Share

3. Kepergok Mama Mertua

POV Haga

**

“Kamu tinggal pilih, nikahi  gadis itu  atau lanjut study ke  Australi!” Mama kembali memaksaku.

Pilihan yang sangat sulit. Untuk menyelesaikan S1 saja kemarin aku ketar ketir. Bagaimana mungkin lanjut ngambil Master. Mustahil, bisa ma ti  kelar masa depanku. Gak jadi nikah sama  Ara. Tetapi, Mama terlalu kaku. Pilihan yang diberikannya adalah perintah.  Aku harus memilih salah satunya. Menikahi perempuan udik itu.

Bagaimana mungkin aku menikahi perempuan yang sama sekali tidak kusukai.  Melihat hi jabnya saja aku sudah enneg. Apa enaknya coba, kalau di tutupi seperti itu.   Kam pungan, bosenin, pokoknya aku gak suka.

“Ok, kamu gak bisa milih? Kalau begitu, mama yang mutusin. Kamu berangkat ke Australi  minggu depan. Mumpung abangmu Barra masih di sana. Jadi dia bisa mengurus segala sesuatunya sebelum kembali ke Indonesia. Kuliahnya udah hampir kelar. Kamu harus ikut jejaknya!”

“Gak mau, Ma! Haga gak bisa disuruh belajar lagi, mumet tau, gak? Ok, aku pilih nikah.” Akhirnya aku menyerah.

“Tinggalkan Ara!”

“Lho, apalagi ini? Tadi pilihannya cuma dua, kan, nikahi perempuan kam pung itu atau lanjut Pasca? Kenapa sekarang ada persyaratan lagi?”

“Mama gak suka kamu berhubungan dengan perempuan ganjen itu! Lagian mana ada perempuan yang mau nikah dengan lelaki yang tukang selingkuh?”

“Haga gak selingkuh, Ma. Ara pacar aku sejak dulu.”

“Pokoknya, kalau kamu milih  nikahi Indri, tinggalkan Ara!”

Aku diam, tak ingin membantah Mama sekarang. Apapun ceritanya, Ara tak akan pernah lepas dari sisiku. Ok, kunikahi perempuan berhijab itu, tetapi hubunganku dengan Ara akan tetap  seperti biasa, di belakang Mama tentu saja.

*

“Gila, ya, nomor kamu gak bisa dihubungi seharian,” sungut Ara sore tadi. Aku menelponnya setelah semua keluarga pulang.

“Kan tadi  nikahnya, Sayang, lanjut resepsi. Ini baru kelar. Untung resepsinya gak sampai malem. Bakal stress aku, Sayang, memasang wajah senyum terus, padahal dongkol,” ucapku menenangkannya.

“Dongkol apa dongkol? Istri kamu itu, kan cantik banget? Pasti kamu senang, kan?”

“Cantik dari hongkong? Udik kek gitu kamu bilang cantik?”

“Bener, nih, kamu gak suka?”

“Bener, lho, Sayang!”

“Awas aja kalau kamu sentuh dia malam ini!”

“Gak akan, gak nafsu.”

“Kamu bisa jamin?”

“Bisa?”

“Apa buktinya kamu gak akan negelakuin malam pertama bersama  dia malam ini?”

“Ra, aku nikahi dia cuma untuk nyenengin hati ortu aku, agar aku gak dipaksa ke luar negeri ikut jejak Mas Barra.”

“Iya, aku mau kamu bisa buktiin, kalau kamu gak bakal nyentuh istri kamu! Secara, kalian tinggal berdua di rumah itu. Hanya berdua, lho.”

“Ada Bik War lho, Ra.”

“Asisten mana tahu apa-apa. Paling tidur di belakang.”

“Ok, kalau begitu apa yang harus aku lakuin, Sayang? Biar kamu percaya?”

“Kamu malam pertamanya bareng aku aja!”

“Ha?”

“Kenapa? Kamu keberatan, kan?”

“Sama kamu udah gak malam pertama lagi, Sayang, malam ke seribu kali, ya!”

“Serah, yang penting kamu ke rumahku  nanti malam, gak boleh sama istri kamu!”

“Baiklah, Cantik. Aku datang nanti, ya. Sekarang mau istirahat sebentar, sakit betis nih, seharian berdiri nyalami tamu.”

“Ya, aku tunggu, jam delapan paling lama, udah sampai di rumah aku!”

“Siaap, Bosqu!”

*

Pukul tujuh  malam aku terbangun. Bayangan wajah kekasihku langsung berkelebat. Ara pasti sudah menungguku.  Segera bangkit, menuju kamar utama.  Semua perlengkapanku masih berada di kamar itu. Rencananya mau aku pindahin saja ke kamar tamu ini. Ogah banget sekamar dengan perempuan udik itu. Kalau dia yang aku suruh tinggal di kamar lain, takut Mama meradang. Biarlah aku mengalah saja. Semoga Ara bisa maklum. Biasanya  dia tidur di kamar itu bila nginap di sini.

Tanpa ragu  kubuka pintu kamar.

Kaget, aku terperangah.  Aku tahu kamar ini sudah ada penghuni baru. Perempuan udik itu. Tetapi, kenapa yang berbaring di ranjang itu wanita lain? Hey, siapa dia?

Rambut panjang sepunggungnya bergerai menutupi sebagian wajah. Meskipun tatapannya tertuju pada layar ponsel yang sedang digenggamnya, aku masih bisa menangkap wajah  jelita itu.  Jemarinya yang lentik menggengam ponsel, sesekali jemari yang lain mengusap layar.

Kutelusuri tubuhnya dari  ujung  rambut hingga ujung kaki. Gaun tidur berwarna sof pink, berlengan pendek. Leher yang putih bersih, lenganya yang berbulu halus, pinggang yang begitu ramping, kakinya, betisnya, jemari kaki itu, sumpah, dia cantik sekali.

Berlian ini kenapa bisa ada kamarku?

Ups!

Dia menatapku, segera aku   menuju kamar mandi, seperti tujuanku semula. Jujur, jantungku berdegup kencang, saat mata bagusnya menangkap basah bola mataku. 

Dia adalah Indri, gadis pilihan Mama untukku. Berlian itu milikku. Tatapan matanya barusan menyadarkanku. Ya, Tuhan, kenapa dia tiba-tiba berubah begitu cantik? Apakah karena hasrat yang tetiba bergejolak ini yang membuat mataku rabun dan mengira dia sangat cantik?

Aaarg! Ini tidak benar. Indri perempuan udik. Dia tak punya tempat di hatiku. Ara telah memenuhi setiap  relung hati ini. Ara yang modis, selalu tampil seksi, gak sok alim seperti perempuan tadi.   Kupercepat ritual mandiku, lalu segera melilitkan handuk di pinggang, ingin cepat cepat  menemui Ara. Sebagai pengantin baru, sudah seharusnya aku melewati malam ini dengan  kenikmatan sempurna.  Bertem pur sampai pagi, ya, itu impianku. Tetapi bukan dengan gadis udik itu, Ara siap menggantikannya untukku.

Tetapi, niatku berubah total. Saat mata perempuan itu kembali menubruk bola mataku. Aku baru saja keluar dari kamar mandi, bahkan rambut ini basah. Airnya menetes membasahi leher dan bahuku. Gadis itu berpaling kini, kembali fokus menatap layar ponselnya. Sempat kulihat wajahnya merona. Kecantikan itu semakin paripurna.

Tetapi, kenapa dia berpaling saat  bersetatap denganku? Dia malu? Dia menginginkanku? Atau?

Arg! Perasaan apa ini. Kenapa tubuh perempuan itu terlihat begitu seksi? Bulu-bulu halus di lenganya yang terbuka itu betul betul mengganggu pikiranku. Lengan putih  di tumbuhi bulu halus itu mengganggu konsentrasiku, ciptakan debaran hangat  di dalam kalbu, alirkan suatu hasrat liar, semakin lama semakin liar.

Maaf, Ara, pertemuan kita mungkin tertunda sesaat. Aku akan nikmati minuman segar ini terlebih dahulu, minuman yang telah disediakan Mama buatku.

*

Gadis itu tak menolak.  Fix, dia juga menginginkanku, begitu pasrah, seolah ini adalah kewajibannya.  Ya, dia penganut agama yang sangat fanatik. Melayani suami di atas ran jang adalah kewajiban bagi istri. Pinter benar Mama memilihkannya untukku.

Perempuan  udik ini ternyata sangat sempurna. Ibarat sekuntum bunga mawar, dia merekah, begitu indah. Tetapi selama ini hanya dipandang-pandang saja. Tiada seorangpun yang bisa menyentuhnya, karena duri-duri di sekelilingnya, siap menusuk siapapun yang mencoba menjamahnya.

Ya, hijabnya adalah tameng untuknya.  Tapi, sayang sekali. Nasipnya begitu ma lang. Dia justru menyerahkan kesuciannya buatku, lelaki yang sama sekali tak mencintainya, apalagi menginginkannya. Ini hanya nafsu. Ya, kupastikan hanya nafsu. Lelaki mana yang tak tergiur dengan tubuh seksinya. Lelaki mana yang tak bergetar melihat bulu-bulu halus di lengannya.

Aku lelaki normal. Wajar jika aku terang sang. Mudah-mudahan dia  bisa  langsung ha mil, agar kewajibanku pada Papa dan Mama selesai. Aku bisa langsung nikah siri  dengan Ara. Toh, Ara tidak keberatan meski hanya  sebagai istri simpanan.  Wow, betapa sempurnanya hidupku ini.

Gadis  yang kunikahi tadi pagi ini, menjerit kecil, pertanda sesuatu miliknya telah terenggut. Kurasakan sensasi yang luar biasa. Sensasi yang belum pernah kurasakan sebelumnya. Ara tak seperti ini, saat pertama kali melakukannya. Inikah yang dinamakan sensasi saat melepas peraw*n.

Indri, kau gadis sempurna sebetulnya, sayang aku tak cinta.

*

Kulepas tubuh penuh peluh itu, bangkit menuju kamar mandi, menyegarkan kembali tubuh  ini. Aku telah kehilangan banyak tenaga, semoga dinginnya air ini bisa  mengembalikannya. Agar Ara tak curiga.

“Iya, Sayang? Maaf, tadi aku di kamar mandi,” ucapku buru-buru menerima panggilan Ara di telepon.

Kembali kekasihku mengingatkan agar aku  segera datang, dan berjanji tak menyentuh istriku.  Aku tersenyum. Bagaimana bisa aku melewati kenikmatan yang begitu spektakuler.

“Iya, aku datang. Tunggu, ya! Enggak ..., enggak mungkinlah aku menyentuhnya! Perempuan kam pung ini, hanya bikin enneg! Gak ada manis-manisnya! Beda, dong, sama kamu. Kamu tenang aja, ya, Sayang!”

Maaf, Araku Sayang, aku telah mendustaimu.

Segera aku  merapikan diri. Tak ingin membuat Ara lebih curiga lagi. Tetapi bayangan pertem puran panas barusan mengaduk benak lagi. Duh, kenapa aku belum pernah merasakan sensasi seperti tadi saat bersama Ara?  Apa bedanya, coba?  Ups! Jangan-jangan, Ara memang tak pera wan lagi saat bersamaku waktu itu. Sebentar, aku akan cari buktinya. Ini penting buatku.

“Boleh geser bentar!” perintahku menyibak selimut penutup tubuh perempuan itu. Dia  beringsut ke sudut ranjang.

“Ini dia,” seruku saat menemukan yang kucari. 

Meraih ponsel, lalu aku mengambil beberapa gambar, tepat di  bercak da rah itu.  

“Aku bangga, aku memang tak menginginkanmu, tapi setidaknya aku bisa merasakan perempuan yang masih pera wan. Aku ucapkan terima kasih, karena jujur, baru pertama kali ini aku merasakan sensasi yang luar biasa. Kuhargai pengorbananmu! Tapi, maaf, aku tak akan bisa menjadi suami yang baik buatmu. Karena aku tak mencintaimu,” tuturku jujur.

Indri membisu. Sepatah katapun tak kudengar dia berucap, apalagi membantah perkataanku.

“Oh, iya, perlu kamu ketahui. Aku sudah punya pacar, namanya Ara. Kami saling mencintai, jujur, memang dia tak sealim kamu.  Dia sudah tak  perawan  saat pertama kami bertemu, meski dia belum pernah menikah. Tapi tak masalah, karena rasa cinta, itu yang utama bagiku.”

Indri memalingkan muka. Dia mungkin mau berteriak atau memakiku. Tetapi, jelas dia tak berani melakukan itu. Dia hanyalah seorang perempuan kam pung yang gak bernyali,  tapi bermimpi jadi ratu di keluargaku.

“Kuharap kamu tak pernah cemburu dan memang kamu tak berhak merasakan hal itu. Karena antara aku dan kamu tak  pernah ada sesuatu, selain ikatan pernikahan ini. Aku terpaksa menikahimu. karena obsesi orang tuaku, yang menginginkan menantu berhijab seperti kamu. Aku telah melaksakan kewajibanku sebagai seorang suami, bukan. Nafkah batinmu sudah kupenuhi.  Tetapi, maaf, mungkin hanya sekali ini saja. Kuharap kamu segera ha mil,  dan berkabar pada Papa dan Mama, tentang calon cucu mereka. Itu impian mereka darimu, bukan? Tetapi, bila ternyata gagal, aku janji, akan memenuhi hak batinmu lagi. Hingga kau benar-benar hamil.”

Perempuan itu  merapatkan kedua lututnya  yang bergetar, meletakkan kepala di atasnya. Sepertinya dia mulai menangis, tapi aku tak peduli.

“Oh, iya, Indri, begitu, kan,  nama kamu tadi? Silahkan kamu nikmati kemewahan di rumah ini.  Itukan yang kamu intai, sehingga kamu mau  menjadi istriku, sama seperti orang tuamu, iya, kan? Tapi ingat jangan  pernah mengganggu masalah pribadiku, ok! Aku mau pergi menjumpai kekasihku, Ara. Jangan tunggu aku pulang! Kau tidur saja! Nikmati ranjang mewah itu! Belum pernah kamu tidur di ranjang semewah itu, bukan?” Aku terkekeh kecil,  meraih kunci mobil, lalu berjalan menuju pintu kamar.

“Tunggu, Mas!” Aku tersentak, perempuan itu akhirnya berani bersuara juga.

Aku  menghentikan langkah, berbalik sambil tersenyum miring. Namun,

“Aaauuu! Indri! Apa yang kau lakukan?”

Secepat kilat sebuah benda melayang menghan tam keningku. Seketika  kurasakan pening, pandangan gelap. Kupegangi  keningku , cairan hangat mengalir de ras di sana.

“Bik War …!” teriakku bingung.

Indri terkekeh.

“Kau perempuan gi la!”   desisku lemah.

“Itu belum apa-apa! Kau tidak tahu sedang berhadapan dengan siapa, Tuan muda!”  Dia menyeringai.

“Kau! Aku akan penjarakan kau!” ancamku makin lemah.

“Lakukan kalau kau bisa! Kartu ma timu ada di tanganku!  Oh, iya, ini belum apa-apa! Selamat menikmati hari-harimu selanjutnya!” ancamnya  tersenyum dingin, tepat di wajahku,  lalu berjalan  gontai menuju kamar mandi.

Entah apa maksud perkataannya. Yang  jelas aku merasakan api  keben cian dari nada suaranya.  Keben cian yang menciptakan den dam.

Aku juga tak berdaya melawan kehendak Indri, saat Ara datang dan berkeras tidur di kamar utama, bersamaku.  Terpaksa kami harus mengalah, tidur di kamar tamu. Tak  apa, tinggal satu malam lagi saja.  Biar dia puas menikmati ranjang impiannya satu malam ini. Besok pagi, dia akan kembali  tidur di kasur keras di kamar jeleknya.

*

Kupastikan Mama akan menyerah menyukai  menantu pilihannya itu, setelah  peristiwa berda rah semalam.  Aku sang putra kesayangan hampir saja  celaka. Mama tak akan tinggal diam. Detik ini juga, Indri akan terusir dari rumah ini. Begitu pikirku.

Tetapi, yang terjadi sama sekali  tidak seperti  impianku.  Mama malah membela perempuan itu. Bahka meminta agar melakukan hal yang lebih sadis lagi agar aku sadar. Gila! Bagaimana ini. Padahal Ara masih kusembunyikan di kamar tamu.

Kupikir mama akan langsung menyetujui hubunganku dengan Ara. Nyatanya Indri tetap istimewa baginya. Mama pasti akan menyelidiki peristiwa semalam. Bagaimana kalau keberadaan Ara ketahuan?

Kalau Mama ngusir Indri,  aku  yakin Mama pasti  bisa menerima Ara. Tetapi ini? Mama tetap bela Indri, artinya Ara tetap tak  ada tempat di hati Mama. Apalagi kalau ketahuan Ara nginap di sini, di malam pertama pernikahanku.

“Mas Haga!”

Duar!

Bom itu pun meledak. Itu suara Ara, berjalan sambil mengucek mata menuju meja makan di mana kami  sedang berbicara.  Mama terkejut, menatap kekasihku yang berpakaian setengah  telan jang  kian mendekat.

“Mas Haga,  aku laper, padahal mataku masih ngantuk banget, kamu sih, mainnya maksa sampai pagi, telat, kan aku bangunnya. Mas Haga ….”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status