****“Aku panggilkan dokter! Tidak usah khawatir, Haga sudah melewati masa kritisnya!” ucap Mas Bara lalu bergegas ke luar ruangan.“Haga, ini Mama, Nak!” Mama memanggil nama anaknya.“Mas Haga, syukurlah kamu sudah sadar, ini Ara, Mas!” Ara spontan melepas jemari suaminya yang masih manaut jemariku.Aku melangkah menjauh, kembali ke posisiku semula. Seorang Dokter dan dua orang perawat buru-buru masuk, meminta semuanya menepi. Dokter memeriksa dengan seksama. Terlihat wajahnya terang, mengulas senyum pada Ara.“Selamat, Pak Haga sudah melewati masa kritisnya, Bu Ara! Suami Ibu akan baik-baik saja!” ucap sang Dokter tersneyum pada Ara.“Terima kasih, Dokter,” jawab Ara sambil tersenyum. Aku melihat senyum penuh kepalsuan di wajahnya. Entahlah, aku melihat kelicikan di senyum itu.“Selamat Pak Haga! Buka saja matanya, Pak! Pelan-pelan, ya! Jangan dipaksa! Bapak baik-baik saja, bukan?” ucap Dokter itu menyapa Mas Haga.Mas Haga perlahan membuka kelopak matanya.“Mama …,” l
*****“Pa, kok gak dimakan rotinya?” Mama kebingungan.“Hilang seleranya mungkin, Ma. Sama seperti aku. Aku juga tetiba eneg. Oh, iya, Indri. Kamu hari ini ke butik, kan? Kata Bela kalian ada janji hari ini, meneruskan pembicaraan kerja sama waktu itu.” Mas Bara menatapku.“Ya, Kak Jo sudah memberitahuku,” jawabku datar.“Kamu berangkat sendiri? Atau aku antar?” tanya Mas Barra lagi.Mas Haga tetiba melotot kepada Mas Bara. Tatapan tidak senang itu terlihat nyata. Mas Bara sepertinya sadar makna tatapan adiknya.“Oh, aku buru-buru, In. Kamu nyetir sendiri aja, ya! Ini pakai mobil yang ini!” Mas Bara menyodorkan kunci mobil. Kunci bekas mobil Mas Haga. Ragu, aku meraihnya.“Lho, terus aku yang mau bawa mobil Mas Haga, gimana, Mas?” Ara protes.“Kalau memang kamu mau keluar rumah juga, silahkan pesan taksi, ok! Atau naik angkot juga bisa. Banyak kok, angkot lewat di depan sana!” Mas Bara bangkit.“Bara berangkat, Ma!” pamitnya pada Ibunya. Lalu berjalan pergi.“Hati-hati!” Mama
****“A—apa? Mama bilang apa barusan?” Ara terperangah. Wanita itu seakan tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya.“Baik, Ara! Mama akan ulangi, dengarkan baik-baik! Kamu perlu tahu, bahwa Indri mungkin memang bukan istri pilihan bagi Haga. Haga tidak mencintai Indri. Dia lebih memilih kamu! Tetapi, Indri adalah menantu pilihan bagi kami. Indri adalah menantu kebanggaan kami. Oleh karena itu, kami sengaja memberikan dia mahar yang istimewa dari kami. Rumah ini dengan seluruh fasilitas yang ada di dalam sini.”“Oh, jadi rumah ini beserta isinya adalah mahar untuk Indri? Pantes dia bertahan di sini. Meskipun sudah ditalak Mas Haga. Dasar perempuan matre!” Ara menatapku sinis.“Boleh saja Haga mentalak dia, Indri bukan lagi istrinya, tetapi satu yang perlu kau tahu. Indri tak akan pernah menjadi mantan menantu bagi kami. Dia tetap menantu kami. Selamanya! Andaipun kelak Indri menikah dnegan laki-laki lain, maka hubungan kami tak akan pernah berubah. Siapapun suaminya, mak
****“Kamu gak apa-apa, In?” Mama menghampiriku, memijit tengkukku dengan lembut.“Udah, Ma!” ucapku seraya membersihkan mulut dan wajahku.“Jadi kamu ke butik kalau lemas begini?” tanay Mama lagi.“Jadi, Ma. Udah janji sama Bella. Saya ke kamar dulu, nanti langsung berangkat, ya, Ma!” izinku sambil berjalan menuju kamarku.Sempat kulihat tatapan Mas Haga. Sorot matanya begitu sendu, saat bersetatap denganku. Mungkin dia merasakan sesuatu, yang jelas janin di dalam perutku ini, adalah benihnya. Kuyakin ada ikatan batin di antara mereka. Namun, aku berusaha mengurainya. Tak akan pernah ada tempat bagi laki-laki itu, di sini, di hati ini, meski hanya di sudut terluarnya.***“Indri! Kamu udah datang?” Kak Jo berdiri menyabutku, saat aku memasuki ruang kantor di butik itu. Aku mengangguk, lalu melemparkan senyum seramah mungkin pada Bella yang juga sudah menunggu.“Kamu telat!” protesnya ketus.“Maaf, Bel. Ada masalah dikit tadi di rumah,” ucapku dengan nada menyesal.“Masalah apa?
====“In, kenapa kamu gegabah banget, sih?” Kak Jo terduduk lemas di sofa, di seberang mejaku.Aku hanya membisu. Ada denyut hebat yang menyerang di kepalaku. Bella telah berhasil membuatku badmood.“Kita harus bilang apa pada pelanggan, In? Kita sempat berjanji akan memasarkan produk rancangan Mbak Bella di butik kita. Beberapa bahkan udah take order. Gimana, dong?” keluh Kak Jo memijit pelipisnya. Rupanya dia juga tetiba menderita sakit kepala, seperti halnya aku.“Maaf, Kak Jo. Sebetulnya kalian terlalu gegabah. Kalian berani promosikan produk rancangan Bella, bahkan berani terima orderan, sementara kita belum ada kata sepakat dengan yang bersangkutan,” ucapku mengungkap kecewaku.“Maaf, In. Sebetulnya kami enggak akan berani promo dan terima orderan, kalau belum ada kata sepakat dari Mbak Bella.”“Maksudnya?” Aku tersentak.“Iya, sebelumnya Mbak Bella sudah ok, In. Bahkan udah janji akan memasukkan produk rancangannya untuk tahap pertama.”“Lho? Kapan itu?”“Sehari setelah
****Ini luar biasa. Mas Bara tidak membela kekasihnya, justru meminta maaf padaku. Mas Bara memang dewasa banget. Begitu pinter menyikapi segala sesuatunya. Beruntung sekali Bella mempunyai kekasih seperti Mas Bara. Bertolak belakang dengan watak adiknya Mas Haga. Andai saja yang dijodohin ke aku dulu adalah Mas Bara, bukan Mas Haga?Ups!Kenapa aku jadi ngelantur begini?“In! Kamu baik-baik saja?”“Eh, aku enggak apa-apa, Mas. Sudah, ya! Mas Bara pasti sibuk di kantor! Matiin aja telponnya!”“Bentar … bentar! Aku memnag sibuk, tapi, setelah Bella nelpon tadi, aku langsung nelpon Mama, nanayin gimana kondisi kamu tadi pagi sebelum berangkat. Au kepikiran aja. Gak bisa bayangin, kamu yang sedang mabuk begitu, Bella malah buat masalah, Aku khawatir kamu tambah pening.”“Oh, jadi sebetulnya kamu yang nelpon Mama, bukan Mam yang nelpon kamu?” Aku terkesiap. Mas Baar ketahuan berbohong.“Eh, iya, In. Maaf.”“Ya, enggak apa-apa, sih, Mas.”“Hem, aku juga heran, In. Entah kenapa, aku serin
==== “Kak Jo, ke ruangan aku bentar, deh!” panggilku pada Kak Johana melalui telepon.“Siap, aku datang, In, segera,” jawabnya langsung mengakhiri panggilan.“Jangan kenalin dengan teman kamu, dong, In! Kenapa, sih, bukan kamu aja yang urus!” protes Mas Bayu menekuk wajahnya yang terlihat begitu bersih. Ya, itulah ciri khas cowok satu ini. Wajah putih bersih, kalah wajah perempuan. Mungkin karena air wudhu tak pernah kering di wajahnya.Salah satu kelemahannya yang paling dominan adalah takut berinteraksi dengan perempuan. Itu sebab dia langsung mengajak aku menikah dulunya, meski kami tak ada hubungan. Baginya perkenalan lebih lanjut itu setelah menikah saja. Menghindari dosa akibat zina hati dan zina pikiran, begitu alasannya.“Nama manager kamu Johana?” tanyanya menyelidik.“Ya, Kak Jo, lengkapnya Johana, kenapa, Mas?”“Gak apa-apa, sih. Biasa aja.”“Gak usah grogi, Mas! Tenang, Mas! Kak Jo gak gigit orang, kok! Makanannya masih nasi, sama kayak kita.”“Bukan masalah itu, In.
****“Kalau ada yang masih mau dibicarakan, silahkan bicara dengan Johana, manager butik ini, ok! Semoga Anda bisa maklum!” ujar Mas Bara lagi kepada Mas Bayu.“Begitu, ya. Tapi, saya rasa Anda terlalu berlebihan. Anda bukan lagi Abang ipar bagi Indri. Anda hanya mantan, mantan Abang Ipar, itu yang paling tepat, betul bukan?” Mas Bayu tersenyum tipis.“Bagus kalau Anda paham. Anggap saja Anda benar. Saya juga lebih suka dengan istilah Mantan Abang ipar, sehingga tak akan menjadi penghalang bagi saya untuk langkah selanjutnya,” balas Mas Bara juga tersenyum tipis.“Langkah selanjutnya? Maksud Anda?” Mas Bayu menautkan kedua alisnya merasa heran.“Bukan urusan Anda, karena Anda hanya kolega bisnis Indri, mantan adik ipar saya ini. Benar begitu, bukan?” balas Mas Bara dengan lugas.Mas Bayu tercekat.Mas Bara tersenyum lebar.“Indri, ayo! Mama sudah menunggu!” perintahnya sekali lagi.Aku tak berani menolak, entahlah! Kenapa aku tak bisa menolak. Sadar sebetulnya, bahwa dia tak