****“Aku hanya mau ingatkan, tolong segera kamu tinggalkan rumah ini! Biarkan aku hidup tenang bersama keluarga suamiku! Inget, kamu itu bukan siapa-siapa di rumah ini! Kamu bukan menantu, hanya mantan! Paham!”Kutepis cengkramannya, lalu tersenyum tipis. Kemudian berlalu.“Hey!”Sepertinya Ara merasa tersinggung karena kuacuhkan. Kembali tangannya mencengkram lenganku. Kali ini aku tak diam, kukibaskan dengan kasar.“Aku malas berurusan dengan kamu! Maaf! Kita gak se-level! Aku dan kamu beda banget! Kamu dengan Bella, tuh, yang sama! Ngobrol sama dia, aja! Sory!” ucapku meninggalkannya.“Oh, gak selevel? Emang iya. Ternyata kamu sadar juga, ya, siapa kamu sebenarnya! Perempuan kampung! Udik! Murahan! Sok polos tapi tebar pesona pada suami orang, juga pada Mas Bara pacar orang!” Ara mengejarku, langsung mendorong tubuhku hingga oleng kehilangan keseimbanagn. Hampir saja aku tejerembab jatuh. Seseorang menangkap tubuhku.“Ara!”Itu suara Mas Bara.Kami tersentak. Ternya
****Bangkit perlahan, kuraih jilbab instan yang tergeletak di sudut bibir ranjang. Kumasukkan ke dalam kepala dengan buru-buru. Lalu memutar anak kunci yang tergantung di pintu kamar.“Tolooooong!”Jeritan Ara semakin membahana. Kubuka dan kudorong daun pintu kamar.“Ara! Ada apa?” Mama ikut berteriak. Berbarengan dengannya, kami berlari menuju kamar tamu, kamar yang Mas Haga dan Ara tempati selama ini.“Mas Haga, Ma! Lihat dia, Ma!” Ara menjerit histeris sambil menunjuk ke lantai kamar.Mas Haga tergeletak di lantai kamar. Cairan seperti muntahan menggenang di lantai, di sekitar kepalanya. Mulutnya mengeluarkan buih dan sisa muntahan. Sebuah botol tergenggam di tangan kanan. Botol bekas obat tidur. Beberapa butir tampak berhamburan di lantai, di sekitar tubuhnya.“Astaga! Haga! Haga …! Kenapa dia, Ara?” Ada apa dengan Haga?” Mama histeris.“Saya gak tahu, Ma. Saya juga baru pulang. Setelah Mas Bara membanting hape saya tadi, saya ke luar, menemui Mbak Bella. Minta ganti
****“Iya, kami keluarganya.” Mas Bara menghampiri, wajahnya semakin tegang, seperti halnya kami semua. Aku dan Mama bangkit, mendekati sang Dokter.“Bagaimana anak saya, Dok?” tanya Mama tak sabaran.“Mohon maaf, Bu, Pak. Korban overdosis obat tidur. Sepertinya kejadiaannya sudah beberapa jam yang lalu, kami tak bisa lagi mengeluarkan racun dari tubuh korban. Sudah menyerang jantung dan aliran darah. Korban tak bisa diselamatkan lagi, kami mohon maaf!”“Haga …! Haga …!” Mama histeris, ambruk dan kemudian pingsan.Untung Mas Bara menangkap tubuh Ibunya. Dokter segera memanggil perawat, memerintahkan agar tubuh mama di bawa ke dalam ruangan. Mas Bara mengendong tubuh Mama ke dalam, lalu keluar lagi menemuiku.Sementara Ara menjerit menerobos masuk ke dalam ruangan, dia ditemani oleh Bella. Aku hanya mematung. Tak tahu harus berbuat apa.Mas Bara memukul dinding rumah sakit itu berulang kali dengan tangan yang mengepal untuk melampiaskan perasaan kalutnya. Tak hanya
*****Hari ini tahlilan hari ke tujuh untuk Mas Haga. Kelompok pengajian Papa mertua, jiran tetangga dan juga seluruh keluarga Wijaya hadir di rumah ini. Dan yang agak istimewa bagiku adalah kehadiran kelurga Ara. Sebenarnya mereka hadir sejak hari pemakaman, pulang lagi setelah bubar acara tahlilan. Hingga hari ke enam selalu begitu. Tetapi, tidak untuk hari ke tujuh ini.Papa dan mamanya masih bertahan, pada hal semua tamu undangan, bahkan keluarga besar sudah bubar. Tetapi, kenapa aku merasa aneh mereka tidak ikut bubar, coba? Toh, Bapak dan Ibu juga tidak pulang? Orang tuaku juga masih bertahan. Bukankah sama saja? Kalau orang tua Ara, jelas alasannya, Mas Haga adalah menantunya.Sedang orang tuaku, bukan lagi. Mas Haga hanyalah mantan menantu. Namun, mereka tetap bertahan, karena memang ingin membicarakan tentang aku. Tentang keinginanku meninggalkan rumah ini, meski rumah ini sudah dibuat atas namaku. Semoga tidak terlalu dini untuk membicarakan ini.“Terima kasih at
****“Maaf, Mbak. Kami baru saja berkabung. Tidak pantas rasanya membicarakan pernikahan sekarang. Apalagi masalah naik ranjang sepeti yang kalian inginkan.” Mama telihat gusar.“Ya, tidak sekarang, Mbak. Nantilah. Kalau udah minimal empat puluh harinya Haga. Sekarang kita masih berkabung semua, bukan hanya keluarga Mbak, lho. Kami juga merasa sangat kehilangan menantu.”“Baiklah, tidak usah membicarakan itu lagi! Kalau memang Ara mau tinggal di sini, silahkan.” Papa mertuaku memutuskan.Semua terdiam. Mas Bara berangsur tenang, meski wajahnya masih merah padam. Wajah Ara tampak terang. Apa isi kepalanya itu, coba. Dia selama ini sangat kompak dengan Bella untuk menyingkirkan aku. Sekarang dia tega mau bersaing dengan Bella. Berebut ranjang! Dasar perempuan gila!“Kalau begitu, mungkin kami sudah bisa membicarakan mengenai Indri, Pak Wijaya?” Bapak akhirnya memulai pembicaraan tentang aku. Aku berdebar.“Tentang Indri?” Ada apa dengan Indri, Pak Wahyu?” Kedua mertuaku terpera
*****“Berarti malam ini Papa dan Mama nginap di sini?” Ara bergelayut manja di bahu Papanya.“Iya, Sayang. Sekalian mau memastikan, kamu besok ikut ke rumah mertua kamu!” jawab Papanya seraya mengelus kepala putrinya.“Sekalian kita ikut mengantar, iya, kan, Pa?” Mama Ara terlihat begitu semringah.“Ya, Papa dan Mama akan ikut mengantar.” Papanya menimpali.Mereka tersenyum bahagia.“Sudah malam, silahkan istirahat semua!” Papa mertuaku bangkit, lalu berjalan menuju kamarnya.“Ara, atur kamar untuk orang tua kamu, ya! Indri juga, ya, Sayang!” Mama mertua menitahkan.Mas Bara memapah ibunya bangun, lalu mengantarnya ke kamar.“Yuk, Pa, Ma! Tidur di kamar Ara saja! Udah gak ada kamar kosong, masalahnya! Kita tidur di kamar tamu! Kamar yang biasa Ara tempati bersama Mas Haga.” Ara mengajak orang tuanya.“Boleh, Papa dan Mama di mana juga boleh. Lagi pula ini bukan rumah kamu, kan? Kamu hanya numpang di sini. Wajarlah tidur di kamar tamu,” sindir mamanya melirikku sinis.“Gak
*****“Kenapa dia tidak bertanya? Bukankah bisa kita jelaskan kalau dia mempermasalahkan?”“Dia bertanya, Mas. Dia mempermasalahkan itu waktu itu.”“Begitukah? Kapan?”“Setelah Mas Bara kembali ke kantor, dia mencegatku di sini, saat aku hendak masuk kamar.”“Oh, ya? Jadi sebelum kematiannya, kalian masih sempat bicara?”“Iya.”“Apa katanya?”“Ungkapan rasa cemburunya.”“Kau yakin itu kalimat cemburu? Bukankah dia tak pernah mencintaimu? Kenapa kau yakin dia cemburu saat aku menyentuhmu? Kau lupa, Indri. Haga tak pernah mencintaimu. Dia mentalak kamu saat usia pernikahan kalian belum sebulan. Dia bahkan tega menikah lagi denagn Ara, yang waktu itu berstatus istri orang. Dia hanya mencintai Ara, bukan kamu!”“Itu dulu, Mas. Saat dia belum tahu ada benihnya di rahimku. Tetapi setelah dia tahu, aku merasa kalau perasaannya berubah padaku. Bahkan antara dia dan bayiku, ada ikatan batin yang begitu erat.”“Begitu perasaanmu?”“Ya, begitu. Dan aku tak ragu itu. Mas Haga nekat meminum
*****“Sebentar, Mas!” panggilku menghentikan langkahnya.Pemuda itu berbalik.“Kenapa?” tanyanya menungguku.“Sebenarnya aku tak peduli, apapun yang akan kamu lakukan. Tetapi, aku hanya ingin megingatkan. Jangan sampai kamu salah dalam mengartikan semua ucapanku tadi. Jangan sampai kamu membenci Mas Haga. Makamnya belum juga kering, bukan?” “Aku tak membenci siapa pun! Tidurlah! Ini udah hampir tengah malam!” Pemuda itu berbalik lagi, melanjutkan langkah menuju kamarnya.Aku menghela napas panjang, lalu berjalan menuju kamarku sendiri. Tetapi, baru saja daun pintu kamar kudorong untuk menutup, Ara tiba-tiba muncul dan menahannya.“Tunggu!” perintahnya kasar sambil mendorong pintuTerpaksa aku mengalah, aku khawatir daun pintu akan menimpa tubuhku bila bertahan.“Ara? Ada apa?”“Kamu ganjen, ya? Ngapaian kamu manggil-manggil, Mas Bara?”“Aku gak mangggil. Dia yang menemuiku!”“Eh, aku liat dan dengar sendiri, kamu yang memanggil Mas Bara.”“Baik, terserah! Udah? Aku mau tidur!”“