Share

5. Kedatangan Bang Ipar

****

Lelaki itu  menggendong tubuh ibunya, kembali masuk ke dalam rumah. Aku mengikuti dari belakang. Bik War terlihat   panik. Berlarian kesana ke mari, lalu kembali dengan minyak subuah botol minyak kayu putih di tangan.  Mas Haga meletakkan ibunya di sofa ruang tamu, karena itu yang paling dekat saat ini.

“Ibuk! Bangun, Buk! Ibuk!”  panggil Bik War. Kuperhatikan cara dia  menyadarkan nyonya besarnya. Mengoleskan minyak kayu putih di hidung, kening dan  pelipis sang majikan.

Aku hanya  berdiri mematung.

“Aku akan telpon Papa,” ucap Mas Haga berinisiatif.

“Buat  apa? Agar dia juga pingsan?” tanyaku menghambatnya.

Lelaki itu melotot. Menatapaku dengan sorot amarah. Aku tak peduli. Sekarang tak penting lagi bagiku, dia menatapku seperti itu, atau sebaliknya, tak akan berpengaruh apa-apa.

“Lalu apa yang bisa kulakukan? Ha? Seperti kamu itu? Hanya diam dan menonton?”

Aku tersenyum miring. 

“Setidaknya bukan aku yang membuat Mama kamu pingsan, begitu tahu ternyata anak kebanggaannya meniduri istri orang,” sindirku  tajam.

“Kamu!” Lelaki itu geram, menghentak napas kasar,  lalu diam.

 Aku bergerak mendekati  tubuh ibunya. Bik War segera bergeser.

“Tolong ambil air hangat!” perintahku kepadanya.

Kuambil alih mengembalikan kesadaran Mama mertua. Membalurkan minyak kayu putih di ujung setiap jemari tangan dan kakinya, lalu mulai  memggosok-gosok dan menekan aliran darah di  pergelangan tangannya. 

“Indri ….”

Aku menarik napas lega. Ibu mertuaku mulai membuka kelopak matanya.

“Saya, Ma,” jawabku lembut.

“Syukurlah, Mama sudah sadar. Perlu kita ke rumah sakit, Ma?” Mas Haga langsung bersimpuh di dekat kepala ibunya.

“Tolong suruh dia pergi dulu, In!” Sang Mama menghiba. Wajahnya berpaling ke arah sandaran sofa.

“Tolong tinggalkan kami!” perintahku pada sang putra. Lelaki  itu menghela napas berat, lalu perlahan bangkit, dan berlalu.

“Mama minum dikit, ya?” bujukku setelah Bik War datang dengan segelas air putih hangat.

Kubantu mertuaku duduk, lalu meneguk air itu beberapa teguk, lalu membantunya untuk kembali berbaring di atas sofa itu.

“Ambilkan ponsel saya, Bik!” titahnya kepada Bik War. Wanita itu segera berlalu.

“Mama mau nelpon Papa?” tanyaku hati-hati.

Wanita itu menggeleng.

“Lalu siapa?”

“Bara.”

Aku tercekat. Bara adalah anak sulungnya. Posisinya di negara luar sana. Untuk apa ditelpon, coba? Toh tak akan menyelesaikan masalah. Justru akan membuat anaknya tak tenang di sana. Tapi, aku bisa apa, terserah dia saja. Aku bukan siapa-siapa di rumah ini, tak pantas ikut campur apalagi sok menggurui.

“Carikan namanya, Sayang!” pintanya padaku,  sambil menyodorkan ponsel miliknya.

Aku menurut.

“Polanya, Ma?” ucapku menyerahkan kembali benda itu padanya.

“Tahun lahir Bara dan tahun lahir Haga, Nak!”

Aku tercekat. Bagaimana mungkin aku tahu tahun lahir anak-anaknya.  Oke tahun lahir Mas Haga aku tahu karena sempat kubaca  di surat nikah kami. Tapi, Mas Bara?

“Cepat, In!”  Wanita itu seperti tak sabar melihat aku hanya bengong.

“Tahun lahir Mas Bara, Ma?” tanyaku menatapnya.

“Lima tahun lebih tua Bara dari pada Haga,” sahutnya membuat otakku harus berpikir. Kuhitung mundur sebanyak lima dari tahun kelahiran Mas Haga.

Benar, ponselnyapun terbuka. Kuscrol  daftar kontak, tidak terlalu jauh.

“Ini, Ma!” Kusodorkan ponsel kepadanya setelah menemukan nama itu.

“Panggil  lewat WA saja, In!”

Aku menuruti perintahnya.

“Ini, Ma!” kembali lagi aku menyodorkan ponsel miliknya.

“Kamu aja yang ngomong!”

Duh! Ribet benar mertuaku ini. Bagaimana aku memulai pembicaraan dengan seseorang yang belum kukenal?

Kutatap layar ponsel, klik symbol  telpon, panggilanku disambungka. Kutatap lekat foto lelaki yang bernama Bara itu di layar.  Mirip Mas Haga, tetapi wajahnya terlihat  lebih kalem, meskipun tatapan matanya teramat tajam.  Tercermin kedewasaan dari aura yang terpancar dari wajahnya. Beda dengan mata Mas Haga yang terlihat kekanakan.

“Hallo, Ma? Assalamualaikum ….”

Aku tersentak kaget. Larut memandangi wajah tampan itu, tak sadar panggilanku sudah tersambung. Segera kutekan pengeras suara, agar Mamanya bisa mendengar langsung.

“Hallo, Mas Bara,” jawabku pelan.

“Hey, siapa ini? Asisten Baru, ya?”

Deg!

Begitu jelekkah suaraku, sehingga aku dia anggap asisten baru Mamanya?

“Mana Mama? Kasihkan dia saja!”

Lho, kok sadis amat? Siapa juga mau nelpon dia kalau bukan dipaksa mamanya. Tampan tapi sombong! Duh, kenapa kedua  anak mertuaku ini sombong-sombong, sih? Terllau laam bergelimang harta dan kemewahan sepertinya, sehingga lupa tata karma.

“Hey, siapa nama kamu? Berikan Mama telponnnya!” perintahnya dari ujung sana.

Kusodorkan pada ibunya.

“Bara, itu tadi Indri, istrinya Haga! Bukan asisten baru!” Mamanya menerima telpon.

Mas Haga  berjalan lalu duduk di depan ibunya. Aku memilih pergi, kutinggalkan ibu dan  anak itu berbicara.

**

Sudah dua hari Mama mertuaku tinggal di rumah ini. Bahkan suaminya juga ikut pindah ke sini. Rumah besar ini memang tak akan  bertambah sempit meski penghuninya bertambah sepuluh orang lagi sekali pun. Hanya saja, aku menjadi kikuk, tak leluasa dalam bertindak dan bersikap, terutama dalam menghadapi anak mereka. Mas Haga.

Tadi malam dia tidur di kamar tamu,  jelas dia tak  sudi tidur sekamar denganku. Entah karena dia jijik, benci atau apapun alasannya,  tak penting bagiku. Karena akupun tak sudi sekamar dengannya.

Tetapi malam ini sepertinya  dia harus tidur di kamar ini. Papa dan Mama mertuaku mengawasi setiap gerak-geriknya.  Mas Haga masih dikurung di rumah oleh Mama, khawatir suami Ara mencelakainya.  Sepertinya akan tetap seperti itu, hingga Mas Bara  pulang. Dua hari lagi.

Kudengar, Mas Bara mempercepat kepulangan. Atas permintaan ibunya, dia tak akan  berlama-lama di negara kanguru tersebut, begitu acara wisuda selesai.  Kedua mertuaku tak menghadiri acara itu, karena kondisi kesehatan mereka yang tak memungkinkan.

**

Kuraih selimut dan sebuah bantal, lalu memilih pindah ke sofa, di dekat jendela kamar. Lelaki itu menatap perbuatanku dengan acuh. Aku bersikap lebih acuh.

Mulai berbaring di sana, menutup seluruh tubuh dengan selimut dari ujung kepala hingga kaki. Berusaha memusatkan hati dan pikiran agar cepat terlelap. Namun,  mata ini sulit diajak kompromi. Entah mengapa aku begitu waswas. Ya, aku khawatir kalau-kalau lelaki itu mengulang perbuatanya dua hari yang lalu. Tiba-tiba memperkosaku.

Meskipun statusnya adalah suamiku, namun tidak lagi bagiku sejak dia mengatakan ada wanita lain yang dia cintai, dan itu bukan aku. Bahkan dia tega membawa perempuan itu  ke rumah ini di malam pertama pernikahan kami. Mereka berzina sampai pagi, di kamar tamu.

Sepertinya aku sempat terlelap, saat tiba-tiba telingaku menangkap suara mencurigakan. Kutajamkan pendengaran.

“Iya, Sayang, besok aku usahakan, ya. Aku pasti bisa keluar.”

Itu suara Mas Haga. Dengan siapa dia berbicara? Siapa lagi yang dia panggil ‘Sayang’?

“Iya, lho, Ra. Aku paham. Besok, ya, kita ketemu di hotel biasa, ya!”

Astaga! Ara? Jadi Mas Haga belum kapok juga? Dia masih melanjutkan hubungannya dnegan Ara, yang jelas-jela sistri orang lain? Ya, Tuhan,  laki-laki seperti apa yang Engkau pilihkan menjadi suamiku ini, Ya, Allah?

“Iya, Sayang, Tapi, bisa gak kamu jelasin, kenapa gak jujur dari awal kalau kamu itu sudah bersuami?”

Aku tak bisa mendengar jawaban Ara. Mas Haga sengaja tak menggunakan speaker ponselnya.

“Ya, tidak juga, sih. Aku tak akan mundur meskipun kamu sudah bersuami. Cuma, aku berharap, agar kamu segera berpisah dari dia!”

Hem, Mas Haga kini menyempurnakan dosa-dosanya. Setelah menzinahi istri orang, kini dia menyempurnakan dengan menyuruh bercerai.   Ya, si Ara juga sama. Sepasanag manusia yang sangat cocok. Benar kata orang-orang, bahwa orang yang baik pasti pasangannya juga orang baik, sebaliknya orang yang bejad, maka pasangannya juga orang yang bejad.

Jelas, pernikahanku ini salah. Aku bukan pasangan  lelaki itu. Kupastikan bukan. Meskipun kami sempat melangsungkan pernikahan, tetapi aku yakin, dia bukan pilihan Allah untukku. Ini hanyalah kesalahan.

Entah berapa lama lagi mereka mengobrol, aku tak berniat menguping lagi. Kusumbat kedua telingaku dengan bantal guling, lalu melanjutkan tidurku yang sempat terjaga.

**

“Kamu serius mau bekerja lagi di butik itu, In?” tanya Mama mertua, saat aku meminta izin keluar rumah pagi ini. Kami tengah berkumpul di meja makan untuk sarapan bersama.

“Iya, Ma,” jawabku tersenyum. Kuolesi roti tawar dengan selai srikaya dan  menaburinya dengan butiran coklat.

“Kenapa tidak di rumah saja, Nak! Kalian masih pengantin baru, kan? Belum seminggu juga pernikahan kalian,” protes Papa mertua. Dia belum tahu juga apa yang telah terjadi. Sengaja dirahasiakan padanya.

“Saya enggak betah di rumah, Pa. Biasa bergerak, udah tiga hari diam di rumah membuat badan saya sakit semua, Pa.” Aku beralibi.

“Tetapi, kamu itu bukan Indri yang dulu lagi, Nak. Kamu itu sudah menjadi Nyonya Haga, putra bungsu pemilik perusahaan tambang terbesar di daerah ini, Sayang. Apa kata orang nanti, kalau menantu kami masih bekerja di toko pakaian itu, Nak?” Mama mertua memelas.

Kulirik Mas Haga. Lelaki itu terlihat acuh. Dikunyaknya rotinya cepat-cepat, menyeruput habis susu di gelasnya. Sepertinya dia tak peduli dengan perbincangan kami. Atau jangan-jangan dia malah tak mendengar apa-apa kini, setelah obrolannya tadi malam dengan Ara.

Aku juga harus cepat-cepat. Karena tujuanku yang sebenarnya adalah hendak mengikutinya. Bukan untuk mencegah atau menghalangi, tetapi  untuk melindungi mertuaku. Kedua  mertuaku tak boleh mati berdiri karena perbuatan anaknya.  Aku  khawatir, suami Ara justru sedang sengaja menjebak Mas Haga dengan mengumpankan Ara.

“Bagaimana kalau kamu buka usaha butik sendiri, In?”

Aku tercekat. Ucapan Mama mertua membuatku terperangah.

“Ya, kalau memang kamu enggak bisa diam di rumah seperti Mama, kamu boleh kok buka usaha. Usaha butik seperti pekerjaan kamu selama ini. Kamu sudah berpengalaman di bidang itu, bukan? Papa pasti akan modali usaha kamu, Nak.”  Papa mertua menimpali.

Aku kian terharu. Keduanya berlomba menunjukkan perhatian dan kasih sayangnya padaku. Mertua seperti ini, aku tak akan sanggup  mengecewakannya. Aku berjanji akan selalu membahagiakan mereka. Meski kedua anaknya yang sombong sombong itu akan menjadi penghalang buatku.  Kasihan mereka. Suami istri begini baik, tetapi mempunyai putra tak sesuai harapan. Ya, meskipun watak Mas Bara  aku masih belum jelas. Tetapi dari cara dia menerima telpon waktu itu, aku yakin dia lelaki dingin, sombong dan tak punya etika. Itu pendapat awalku.

“Bagaimana, In?”

“Oh, iya, baiklah, Ma, Pa, saya senang sekali. Terima kasih, Ma, Pa,” jawabku.

“Haga, kamu setuju?” Papa menoleh ke anaknya.

“ya, terserah saja, Haga permisi, Pa, Ma, mo servise mobil  sebentar!” Mas Hag bangkit.

“Eh, Haga! Kamu gak boleh keluar dulu!  Belum seminggu pernikahan kalian!” Mamanya berteriak. Itu hanya alasannya untuk mencegah  sang putra.

“Bentar, Ma. Gak jauh dan gak lama.”

Mas Haga meraih dan mencium punggung tangan kedua orang tuanya. Mama dan Papa tak bisa mencegah.

“Saya juga mau nemui Bos tempat saya kerja, ya, Pa, Ma. Sekalian mau izin resign dan sekaligus nanya-nanya untuk persiapan buka usaha sendiri,” ucapku buru-buru, meraih dan mencium juga punggung tangan mereka, lalu setengah berlari  menyusul Mas Haga.

“Kalian bareng aja!” Mama mengikuti  sampai ke teras.

“Kita pura-pura bareng aja! Nanti di depan aku turun!” usulku begitu menghenyakkan tubuh di samping Mas Haga. Terpaksa  dia menurut.

Segera kupesan taksi online lewat aplikasi di ponselku.

“Turun di sini saja! Aku mau menjumpai Ara!” Lelaki itu menepikan mobil tak jauh dari rumah.  Sedikitpun tak ada nada sungkan dari cara  bicaranya. Sebegitu jijiknya dia padaku, hingga berlama-lama semobil pun dia enggan. Sayangnya aku tak sakit hati lagi.  Ya, taka da rasa apa-apa lagi di hati ini, meski itu rasa sakit sekalipun. Sudah mati rasa.

Gegas aku turun, bertepatan dengan taksi online pesananku tiba. Kuminta dia mengikuti mobil Mas Haga. 

Dua puluh menit perjalanan, Mobil suamiku berhenti di sebuah hotel lalu masuk ke areal parkir. Aku menunggu di dalam mobil taksi pesananku, sengaja kuminta bersabar menunggu.

Dua menit, Mas Haga kulihat berjalan dari areal parkir menuju pintu utama sambil menelepon, pasti dia menelepon Ara pasangan mesumnya.  Tubuhnya lenyap di dalam gedung hotel. Saat itulah aku melihat  lelaki yang kemarin menjemput Ara, suaminya. Dua orang tinggi tegap mengiringinya masuk ke dalam hotel.

Benar dugaanku, Mas Haga sengaja dijebak.

Tanpa pikir panjang aku turun dari mobil, mengikuti ketiganya. Demi mertuaku, demi nama baik  mereka, aku akan berjuang semampuku.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status