POV Johana“Pak Bayu, ini benerankah?” lirihku seraya mengerjapkan mata berkali-kali.“Hem,” gumamnya, menunduk. Sedikit lagi, wajah dengan kumis tipis itu kian menunduk. Dia mendekati wajahku, mengikis jarak di antara kami. Kini benar-benar tak berjarak.Kurasakan sentuhan kumis tipis itu menyentuh kulit wajahku. Kurasakan sentuhan bibir itu menyentuh lembut keningku. Ini tidak mimpi, ini benar-benar nyata. Pak Bayu mengecup lembut tepat di keningku.“Maaf,” bisiknya lalu menatap tepat di manik manik mataku.Aku menunduk. Mulutku masih membisu. Bibir dan lidah ini masih terasa begitu kelu. Otakku masih sibuk berpikir, apa yang sebenarnya terjadi. Kenapa Pak Bayu bisa berubah seperti ini. Kenapa dia berubah setelah beberapa jam yang lalu masih menolak untuk menemaniku ke rumah Indri.“Jo, maaf, mungkin ini agak mengejutkan bagimu. Tapi, aku serius. Aku menyukaimu. Setelah empat hari berpikir dan merenung, bahkan hingga tadi siang saat kau menelponku, aku masih belum bisa memutuskan.
“Aku mau pergi menjumpai kekasihku. Jangan tunggu aku pulang! Kau tidur saja! Nikmati ranjang mewah itu! Belum pernah kamu tidur di ranjang semewah itu, bukan?” Suamiku berucap.Aku menggigil. Merasa terhina, menyesal, dan prustasi mulai mencekik. Tubuh bergetar hebat, jiwa berontak, emosi mengaduk, mencipta energy yang mulai membakar membuat darahku menggelegak. Baru sekali gerakan, lelaki itu langsung terjerembab dengan cairan merah bersimbah.“Itu belum apa-apa! Nikmati hari-harimu selanjutnya! Kau tidak tahu sedang berhadapan dengan siapa, Tuan muda!” Aku menyeringai. ***Lelaki itu tampak sangat dingin. Setelah Ijab Kabul berlangsung, resepsi mewah digelar, hingga pesta bubar, belum sekalipun dia menatap wajahku. Terasa gamang di kalbu, bagaimana aku akan menjalani hari hariku bersamanya, menjalankan peran sabagai istri untuknya.“Kami pulang, In. Baik-baik di sini, ya, Nak! Jadilah istri yang terbaik buat suamimu!” Ibu memeluk dan mengusap punggungku.“Indri takut
***“Tolong bersihkan darahnya, Bik!” Kudengar Mas Haga memohon pada Bik War. Saat aku berjalan gontai menuju kamar mandi dengan sehelai selimut membalut tubuh.“Pe cahan ka canya menancap di kening, Bapak. Saya gak berani cabut, takut darahnya muncrat. Kita ke rumah sakit saja, ya, Pak?” Wanita itu terdengar panik.“Rumah sakit? Gak usah! Kita ke klinik terdekat saja. Bantu saya ke mobil!” Suara lelaki itu semakin lirih.Aku tak peduli.Kututup pintu kamar mandi, memutar kran shower sampai habis. Aku berdiri mematung di bawah curahannya. Kubiarkan air dingin itu mengguyur seluruh tubuh, dari ujung kepala hingga ujung kaki. Noda yang telah melekat ini, harus lekang, begitu inginku.Entah mengapa aku merasa tubuh ini kotor, jujur aku merasa kalau baru saja aku diperko sa secara hina. Meski pelakunya adalah suamiku sendiri, aku tetap merasa terno da. Cukup sekali, kupastikan kejadian ini hanya sekali seumur hidupku. Selanjutnya kau tunggu saja balasanku. Akan kubuat kau mengemis
POV Haga**“Kamu tinggal pilih, nikahi gadis itu atau lanjut study ke Australi!” Mama kembali memaksaku.Pilihan yang sangat sulit. Untuk menyelesaikan S1 saja kemarin aku ketar ketir. Bagaimana mungkin lanjut ngambil Master. Mustahil, bisa ma ti kelar masa depanku. Gak jadi nikah sama Ara. Tetapi, Mama terlalu kaku. Pilihan yang diberikannya adalah perintah. Aku harus memilih salah satunya. Menikahi perempuan udik itu.Bagaimana mungkin aku menikahi perempuan yang sama sekali tidak kusukai. Melihat hi jabnya saja aku sudah enneg. Apa enaknya coba, kalau di tutupi seperti itu. Kam pungan, bosenin, pokoknya aku gak suka.“Ok, kamu gak bisa milih? Kalau begitu, mama yang mutusin. Kamu berangkat ke Australi minggu depan. Mumpung abangmu Barra masih di sana. Jadi dia bisa mengurus segala sesuatunya sebelum kembali ke Indonesia. Kuliahnya udah hampir kelar. Kamu harus ikut jejaknya!”“Gak mau, Ma! Haga gak bisa disuruh belajar lagi, mumet tau, gak? Ok, aku pilih nikah.” Akhirnya
***“Mas!” Ara terbelalak. Tangannya sibuk merapikan pakaian yang menempel di tubuhnya. Namun, bagaimanapun usahanya, tetap saja, baju kurang bahan itu tak bisa sempurna menutupi seluruh tubuhnya.Mama mertuaku juga masih terbelalak. Wajahnya begitu tegang. Semoga dia tidak terlalu kaget, bisa gawat, dong, kalau tetiba dia pingsan. Eh, tapi beliau sepertinya udah tahu semua kok, kelakuan anaknya. Sayangnya, dia tak pernah cerita sebelumnya padaku tentang hal ini.Jujur, aku kecewa. Mertuaku ini ternyata tidak jujur. Saat melamarku dulu, dia tidak berterus terang semua tentang keburukan Mas Haga.“Haga itu manja, gak mandiri, kurang bertanggung jawab. Sepertinya hanya kamu yang bisa merubah sifat jeleknya itu, In. Jadikanlah dia seorang suami yang bertanggung jawab, gak kolokan lagi seperti sekarang!” Begitu katanya waktu itu.Sama sekali dia tidak mengatakan kalau putranya itu ternyata seorang pezina. Parahnya, tak menunggu esok atau lusa, dia bahkan bisa berzina di malam pertama
****Lelaki itu menggendong tubuh ibunya, kembali masuk ke dalam rumah. Aku mengikuti dari belakang. Bik War terlihat panik. Berlarian kesana ke mari, lalu kembali dengan minyak subuah botol minyak kayu putih di tangan. Mas Haga meletakkan ibunya di sofa ruang tamu, karena itu yang paling dekat saat ini.“Ibuk! Bangun, Buk! Ibuk!” panggil Bik War. Kuperhatikan cara dia menyadarkan nyonya besarnya. Mengoleskan minyak kayu putih di hidung, kening dan pelipis sang majikan.Aku hanya berdiri mematung.“Aku akan telpon Papa,” ucap Mas Haga berinisiatif.“Buat apa? Agar dia juga pingsan?” tanyaku menghambatnya.Lelaki itu melotot. Menatapaku dengan sorot amarah. Aku tak peduli. Sekarang tak penting lagi bagiku, dia menatapku seperti itu, atau sebaliknya, tak akan berpengaruh apa-apa.“Lalu apa yang bisa kulakukan? Ha? Seperti kamu itu? Hanya diam dan menonton?”Aku tersenyum miring. “Setidaknya bukan aku yang membuat Mama kamu pingsan, begitu tahu ternyata anak kebanggaannya menid
===“Maaf, Mbak mau ke mana, ya?”Security yang berdiri di pintu utama mencegatku. Cari akal! Berpikir, Indri! Cepat! Kupaksa otak berpikir keras.Kenapa kedua security ini membedakan aku dengan pengunjung lain, coba? Apakah karena penampilanku? Gamis panjang ini kah penyebabnya, hingga mereka curiga padaku?“Atau ada yang bisa kami bantu, Mbak?” tanyanya lagi.“Oh, tidak, itu suami saya, lho! Maaf, permisi!”Kupasang wajah yang sangat meyakinkan, sambil menunjuk suami Ara yang kini sudah sapai di dekat pintu lif.“Tunggu, Mas!” Aku berteriak. Setengah berlari aku pura-pura mengejar ketiga orang itu.Untunglah kedua petugas keamanan itu tidak curiga.Hampir saja pintu lif tertutup, saat aku sampai di depan pintunya. Kini aku berdiri begitu dekat dengan mereka. Untung beberapa pengunjung juga bersama kami di dalam lif. Jadi, suami Ara tak akan mencurugai kalau aku membuntutinya.Di lantai dua, pintu lif terbuka, dua orang turun, tetapi bukan suami Ara. Di lantai tiga, pintu lif
7Pemenang itu bisa saja lebih dari satu. Agar bisa menang, yang lain tak harus disingkirkan. Biarkan dia membayang-bayangi kesuksesan kita. Kita tak harus tampil menjadi satu-satunya pemenang. Tak perlu menginjak orang lain agar bisa berdiri kokoh. Kita bisa berdiri sama-sama. Bahkan menjalin kerja sama.===Berjalan terburu-buru, aku melewati lelaki itu. Dia menatapku dari kejauhan, saat melangkah melintasi halaman nan luas rumah mewah itu. Tak peduli dengan tatapannya, aku menerobos masuk. Hampir saja aku menabrak tubuhnya, saat dia menghalangi jalanku menuju pintu utama.“Sebentar, aku mau bicara!” Dia menangkap lenganku.Terpksa langkahku terhenti.“Maaf!” ucapku menatap tajam cengkraman tangannya di lenganku, sebagai protes atas perbuatan tak sopannya.“Aku mau bicara,” tuturnya melonggarkan cengkraman.“Lepas tangan saya!” perintahku tetap tak mengalihkan tatapan.“Ok, tapi kamu jangan pergi dulu sebelum aku berbicara.”“Baik, silahkan! Satu menit waktu kamu!”“So