===“Ara sudah ditalak suami sirinya. Dia berjuang untuk lepas dari lelaki bedebah itu. Maka sebagai imbalannya, dia memintaku berbuat yang sama. Aku harus talak kamu, kuharap kamu bisa mengerti.”“Ya, aku mengerti, jangan khawatir. Jadi, talak ini karena permintaan Ara?”“Maaf, aku sangat mencintai Ara.”“Tak perlu minta maaf, aku terima talak kamu, Mas. Mulai detik ini, kita bukan lagi suami istri.”“Kamu marah?”“Tidak. Inilah yang terbaik untuk kita. Toh dilanjutkan juga tak ada gunanya, bila kamu tetap tak bisa lepas dari bayang-bayang perempuan itu.”“Aku mencintai Ara. Kami saling mencintai.”“Ya, aku paham. Meski dia istri seseorang.”“Dia sudah ditalak.”“Selamat untuk kalian berdua.”“Semula, aku ingin menikahinya tanpa mentalak kamu, tetapi Ara tak mau. Dia ingin menjadi satu-satunya untukku.”“Dan aku tak akan mau bila berbagi suami dengannya. Jadi, aku sangat mendukung keputusanmu mentalak aku.”“Terima kasih atas pengertian kamu, In!”“Ok. Besok pagi aku akan beran
===“Kita pulang, Sayang? Kamu udah kuat, kan?” Mama mertua menepuk lembut pipiku.Kuulas senyum tipis.“Bentar lagi, dong, Ma! Tunggu barang sejam dua jam lagi. Biar Indri lebih kuat.” Suaminya menyarankan.“Iya, iya. Mama itu rasanya gak sabar, Pa. Pengen waktu cepat berlalu, biar cepat gendong cucu, hehehe ….”“Orang tua Nak Indri udah mama telpon, kan?”“Udah. Mereka udah di jalan. Saya suruh nunggu di rumah saja. Kita ketemu di rumah, toh kita juga udah mau pulang.”“Ya, udah. Saya mau ke lantai tga sebentar, ada rekan bisnis kita kebetulan juga sedang di rawat di sini. Kamu mau nemani Papa, Bara?” Papa mertua menatap putra sulungnya.“Papa aja, deh, Pa. Bara mau ngurus administrasi ruamh sakit ini sebentar lagi, Mama aja yang nemani Papa!” tolak Mas Bara.“Haga, kan bisa ngurus administrasi perawatan istrinya. Tapi, sudahlah. Papa pergi dulu, ayo, Ma!”“Indri, bentar, ya, Sayang! Kamu istirahat aja dulu, sambil ngabisin infus di botol itu, biar semakin kuat.” Mama mertu
****“Apa, rujuk?” Haga tersenyum tipis sambil menggeleng-gelengkan kepala.“Iya, rujuk! Kamu harus rujuk dengan Indri!” ujar Bara sambil menatapnya tajam.“Aku tak mau!”“Harus, Haga, titik!”“Aku tidka mau rujuk, Mas! Kalau Mas Bara mau sama dia, silahkan ambil!”“Apa maksudmu? Apa maksudmu?”“Mas peduli pada kesehatam Papa dan Mama, kan? Kenapa tidak Mas aja yang nikahi Indri?”“Bang*sat kau!”“Hentikan!” teriaku saat tangan Mas Bara kembali menyerang wajah Mas Haga.Kedua laki-laki itu menoleh ke arahku.“Kalian bertengkar karena kehamilanku?” tanyaku dengan nada pelan, hampir mirip gumaman.“Bukan itu masalahnya, Sifat ktidakdewasaan kalianlah yang menjadi permasalahannya,” jawab Mas Bara masih ketus.“Mas Haga sudah menceraikanku. Saat itu kami belum tahu kalau ada janin di perutku. Dan perlu Mas Bara tahu, janin ini ada akibat aku diperkosa. Bukan atas dasar cinta.”“Apa maksudmu?” Mas Bara menatapku tajam.“Tak ada maksud apa-apa. Aku hanya ingin menekankan, agar Mas Ba
===“Jadi, kamu diam-diam sudah pisah dengan Haga?” Mama mertua berjalan masuk.“Tenang, Ma! Tenang! Mama salah dengar sepertinya.” Mas Bara menyongsong ibunya.“Mama dan Papa sudah dengar semuanya. Tak perlu kalian tutup-tutupi lagi!”Ok, tapi Mama harus bisa tenang! Kalau Mama saja seperti ini, bagaimana dengan Papa?”“Stop Bara! Berhenti mengkhawatirkan Papa dan Mama. Kami baik-baik saja. Cukup sudah perbuatan Haga menghancurkan semuanya. Berhenti menutupi kesalahannya!”Aku terperangah. Mama terlihat begitu tegar. Awalnya dia memang tampak sangat terkejut, tetapi setelahnya aku dan Mas Bara yang dia buat terkejut. Apalagi melihat reaksi Papa mertuaku. Lelaki paruh baya itu malah berjalan tenang menghampiri kami, meraih sebuah kursi lalu duduk di sisi ranjang. Tepat di sebelah kanan kepalaku.“Papa dan Mama baik-baik saja?” Mas Bara masih tak percaya.“Haruskah kami menghembuskan napas terakhir hanya karena ulah adikmu? Haga sudah kelewatan. Semua kami lakukan demi kebaika
****“Kita duduk, Pa! Papa tenang, ya!” Mas Bara memapah ayahnya menuju kursi di teras itu.“Baik, baik. Papa baik-baik saja! Tolong jelaskan, siapa perempuan itu!” ulang Papa menunjuk ke arah Mas Haga dan Ara.“Gak usah pura-pura terkejut Om!”Mas Arga yang menjawab.“Om sudah tahu sebetulnya kebusukan putra Om, sengaja menikahkannya dengan adik saya untuk menutupi kebejatannya. Agar keluarga Om tetap terhormat di mata masyarakat. Dengan menikahi putri seorang Ustadz, maka masyarakat akan menilai kalau Haga laki-laki baik, terhormat. Padahal busuk, pezina! Berzina dengan pelacur busuk! Dasar keluarga munafik!” maki Mas Arga kian emosi.“Hentikan Arga! Tutup mulutmu!” Bapak mengguncang bahu Mas Arga.“Aku sudah lama menyelidiki ini. Laki-laki busuk ini bahkan sudah menikah siri dengan perempuan itu! Adikku yang baik, ternyata bernasip begitu malang! Dia diselingkuhi, bahkan di madu dengan seorang perempuan murahan, dimadu dengan seorang lont*!”Mas Arga meradang lagi.“Arga! K
POV Haga===“Mas ke sini? Tumben?” tanya Ara.Wanitaku ini langsung berseri saat melihatku telah berdiri di ambang pintu. Senyumnya mengembang. Terlihat dereten gigi rapi mengintip di antara bibir tipis nan ranum menggiurkan itu.“Gak boleh aku ke sini? Atau kamu sedang menunggu si Leo, mantan suamimu yang impot*n itu” godaku seraya mengelus pipinya.Seketika tangan lembutnya mendaratkan pukulan manja di dadaku. Kutangkap dan langsung mendorong tubuhnya masuk. Segera kututup pintu dengan sebelah kakiku sambil berjalan memapahnya menuju kamar.“Pintunya gak dikunci, Sayang?” desisnya manja.“Biar aja, kelamaan!” sergahku memeluk pinggangnya.“Gimana keadaan Indri? Kenapa dia pingsan tiba-tiba tadi?” selidiknya sembari bergelayut manja di bahuku.“Kami bertengkar, aku tampar dia! Eh, pingsan!” ucapku berdusta.Dusta untuk menyenangkan hati wanita yang sangat kucintai ini. Tak mungkin kuberitahu dia kalau Indri pingsan karena ternyata dia tengah mengandung anakku. Bisa kiamat n
****“Biar aku saja yang membuka pintunya,” usulku sambil bangkit dan berjalan menuju pintu.Tanpa ragu kubuka pintu.“Auw!” Aku menjerit kaget dan langsung terjungkal kesakitan. Sebuah tendangan langsung mendarat di tulang kering kakiku. Mas Arga, kakak kandung Indri mantan istriku telah berdiri dengan menyeringai di hadapanku.“Kenapa? Kaget? Bangsat kau!” kembali dia menghajarku.“Ampun, Mas!” teriakku menghiba.Bukan karena aku takut melawannya. Tetapi, rasa kaget ini membuatku kehilangan tenaga. Bagaimana bisa Mas Arga menemukan kontrakan ini? Gawat, rahasia pernikahan siriku dengan Ara pasti akan terbongkar sekarang. Bagaimana ini.“Ampun? Ampun kau bilang? Ini ampun!” Kakinya kembali menendang tubuhku.“Hentikan! Tolooooong!” Ara histeris.“Jangan teriak, Ra! Dia kakak iparku!” perintahku menghentikan teriakan Ara.“Kakak iparmu, Mas? Dia yang aku ceritakan tadi, yang selalu mengintai aku dari kejauhan, Mas!”“Jelaskan siapa perempuan ini!” Mas Arga menatap tajam Ara.“D
===POV Indri“Aku pulang, Dek. Ada urusan penting. Kamu baik-baik di sini! Kalau ada apa-apa jangan diam seperti selama ini! Segera hubungi aku!”Mas Arga membelai kepalaku.Aku mengangguk“Titip adek aku! Kalau terjadi sesuatu, aku gak akan segan-segan terhadap keluarga ini! Gak peduli sebanyak apa orang-orangmu!”Kali ini Mas Arga mengancam Mas Bara. Jelas Mas Bara bingung. Dia sama sekali tak terlibat dalam masalah ini sejak awal. Dia bahkan tak tahu apa-apa tentang pernikahan adiknya.“Baik, aku akan jaga Indri,” sahutnya mengalah. Mungkin dia enggan berurusan lebih lama dengan Kakakku.“Arga duluan, Pak, Buk! Permisi Om, Tante!”“Terima kasih, Nak Arga!” Kedua mertuaku tersenyum ramah.**Bapak dan Ibu juga sudah bersiap-siap untuk pulang. Kini, aku akan tinggal sendiri di dalam keluarga mantan mertuaku ini. Ya, mantan. Karena aku sudah bukan menantu mereka lagi. Satu hal yang semakin sulit sebenarnya. Tetapi, aku harus menjalaninya. Calon bayi yang ada di dalam perut ini ada