aku melewati lelaki itu. Dia menatapku dari kejauhan, saat melangkah melintasi halaman nan luas rumah mewah itu. Tak peduli dengan tatapannya, aku menerobos masuk. Hampir saja aku menabrak tubuhnya, saat dia menghalangi jalanku menuju pintu utama.“Sebentar, aku mau bicara!” Dia menangkap lenganku.Terpksa langkahku terhenti.“Maaf!” ucapku menatap tajam cengkraman tangannya di lenganku, sebagai protes atas perbuatan tak sopannya.“Aku mau bicara,” tuturnya melonggarkan cengkraman.“Lepas tangan saya!” perintahku tetap tak mengalihkan tatapan.“Ok, tapi kamu jangan pergi dulu sebelum aku berbicara.”“Baik, silahkan! Satu menit waktu kamu!”“So
===“Baru pulang, In?” Mama mertua menyambut kepulanganku dengan senyum ramah. Suaminya melirikku sekilas lalu kembali fokus pada ponselnya. Sepertinya dia tengah video call dengan seseorang. Siapa lagi kalau bukan putra sulungnya, Mas Bara.“Iya, Ma. Maaf saya terlambat. Gak bisa ikut makan malam bareng tadi,” ucapku sedikit menyesal.“Gak apa-apa. Maklum, ini hari pertama kamu mengelola butik kamu sendiri, iya, kan? Gimana tadi?”“Lancar, Ma. Saya tetap menempatkan Kak Johana sebagai manager di Butik. Dia sudah berpengalaman banyak. Dan karyawan lain, saya janji akan meningkatkan income mereka mulai bulan depan.”“Bagus. Mama dan Papa akan tetap mendukung apapun keputusan kamu, Sayang. Hanya saja, kami berharap, kamu jangan terlalu forsir di kerjaan. Lebih baik kamu fokus ke pernikahan kamu saja. Kami pengen cepat-cepat gendong cucu, In, hehehe ….”Aku ikut terkekeh kecil, meski sedikitpun aku tak merasa lucu. Justru aku merasa gamang. Bagaimana bisa aku memenuhi harapan mereka? Cu
===“Ara sudah ditalak suami sirinya. Dia berjuang untuk lepas dari lelaki bedebah itu. Maka sebagai imbalannya, dia memintaku berbuat yang sama. Aku harus talak kamu, kuharap kamu bisa mengerti.”“Ya, aku mengerti, jangan khawatir. Jadi, talak ini karena permintaan Ara?”“Maaf, aku sangat mencintai Ara.”“Tak perlu minta maaf, aku terima talak kamu, Mas. Mulai detik ini, kita bukan lagi suami istri.”“Kamu marah?”“Tidak. Inilah yang terbaik untuk kita. Toh dilanjutkan juga tak ada gunanya, bila kamu tetap tak bisa lepas dari bayang-bayang perempuan itu.”“Aku mencintai Ara. Kami saling mencintai.”“Ya, aku paham. Meski dia istri seseorang.”“Dia sudah ditalak.”“Selamat untuk kalian berdua.”“Semula, aku ingin menikahinya tanpa mentalak kamu, tetapi Ara tak mau. Dia ingin menjadi satu-satunya untukku.”“Dan aku tak akan mau bila berbagi suami dengannya. Jadi, aku sangat mendukung keputusanmu mentalak aku.”“Terima kasih atas pengertian kamu, In!”“Ok. Besok pagi aku akan beran
===“Kita pulang, Sayang? Kamu udah kuat, kan?” Mama mertua menepuk lembut pipiku.Kuulas senyum tipis.“Bentar lagi, dong, Ma! Tunggu barang sejam dua jam lagi. Biar Indri lebih kuat.” Suaminya menyarankan.“Iya, iya. Mama itu rasanya gak sabar, Pa. Pengen waktu cepat berlalu, biar cepat gendong cucu, hehehe ….”“Orang tua Nak Indri udah mama telpon, kan?”“Udah. Mereka udah di jalan. Saya suruh nunggu di rumah saja. Kita ketemu di rumah, toh kita juga udah mau pulang.”“Ya, udah. Saya mau ke lantai tga sebentar, ada rekan bisnis kita kebetulan juga sedang di rawat di sini. Kamu mau nemani Papa, Bara?” Papa mertua menatap putra sulungnya.“Papa aja, deh, Pa. Bara mau ngurus administrasi ruamh sakit ini sebentar lagi, Mama aja yang nemani Papa!” tolak Mas Bara.“Haga, kan bisa ngurus administrasi perawatan istrinya. Tapi, sudahlah. Papa pergi dulu, ayo, Ma!”“Indri, bentar, ya, Sayang! Kamu istirahat aja dulu, sambil ngabisin infus di botol itu, biar semakin kuat.” Mama mertu
****“Apa, rujuk?” Haga tersenyum tipis sambil menggeleng-gelengkan kepala.“Iya, rujuk! Kamu harus rujuk dengan Indri!” ujar Bara sambil menatapnya tajam.“Aku tak mau!”“Harus, Haga, titik!”“Aku tidka mau rujuk, Mas! Kalau Mas Bara mau sama dia, silahkan ambil!”“Apa maksudmu? Apa maksudmu?”“Mas peduli pada kesehatam Papa dan Mama, kan? Kenapa tidak Mas aja yang nikahi Indri?”“Bang*sat kau!”“Hentikan!” teriaku saat tangan Mas Bara kembali menyerang wajah Mas Haga.Kedua laki-laki itu menoleh ke arahku.“Kalian bertengkar karena kehamilanku?” tanyaku dengan nada pelan, hampir mirip gumaman.“Bukan itu masalahnya, Sifat ktidakdewasaan kalianlah yang menjadi permasalahannya,” jawab Mas Bara masih ketus.“Mas Haga sudah menceraikanku. Saat itu kami belum tahu kalau ada janin di perutku. Dan perlu Mas Bara tahu, janin ini ada akibat aku diperkosa. Bukan atas dasar cinta.”“Apa maksudmu?” Mas Bara menatapku tajam.“Tak ada maksud apa-apa. Aku hanya ingin menekankan, agar Mas Ba
===“Jadi, kamu diam-diam sudah pisah dengan Haga?” Mama mertua berjalan masuk.“Tenang, Ma! Tenang! Mama salah dengar sepertinya.” Mas Bara menyongsong ibunya.“Mama dan Papa sudah dengar semuanya. Tak perlu kalian tutup-tutupi lagi!”Ok, tapi Mama harus bisa tenang! Kalau Mama saja seperti ini, bagaimana dengan Papa?”“Stop Bara! Berhenti mengkhawatirkan Papa dan Mama. Kami baik-baik saja. Cukup sudah perbuatan Haga menghancurkan semuanya. Berhenti menutupi kesalahannya!”Aku terperangah. Mama terlihat begitu tegar. Awalnya dia memang tampak sangat terkejut, tetapi setelahnya aku dan Mas Bara yang dia buat terkejut. Apalagi melihat reaksi Papa mertuaku. Lelaki paruh baya itu malah berjalan tenang menghampiri kami, meraih sebuah kursi lalu duduk di sisi ranjang. Tepat di sebelah kanan kepalaku.“Papa dan Mama baik-baik saja?” Mas Bara masih tak percaya.“Haruskah kami menghembuskan napas terakhir hanya karena ulah adikmu? Haga sudah kelewatan. Semua kami lakukan demi kebaika
****“Kita duduk, Pa! Papa tenang, ya!” Mas Bara memapah ayahnya menuju kursi di teras itu.“Baik, baik. Papa baik-baik saja! Tolong jelaskan, siapa perempuan itu!” ulang Papa menunjuk ke arah Mas Haga dan Ara.“Gak usah pura-pura terkejut Om!”Mas Arga yang menjawab.“Om sudah tahu sebetulnya kebusukan putra Om, sengaja menikahkannya dengan adik saya untuk menutupi kebejatannya. Agar keluarga Om tetap terhormat di mata masyarakat. Dengan menikahi putri seorang Ustadz, maka masyarakat akan menilai kalau Haga laki-laki baik, terhormat. Padahal busuk, pezina! Berzina dengan pelacur busuk! Dasar keluarga munafik!” maki Mas Arga kian emosi.“Hentikan Arga! Tutup mulutmu!” Bapak mengguncang bahu Mas Arga.“Aku sudah lama menyelidiki ini. Laki-laki busuk ini bahkan sudah menikah siri dengan perempuan itu! Adikku yang baik, ternyata bernasip begitu malang! Dia diselingkuhi, bahkan di madu dengan seorang perempuan murahan, dimadu dengan seorang lont*!”Mas Arga meradang lagi.“Arga! K