==== “Kak Jo, ke ruangan aku bentar, deh!” panggilku pada Kak Johana melalui telepon.“Siap, aku datang, In, segera,” jawabnya langsung mengakhiri panggilan.“Jangan kenalin dengan teman kamu, dong, In! Kenapa, sih, bukan kamu aja yang urus!” protes Mas Bayu menekuk wajahnya yang terlihat begitu bersih. Ya, itulah ciri khas cowok satu ini. Wajah putih bersih, kalah wajah perempuan. Mungkin karena air wudhu tak pernah kering di wajahnya.Salah satu kelemahannya yang paling dominan adalah takut berinteraksi dengan perempuan. Itu sebab dia langsung mengajak aku menikah dulunya, meski kami tak ada hubungan. Baginya perkenalan lebih lanjut itu setelah menikah saja. Menghindari dosa akibat zina hati dan zina pikiran, begitu alasannya.“Nama manager kamu Johana?” tanyanya menyelidik.“Ya, Kak Jo, lengkapnya Johana, kenapa, Mas?”“Gak apa-apa, sih. Biasa aja.”“Gak usah grogi, Mas! Tenang, Mas! Kak Jo gak gigit orang, kok! Makanannya masih nasi, sama kayak kita.”“Bukan masalah itu, In.
****“Kalau ada yang masih mau dibicarakan, silahkan bicara dengan Johana, manager butik ini, ok! Semoga Anda bisa maklum!” ujar Mas Bara lagi kepada Mas Bayu.“Begitu, ya. Tapi, saya rasa Anda terlalu berlebihan. Anda bukan lagi Abang ipar bagi Indri. Anda hanya mantan, mantan Abang Ipar, itu yang paling tepat, betul bukan?” Mas Bayu tersenyum tipis.“Bagus kalau Anda paham. Anggap saja Anda benar. Saya juga lebih suka dengan istilah Mantan Abang ipar, sehingga tak akan menjadi penghalang bagi saya untuk langkah selanjutnya,” balas Mas Bara juga tersenyum tipis.“Langkah selanjutnya? Maksud Anda?” Mas Bayu menautkan kedua alisnya merasa heran.“Bukan urusan Anda, karena Anda hanya kolega bisnis Indri, mantan adik ipar saya ini. Benar begitu, bukan?” balas Mas Bara dengan lugas.Mas Bayu tercekat.Mas Bara tersenyum lebar.“Indri, ayo! Mama sudah menunggu!” perintahnya sekali lagi.Aku tak berani menolak, entahlah! Kenapa aku tak bisa menolak. Sadar sebetulnya, bahwa dia tak
===“Bagaimana In? Kamu lihat haga sebentar, ya?” tanya Mama begitu Ara berlalu.“Saya sebenarnya enggan ke kamar mereka, Ma,” jawabku tetap menjaga nada suara. Khawatir dianggap tidak sopan oleh Mama.“Mama temani, ayo!” usulnya.“Bentar, Ma.”Aku segera merapikan diri. Meraih jilbab panjang, mengenakannya di kepala, dan mematut diri di depan cermin rias.Mas Haga bukan suamiku lagi. Dia adalah orang lain sekarang, meski janin di perutku ini adalah darah dagingnya. Maka aku harus menutup aurat serapat mungkin bila di hadapannya, meskipun kami tinggal di bawah atap yang sama.“Yuk, Ma!” ajakku kemudian.“Ya, Sayang! Kamu cantik sekali!” Mama menatapku kagum.“Ah, Mama. Seperti baru pertama bertemu Indri saja!” Aku tersipu, berjalan sambil memegang lengan wanita paruh baya itu.“Semoga cucu mama juga sama cantiknya seperti kamu, ya, sayang!” doanya sambil berjalan menuju kamar Mas Haga.“Aamiin,” timpalku mengamini.Kamar Mas Haga berada di kamar tamu. Mama yang menempatkan me
****“Ya, kamu salah! Kenapa kamu mau mengikuti ide gila istri kamu?” sesal Mama.“Sebetulnya, Haga memang mau bicara dengan Indri, Ma, kebetulan Ara menawarkan itu, jadi Haga terima saja. Tak paham kalau dia berniat menjebak Indri.” Haga mendongah, menatap tajam ke Ara kini.“Jadi, kamu tidak tahu kalau ini rencana perempuan ini!”Mas Haga menggeleng lemah.“Bisa kamu jelaskan, Ara! Apa rencana kamu sebetulnya dengan menjebak Indri dan Haga di kamar berduan?” Mama mulai menyelidiki.“Tidak ada, Ma,” jawab Ara terlihat kesal.“Kamu jawab jujur! Kamu mau viralkan begitu, seolah-olah mereka selingkuh? Iya, kan?” tuduh Mama. “Enggak, Ma. Cuma iseng aja.” Ara bertahan.“Iseng kamu bilang? Bilang ini idenya siapa!”“Gak ada, Ma. Ini gak serius!”“Ide kamu atau idenya Bella!”“Enggak, Ma!”“Jawab!”Ara bergeming. Kepalanya menunduk menekuri lantai kamar.“Baik, kami akan tetap menyelidiki ini! Tunggu saja! Indri harus berangkat menemui Dokter kandungan hari ini! Jangan sampai karena insi
=====“Udah siap?” Mas Bara membukakan pintu mobil untukku.Aku mengangguk. Lalu berjalan menuju mobil itu.Tetapi, langkahku segera terhenti. Kalimat Mas Haga terngiang di telinga. ‘Jangan pergi bareng Mas Bara! Bayi itu bukan benihnya!’Kupikir ada benarnya. Tak pantas rasanya seorang mantan kakak ipar selalu meempel pada mantan istri adiknya. Bukan karena ingin mengindahkan permohonan Mas Haga, tetapi memang hati kecilku yang berbicara. Aku harus bertindak sekarang juga. Bersikap tegas, dan mulai menunjukkan jati diri yang sesungguhnya.Selain itu, aku tak ingin mencari masalah baru. Bella tak akan pernah diam, melihat kekasihnya yang semakin mengacuhkan. Tak ingin menjadi batu sandungan, aku bukan perempuan perusak hubungan orang. Sudah saatnya aku segera menyingkirkan semua onak dan duri yang menghadang. “Maaf, Mas, saya bisa berangkat sendiri!”Kembali aku melangkah menuju kamar utama, itu adalah kamar pribadiku.“Indri? Ada apa?” Mas Bara ternyata mengikutiku.“Stop
****“Betah, lho, Pak. Semewah-mewahnya tinggal di rumah orang, pasti akan lebih enak dan nyaman tinggal di rumah sendiri. Meskipun kecil dan sederhana. Tapi Indri merasa tenang. Tak ada intrik dan kemunafikan di dalamnya.”“Lho, rumah mewah itu kan, milik kamu, Nduk? Sudah dialih nama dengan nama kamu, kan?”“Dialih nama doang, Pak. Tapi buktinya mereka tetap bertahan. Indri juga enggak mau berharap. Bia raja, deh, Pak. Indri mau tinggalkan rumah itu, biar bsa hidup tenang dan nyaman.”“Baiklah, Bapak dan Ibu nanti akan datang. Tetapi, kalau misalnya mertuamu melarang kamu pergi bagaimana, Nduk?"“Bapak pinter-pinterlah ngomongnya, pak! Beri pengertian buat mereka!”“Baiklah, semoga berjalan lancar, ya, Nak, ya! Sekarang kamu di mana ini?”“Mau ke dokter kandungan, Pak. Mau cek up.”“Sama siapa, Nduk?”“Indri sehat, Pak. Jadi, gak masalah meskipun sendiri.”“Kamu sendiri, Sayang?” Kudengar suara Bapak berubah serak. Pasti dia merasa pilu karena putrinya sendirian. Padahal aku
====Dokter itu sudah mengakhiri percakapanya dengan papa mertuaku.Tetapi dia saja masih sibuk mengutak atik ponselnya. Padahal aku masih menunggu di hadapannya. Kalau saja dia bukan dokter pilihan keluarga Wijaya, sudah kuprotes kinerjanya yang sangat mengecewakanku ini.“Ok, Bu Indri. Sudah Beres,” ucapnya seraya mengulas senyum.Aku terpaksa balas tersenyum, meski kesal di dada.“Bu Indri memang menantu idaman, menantu kesayangan keluarga Wijaya,” pjinya tiba-tiba.“Maksud Doker?” Aku melongo. “Ya, keluarga mertua Ibu, begitu menyanyangi Bi Indri. Saya bangga sekali di percaya oleh keluarga nomor satu di kota ini, untuk merawat dan memantau kondisi kehamilan Bu Indri.”“Terima kasih. Dok, saya juga bangga menjadi pasien Dokter. Bagaimana resep Vitaminnya? Udah boleh saya bawa pulang?” tanyaku tetap sopan.“Ini, Bu Indri. Tapi sepertinya Ibu tidak usah bawa pulang, resep ini ,” ucap Dokter itu kembali membuatku melongo. “Lho, maksud Dokter? Saya sedari tadi menunggu
****“Aku hanya mau ingatkan, tolong segera kamu tinggalkan rumah ini! Biarkan aku hidup tenang bersama keluarga suamiku! Inget, kamu itu bukan siapa-siapa di rumah ini! Kamu bukan menantu, hanya mantan! Paham!”Kutepis cengkramannya, lalu tersenyum tipis. Kemudian berlalu.“Hey!”Sepertinya Ara merasa tersinggung karena kuacuhkan. Kembali tangannya mencengkram lenganku. Kali ini aku tak diam, kukibaskan dengan kasar.“Aku malas berurusan dengan kamu! Maaf! Kita gak se-level! Aku dan kamu beda banget! Kamu dengan Bella, tuh, yang sama! Ngobrol sama dia, aja! Sory!” ucapku meninggalkannya.“Oh, gak selevel? Emang iya. Ternyata kamu sadar juga, ya, siapa kamu sebenarnya! Perempuan kampung! Udik! Murahan! Sok polos tapi tebar pesona pada suami orang, juga pada Mas Bara pacar orang!” Ara mengejarku, langsung mendorong tubuhku hingga oleng kehilangan keseimbanagn. Hampir saja aku tejerembab jatuh. Seseorang menangkap tubuhku.“Ara!”Itu suara Mas Bara.Kami tersentak. Ternya