****“Mas Bara enggak bilang kalau dia perancang!” balasku membela diri.“Kan, kamu bisa nanya, Bella siapa!” bentaknya menatapku tajam.Aku mengangkat bahu, kesal sekali rasanya. Betul kata Mas Haga, laki-laki ini agak susah orangnya. Kita harus selalu sempurna di depannya. Masalh sepele begini saja dibesar-besarkan. Kan tinggal bilang sama perempuan itu, ‘maaf, ya, ternyata benar, adik aku yang nyuruh.’ Memangnya siapa dia membentk-bentak aku?“Jadi gimana, nih? Aku bilang apa sama Bella?” tanyanya masih ketus.“Terserah!” jawabku juga dengan ketus. Segera aku melangkah mundur, menutup pintu kamar, lau mneguncinya dari dalam.“Indri!” laki-laki itu mengetuk.Aku tak peduli. Enak saja dia main bentak. Biarkan saja kerja sama dnegna perancang bernama Bella itu gagal. Lagian malas juga rasanya berhubungan dengan si Bella-Bella itu. Ternyata dia kenalan Mas Bara, terdengar akrab begitu. Jangan-janagn mereka memang ada hubungan lagi, bisa saja pacarnya malah.Huh, berurusan denga
=====“Itu suami kamu , In? Bersama siapa dia?” Kak Jo berbisik di telingaku.Mas Haga berjalan kian dekat, di belakangnya Ara mengiringi. Kupindai wajah kusut sepasang suami istri siri itu. Forum wajah mereka menggambarkan keresahan yang begitu parah.“Kenapa tadi kamu gak bareng suamimu, In? Malah bareng pacar Mbak Bella?”Aku tercekat. Kutoleh ke samping. Kak Jo terlihat begitu bingung. Tak kalah denganku. Tetapi berbeda dengan kebingungan yang melanda diriku tentu saja. Ucapan Kak Jo barusan, masih mengiang-ngiang. Ternyata Mas Bara dan Bella memang ada hubungan. “Indri!”Mas Haga kini berdiri di depanku. Ara juga berdiri tak jauh di sisinya, tetapi dengan Bahasa tubuh yang berbeda dair sebelumnya. Kini, tak ada lagi pamer kemesraan seperti biasanya. Ara juga tak berani menantang mataku lagi. Perempuan itu menunduk menekuri batu tegel yang dipasang rapi di bawah kaki kami.“Maaf, mengganggu waktu kamu sebentar, In!” sapa Mas Haga lagi.“Ada apa?” Tanyaku datar. “B
****Perempuan itu kembali mengejarku, kali ini tak tanggung-tanggung. Kakinya terangkat sebelah, tepat terarah menuju perutku.“Matilah bayi sialan di perutmu itu!” teriaknya sambil menerjang.“Perempuan sinting!” Mas Bara menangkap tubuhku, memeluk, dan menghalagi terjangan Ara dengan memalangkan punggungnya.Terjangan Ara tepat mengenai punggung Mas Bara. Sedang aku sedikit gemetaran karena masih terkejut, di dalam pelukannya.“Kamu tidak apa-apa?” Bela langsung melepas tangan Mas Bara di tubuhku.Aku menggeleng. Mas Bara mengurai pelukannya.“Ara! Kamu keterlaluan!” Mas Haga berteriak kencang, sambil menghentak lengan Ara penuh emosi.“Kau juga membela perempuan sialan itu, Mas?” tanya Ara kaget.“Janin di perut Indri tidak bersalah! Jangan pernah kau coba-coba menyentuhnya!” bentak Mas Haga juga emosi.“Oh, jadi sekarang kamu mengakui, kalau kau telah meniduri Indri? Kau bilang kalau kau tak pernah menyentuhnya! Kau bilang, kau hanya pura-pura saja mengaku kalau janin d
=====“Kenapa?” Bella menatapku ikut tegang.“Ada apa, In?” Kak Jo berbuat yang sama.“Tolong ambil tas kerja Mas Bara di meja aku, Kak Jo! Kakak yang bisa cepat bergerak. Aku gak bisa jalan cepat,” pintaku pada Kak Jo.“Baik, bentar!” Kak Jo berjalan setengah berlari masuk ke dalam butik.“Ada apa sebenarnya?” Bella mengulang pertanyaannya.“Mas Haga kena tabrak. Mas Bara sudah membawanya ke rumah sakit. Aku diminta Mas Bara susul ke sana!” jawabku.“Ya, Tuhan! Ok, pake mobil aku aja!” Bella menawarkan.“Mas Bara bilang bawa mobilnya ke rumah sakit, aku pakai mobil dia aja.”“Kamu bisa nyetir?”Bella menatapku aneh. Matanya memindai tubuhku dari atas sampai ke bawah.Aku tercekat. Kenapa Bella meragukanku? Apakah dia ragu karena gamis dan kerudung panjangku ini? Cara dia menatapku seperti menyepelekan. Atau ini mungkin hanya perasaanku saja, ya? Ah, terserahlah. Aku tidak punya waktu untuk memikirkannya saat ini.“Ini In!” Kak Jo datang dan meyodorkan tas kerja Mas Bara.“Sini, a
****“Kamu ngadu apa pada Mas Bara?” Tetiba Bella melontarkan pertanyaan yang menuduh itu.“Aku gak bilang apa-apa. Kenapa memang?” Aku balik bertanya.“Pasti kamu jelek-jelekin aku, kan? Makanya Mas Bara keliatan ketus gitu ke aku?”“Aku tidak ada bilang apa-apa, maaf!”“Eh, maaf, kamu kekasihnya Mas Bara, ya?” Ara menyela.“Kenapa emang?” jawab Bella ketus.“Aku liat dan dengar sendiri, kalau Indri udah jelek-jelekin kamu pada Mas Bara.” Ara berdusta.“Beneran?” tanya Bella tampak mulai terhasut.“Iya, heran deh! Perempuan ini murahan banget! Udah jelas jelas Mas Haga menceraikan dia, masih juga bertahan di rumah besar kelurga itu, eh, rupanya ada maunya. Dia mau mencari perhatian Mas Bara. pantes diajak rujuk Mas Haga dia tak mau.” Ara makin memanasi.“Eh, Indri! Dengar ya, jujur, aku gak suka kamu masih bertahan di rumah Mas Bara. Secara, ya kamu itu sudah janda! Jandanya Mas Haga, iya, kan?” tukas Bela.Aku bergeming, enggan meladeni ucapan mereka berdua. Tak mau stress, a
====“In, Bara ke mana ya? Papa tadi nelpon, katanya Bara gak ke kantor?” Mama menghampiriku di dalam kamar.“Oh. Anu, Ma. Anu ….” Aku tergagap.“Anu apa? Nomornya juga gak aktif saat dihubungi?”“Iya.”“In, kamu tahu sesuatu? Tadi dia bareng kamu, kan, perginya, Nak?”“Iya, Ma. Sebenarnya Indri mau cerita ke Mama, tapi duluan Mama yang datang ke kamar Indri, ya, sudah sekarang aja, Indri ngomongnya, ya, Ma?”“Ada apa, sih, sepertinya serius banget?”“Iya, serius banget. Makanya Indri takut ngomongnya. Takut Mama kaget.”“Ada apa? Ceritalah, In! Tentang Bara, ya?”“Bukan tentang Mas Bara, Ma, tetapi tentang Mas Haga.”“Tentang Haga? Gak usah cerita kalau tentang dia! Mama lagi nyari Bara! Bukan nyari Haga! Kamu tahu dia di mana saat ini?”“Ya, ini ada hubungannya dengan Mas Bara, Ma.”Wanita itu terdiam sesaat. Wajahnya sedikit menegang.“Bara baik-baik saja, kan, In?” tanyanya mulai gelisah.“Mas Bara baik-baik saja, Ma. Justru Mas Haga yang kurang baik.”“Tentu saja Haga tidak bai
*****“Anu, Pa. mengenai Haga.” Mama melanjutkan dengan nada sedikit ragu.Aku dan Mas Bara saling tatap. Lalu bersama-sama menoleh ke arah Mama dan Papa bergantian.“Tidak usah terlalu Mama pikirkan! Biarkan saja, kita tunggu saja bagaimana perkembangannya!” Papa menjawab datar.“I – iya, sih, Pa. Maksdu Mama, Haga … Haga, anu.”“Ma, jangan terlalu Mama pikirkan si Haga. Dia sudah dewasa.”“Iya, Pa. Tetapi saat ini, Haga tengah sakit.”Papa mengalihkan tatapannya dari layar ponsel. Benda pipih itu diletakkan perlahan di atas meja, di depannya.“Mama sudah tahu, kalau Haga sakit?” tanya Papa terkejut.“Lho, Papa juga sudah tahu kalau Haga sakit?” Mama tak kalah terkejut. Pun aku dan Mas Bara.“Indri juga sudah tahu tentang Haga?” Papa menoleh ke arahku.Aku megangguk.“Maaf, Pa, sengaja ini kami rahasiakan dari Papa. Kami khawatir Papa kaget, lalu terkena serangan.” Mama terlihat menyesal.“Justru Papa yang sengaja menyembunyikan informasi ini dari kalian, khawatir kalian kaget,
****“Aku panggilkan dokter! Tidak usah khawatir, Haga sudah melewati masa kritisnya!” ucap Mas Bara lalu bergegas ke luar ruangan.“Haga, ini Mama, Nak!” Mama memanggil nama anaknya.“Mas Haga, syukurlah kamu sudah sadar, ini Ara, Mas!” Ara spontan melepas jemari suaminya yang masih manaut jemariku.Aku melangkah menjauh, kembali ke posisiku semula. Seorang Dokter dan dua orang perawat buru-buru masuk, meminta semuanya menepi. Dokter memeriksa dengan seksama. Terlihat wajahnya terang, mengulas senyum pada Ara.“Selamat, Pak Haga sudah melewati masa kritisnya, Bu Ara! Suami Ibu akan baik-baik saja!” ucap sang Dokter tersneyum pada Ara.“Terima kasih, Dokter,” jawab Ara sambil tersenyum. Aku melihat senyum penuh kepalsuan di wajahnya. Entahlah, aku melihat kelicikan di senyum itu.“Selamat Pak Haga! Buka saja matanya, Pak! Pelan-pelan, ya! Jangan dipaksa! Bapak baik-baik saja, bukan?” ucap Dokter itu menyapa Mas Haga.Mas Haga perlahan membuka kelopak matanya.“Mama …,” l