Share

2. Kekasih Suamiku Nginap Di Kamarku

***

“Tolong bersihkan darahnya, Bik!” Kudengar Mas Haga  memohon pada  Bik War. Saat aku berjalan gontai menuju kamar mandi dengan  sehelai  selimut membalut tubuh.

“Pe cahan ka canya menancap di kening, Bapak. Saya gak berani cabut, takut darahnya muncrat. Kita ke rumah sakit saja, ya, Pak?” Wanita itu terdengar panik.

“Rumah sakit? Gak usah! Kita ke klinik terdekat saja. Bantu saya ke mobil!” Suara lelaki itu semakin lirih.

Aku tak peduli.

Kututup pintu kamar mandi, memutar kran shower sampai habis. Aku berdiri mematung di bawah curahannya. Kubiarkan air dingin itu mengguyur seluruh tubuh, dari ujung kepala hingga ujung kaki.  Noda yang telah melekat ini, harus lekang, begitu inginku.

Entah mengapa aku  merasa tubuh ini kotor, jujur aku merasa kalau baru saja aku  diperko sa secara hina. Meski pelakunya adalah suamiku sendiri, aku tetap merasa terno da.  Cukup sekali, kupastikan kejadian ini hanya sekali seumur hidupku. Selanjutnya kau tunggu saja balasanku. Akan kubuat kau mengemis di kakiku. Tentunya dengan caraku. Tangan ini mengepal, den dam ini sudah tertanam.

*

Gedoran kasar di pintu kamar mandi menghentakkan lamunanku. Sepertinya  sudah  berjam-jam aku berada  di bawah  curahan air shower, di kamar mandi mewah itu. Lelah berdiri, aku terduduk di lantai, memejamkan mata, mencoba meresapi rasa sakit  dan nyeri yang masih terasa di bagian tertentu tubuhku. Bagian yang telah dihinakan oleh suamiku. Namun, rasa sakit di hati  jauh lebih parah mengiris kalbu. Luka dalam ini,  kian menanar.

“Keluar kau! Hey, perempuan udik! Keluar kau bangs*t!”

Gedoran pintu kini diiringi teriakan. Suara perempuan. Ya, itu suara  perempuan, Siapa dia?

“Kalau gak keluar juga, kuterjang pintu ini, ya!”

Bukan karena takut dengan ancamannya, tetapi lebih karena penasaran siapa dia. Kuputar kran shower, mematikan curahan air. Kuperas rambut sepunggungku, lalu meraih handuk, kulilitkan di tubuh.

“Oh, jadi begini tampang perempuan udik itu?”

Seorang perempuan cantik berdiri di depanku.  Cantik sekali. Aku sempat terpana melihat wajahnya. Mataku menyusur ke  arah bawah. Baju kurang bahan menempel di tubuhnya. Tonjolan-tonjolan  bahkan lekukannya, terlihat jelas.   Wow, pemandangan yang sangat menggiurkan. Ibarat mau makan, tinggal lahap saja, tak perlu dikunyah lagi.

“Eh! Kamu apain pacar aku, ha! Sini kamu!”

Tangannya terjulur, mencengkram lenganku, lalu mulai menye ret dengan ka sar.  Mas Haga  kini terbaring di atas ranjang. Perban membalut kepalanya. Sepertinya mereka baru saja pulang dari klinik terdekat. Wajah Mas Haga masih terlihat pucat.

“Apa yang kamu lakuin sama Mas Haga!” teriak perempuan setengah telanjang itu lagi.

Pelan kulepas cengkramannya di lengan. Dia sempat terkejut, kembali hendak mencengkram, tetapi kutantang dengan tatapan tajam. Dia mengkerut, tangannya yang sempat mengambang, perlahan turun.

Kucari pakaianku yang tadi berhamburan di atas lantai, saat Mas Haga  melucutinya satu persatu. Entah ke mana semuanya sekarang. Bahkan kain sepre pembalut kasur ranjang pun sudah berganti. Pasti Bik War yang sudah mengganti dan menaruhnya di keranjang cucian. Terpaksa aku membuka lemari, mengambil  gaun tidurku yang lain.

Kembali aku menuju kamar mandi, mengenakan seluruh pakaian, lalu keluar lagi tanpa  beban, selain den dam dan rencana pemba lasan.

“Kau harus jelasin, kenapa kau mandi malam malam begini? Jangan bilang kalau Mas Haga telah menyentuhmu!” Perempuan itu mulai menye rang lagi.

Aku terkekeh kecil. Mas Haga memalingkan muka saat perempuan itu menatapnya, seperti   memohon ketegasan.

“Jawab! Apakah kau  sudah tidur  dengan Mas Haga?” Bahuku diguncang.

“Bukan urusanmu!” Kutepis kedua lengannya yang menggamit bahu. Lalu berdecik sinis.

“Tidak mungkin Mas Haga mau tidur dengan perempuan udik sepertimu. Gak level!” teriaknya  semakin kasar.

Aku mengangkat bahu, mendengkus dengan kasar.

 “Terus kenapa kau menyerang Mas Haga? Apakah karena Mas Haga mengatakan kebenarannya padamu, bahwa kau hanya istri di atas kertas?  Bahwa aku adalah segalanya baginya? Kami akan segera menikah, meski hanya secara siri aku tak peduli, yang penting Mas Haga utuh milikku. Aku tak mau berbagi denganmu, paham!” Perempuan itu mulai meradang.

Aku tersenyum tipis. Percakapannya Mas Haga di ponselnya tadi terngiang kini. Ara, pasti dia adalah perempuan yang menelpon tadi. Kekasih suamiku.

“Kenapa kau gak jawab? Ayo,  jawab!”

Perempuan itu bermaksud mene leng kepalaku, segera aku menghindar.

“Maaf, aku mau tidur!” ucapku dingin. Kutatap tajam wajah suamiku.

“Apa,  kau mau tidur?  Jawab dulu pertanyaanku, hey, perempuan kam pung!”

“Cukup! Hust! Jangan ribut! Ini udah malam. Aku capek seharian tadi  menjalani resepsi pernikahan. Sekarang kalian keluar!” ujarku masih tetap tenang.  Kutempelkan telunjuk di  bibirku.

“Kau menguji kesabaranku, rupanya, ya! Sini kamu!”

Tangannya terjulur, hampir saja menyentuh lenganku lagi. Segera aku menghindar. Hal itu membuatnya kian emosi.

“Dasar perempuan kam pung!”

Tangannya tetiba mela yang, pipiku adalah sasarannya. Kutangkap, dan kuputar  dengan kencang. Perempuan itu menje rit histeris.

“Aku tidak akan pernah mencampuri urusanmu dnegan suamiku, kau harus bersikap yang sama, ok! Sekarang kau keluar!”

Kuse ret dan kudo rong kencang hingga   tubuhnya terjerem bab di depan pintu kamar.

“Cukup, Indri!”

Sang kekasih langsung bangkit, bersiap membela pujaan hati. Berjalan pelan menghampiriku, kubalas dengan senyum sinis.

“Dia Ara, dia kekasihku! Jangan pernah kau menyentuhnya!” Lelaki itu berteriak. Merengkuh wanitanya, membimbingnya kembali masuk.

“Stop! Kenapa kamu bawa masuk lagi perempuan itu? Aku sudah bilang, kan kalau aku mau bobok cantik?” hardikku mengejutkan mereka berdua.

“Kamu sakit Indri! Kamu lupa ini rumah siapa, ha?” Mas Haga melotot.

“Aku sehat, sangat sehat malah. Mungkin kamu yang sudah ge ger o tak, karena kena pecahan kaca vase bunga tadi, iya, kan?” balasku mengejek sinis.

“Aku sudah bilang padamu, jangan pernah ikut campur urusan pribadiku! Jadi berhenti mengatur-ngatur aku, jelas!” teriak Mas Haga tepat di telingaku.

“Aku juga udah bilang tadi, bukan? Perse tan dengan urusan pribadimu! Ini  rumah mertuaku, mereka telah memilihku menjadi menantu. Mereka mengantarku ke rumah ini tadi sore.  Aku berhak atas rumah ini. Jadi suka-sukaku mau kamar  yang mana yang akan aku tempati. Kebetulan aku pilih kamar utama ini, ok!”

“Ini kamarku sebelum kau masuk ke rumah ini, Indri! Dan Ara sudah terbiasa tidur di kamar ini!”

“Oh, iya! Pengakuan yang begitu jujur! Yang satu merasa hebat, yang satu lagi murahan kuadrat!”

“Tutup mulutmu!”  Tangan kekar lelaki itu terangkat, mengambang di udara.

“Kenapa berhenti? Kau mau menam par aku? Kupastikan padamu, sedikit saja kau sentuh aku, kau akan menyesal.”

“Apa? Apa yang akan kau lakukan bila aku menam parmu, ha!”

“Memangnya kau mau apa?” tantangku.

“Kau mau meminta cerai, nuntut harta gono gini,  biar kau menjadi orang yang kaya raya, begitu, bukan?”

“Begitu? Itu yang ada di otakmu?”

Lelaki itu tersenyum sinis.

“Kalau bukan karena silau harta, tak mungkin kau mau menikah denganku!” Lelaki itu semakin sinis.

“Dengar, sampai kapanpun aku tak akan pernah meminta bercerai darimu!  Karena aku tahu, itu yang kamu inginkan, bukan? Kau ingin tunjukkan pada orang tuamu kalau aku bukan menantu yang baik, bahkan telah membuatmu berda rah? Lalu orang tuamu membenciku, dan  kau bisa menikahi perempuan ini? Aku bukan perempuan sebo doh itu! Silahkan kau  bercin ta di belakangku! Aku tidak peduli. Tapi, jangan harap aku akan menyingkir dari kehidupanmu! Kupastikan kau tak akan pernah bisa tenang!”

“Apa maksud ucapanmu?”

“Kalau kau memang tak menginkan aku menjadi istrimu, kenapa kau tidak menolak pernikahan ini sejak awal? Kenapa  kau ungkapkan ini  setelah pernikahan, apa maksudmu? Kau ingin menghancurkanku? Heheheh ….  Jangan terkejut,   karena sesungguhnya, kau yang akan hancur, bukan aku.”

“Memangnya apa yang bisa kau lakukan?  Besok pagi Papa dan Mama akan datang ke sini, luka di kening putra kesayangannya ini adalah jalan untuk mendepakmu dari sini! Sebaiknya kau telpon orang tuamu, agar menjemputmu esok hari! Itu saranku, terserah kau mau dengar atau tidak!”

“Kita lihat saja besok, apakah harapanmu itu akan terwujud!”

“Kau mau membela diri? Kau mau mengatakan bahwa kau mencelakaiku karena kau cemburu  aku sudah punya wanita lain sebelumnya, begitu?”

Aku terkekeh kecil.

“Satu hal yang perlu kau ketahui, Papa dan Mama sudah tahu tentang Ara. Mereka tidak akan terkejut karena keberadaan Ara di rumah ini.”

“Oh, ya? Begitukah?”

“Ya, Ara akan segera kunikahi, begitu kau keluar dari rumah ini, esok hari, setelah orang tuaku menyaksikan lu ka di kening ini.”

“Kita lihat saja besok. Sekarang kau keluar! Bawa pasangan me summu itu!”

“Hey, ini kamarku! Kau yang keluar!”

“Sayang sekali, mulai malam ini semua sudah berubah. Kau keluar sekarang atau  kau tunggu aku murka.”

“Kau perempuan gi la! Kau mengusirku dari kamarku sendiri?”

“Kau keluar, atau kubongkar mengenai noda da rah di sepre ranjang tadi?”

Ancamanku berhasil. Mas Haga langsung memucat. Ara menatapnya curiga.

“Noda da rah di sepre?” ucapnya  penuh tanya.

“Kita mengalah saja, Ra. Kita pindah kamar, ya! Toh, perempuan gi la ini, tinggal malam ini saja di sini. Besok pagi dia akan angkat kaki.” Mas Haga langsung membimbingnya ke luar kamar.

“Kamu berubah setelah ucapan perempuan aneh itu, Mas? Apa maksud kalimatnya?” Ara bertahan.

“Noda da rah dari keningku, Ra. Sempat  menetes di atas kain sepre, tadi.”

Aku tersenyum miring. Ternyata ancamanku yang spontan itu mempan juga. Laki-laki itu mengkerut lalu membawa perempuannya pergi.

Segera kukunci pintu kamar dari dalam, lalu melemparkan tubuh lelahku di atas ranjang. Tidur, lelap, lupakan semua, siapkan hati dan jiwa, esok perseteruan lebih berat, begitu tekadku. Bersiap-siap menunggu reaksi mertuaku, akankah aku didepak? Ah, lihat saja besok. Aku tak mau mereka-reka.

**

“Maksudnya  apa, kamu meminta Papa dan Mama ke sini lagi, Ga?” Bukankah kami sudah bilang,  jangan telpon, kecuali kami sudah memiliki calon cucu di perut istrimu!” sungut Mama mertuaku sambil berjalan menuju meja makan.

“Bik, War! Tolong buatkan saya teh manis panas! Masuk angin saya pagi-pagi sudah berkeliaran seperti ini!” perintahnya setelah menghenyakkan bokong  di atas kursi meja makan.

Aku dan Mas Haga mengikutinya.

“Papa mana, Ma? Kenapa enggak ikut?” Mas Haga mengambil posisi tepat di depan Ibunya, lalu memegang keningnya yang dibalut perban. Sepertinya sengaja menunjukan  kesalahan terbesar yang telah aku lakukan.

“Papa males ikut, dia nyuruh Mama saja yang menyelesaikan, sebenarnya ada apa, sih?” Mama tak merespon kening  putra kesayangan.

“Ini, lho, Ma? Indri sudah gi la, liat ini!  Hampir saja aku kehilangan nyawa karena perbuatannya.” Mas Haga berkata lirih, disertai rintihan perih.

Ibunya tersenyum kecut. “Tapi, kamu masih hidup, kan?” ketusnya.

“lho, apa maksud Mama? Mama nungggu aku ma ti baru bertindak, begitu?” Mas Haga terbelalak.

“Kalau Mama,  sih,  maunya, lebih parah dari itu. Buat kek, sampai pingsan tujuh hari tujuh malam, biar otak kamu kembali waras! Nanggung Indri ngelakuin itu.”

“Ma! Indri nyakitin aku, lho?”

“Ya, dan Mama minta sama Indri,  agar  lain kali lebih sa dis,  dan yang paling penting, bisa bikin kamu kapok.”

“Apa?” Aku dan Mas Haga melongo.

****

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Amson Preset
jdi harus bersabar
goodnovel comment avatar
Helminawati Pandia
mohon sumbangan gem nya ya
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status