*****Hari ini tahlilan hari ke tujuh untuk Mas Haga. Kelompok pengajian Papa mertua, jiran tetangga dan juga seluruh keluarga Wijaya hadir di rumah ini. Dan yang agak istimewa bagiku adalah kehadiran kelurga Ara. Sebenarnya mereka hadir sejak hari pemakaman, pulang lagi setelah bubar acara tahlilan. Hingga hari ke enam selalu begitu. Tetapi, tidak untuk hari ke tujuh ini.Papa dan mamanya masih bertahan, pada hal semua tamu undangan, bahkan keluarga besar sudah bubar. Tetapi, kenapa aku merasa aneh mereka tidak ikut bubar, coba? Toh, Bapak dan Ibu juga tidak pulang? Orang tuaku juga masih bertahan. Bukankah sama saja? Kalau orang tua Ara, jelas alasannya, Mas Haga adalah menantunya.Sedang orang tuaku, bukan lagi. Mas Haga hanyalah mantan menantu. Namun, mereka tetap bertahan, karena memang ingin membicarakan tentang aku. Tentang keinginanku meninggalkan rumah ini, meski rumah ini sudah dibuat atas namaku. Semoga tidak terlalu dini untuk membicarakan ini.“Terima kasih at
****“Maaf, Mbak. Kami baru saja berkabung. Tidak pantas rasanya membicarakan pernikahan sekarang. Apalagi masalah naik ranjang sepeti yang kalian inginkan.” Mama telihat gusar.“Ya, tidak sekarang, Mbak. Nantilah. Kalau udah minimal empat puluh harinya Haga. Sekarang kita masih berkabung semua, bukan hanya keluarga Mbak, lho. Kami juga merasa sangat kehilangan menantu.”“Baiklah, tidak usah membicarakan itu lagi! Kalau memang Ara mau tinggal di sini, silahkan.” Papa mertuaku memutuskan.Semua terdiam. Mas Bara berangsur tenang, meski wajahnya masih merah padam. Wajah Ara tampak terang. Apa isi kepalanya itu, coba. Dia selama ini sangat kompak dengan Bella untuk menyingkirkan aku. Sekarang dia tega mau bersaing dengan Bella. Berebut ranjang! Dasar perempuan gila!“Kalau begitu, mungkin kami sudah bisa membicarakan mengenai Indri, Pak Wijaya?” Bapak akhirnya memulai pembicaraan tentang aku. Aku berdebar.“Tentang Indri?” Ada apa dengan Indri, Pak Wahyu?” Kedua mertuaku terpera
*****“Berarti malam ini Papa dan Mama nginap di sini?” Ara bergelayut manja di bahu Papanya.“Iya, Sayang. Sekalian mau memastikan, kamu besok ikut ke rumah mertua kamu!” jawab Papanya seraya mengelus kepala putrinya.“Sekalian kita ikut mengantar, iya, kan, Pa?” Mama Ara terlihat begitu semringah.“Ya, Papa dan Mama akan ikut mengantar.” Papanya menimpali.Mereka tersenyum bahagia.“Sudah malam, silahkan istirahat semua!” Papa mertuaku bangkit, lalu berjalan menuju kamarnya.“Ara, atur kamar untuk orang tua kamu, ya! Indri juga, ya, Sayang!” Mama mertua menitahkan.Mas Bara memapah ibunya bangun, lalu mengantarnya ke kamar.“Yuk, Pa, Ma! Tidur di kamar Ara saja! Udah gak ada kamar kosong, masalahnya! Kita tidur di kamar tamu! Kamar yang biasa Ara tempati bersama Mas Haga.” Ara mengajak orang tuanya.“Boleh, Papa dan Mama di mana juga boleh. Lagi pula ini bukan rumah kamu, kan? Kamu hanya numpang di sini. Wajarlah tidur di kamar tamu,” sindir mamanya melirikku sinis.“Gak
*****“Kenapa dia tidak bertanya? Bukankah bisa kita jelaskan kalau dia mempermasalahkan?”“Dia bertanya, Mas. Dia mempermasalahkan itu waktu itu.”“Begitukah? Kapan?”“Setelah Mas Bara kembali ke kantor, dia mencegatku di sini, saat aku hendak masuk kamar.”“Oh, ya? Jadi sebelum kematiannya, kalian masih sempat bicara?”“Iya.”“Apa katanya?”“Ungkapan rasa cemburunya.”“Kau yakin itu kalimat cemburu? Bukankah dia tak pernah mencintaimu? Kenapa kau yakin dia cemburu saat aku menyentuhmu? Kau lupa, Indri. Haga tak pernah mencintaimu. Dia mentalak kamu saat usia pernikahan kalian belum sebulan. Dia bahkan tega menikah lagi denagn Ara, yang waktu itu berstatus istri orang. Dia hanya mencintai Ara, bukan kamu!”“Itu dulu, Mas. Saat dia belum tahu ada benihnya di rahimku. Tetapi setelah dia tahu, aku merasa kalau perasaannya berubah padaku. Bahkan antara dia dan bayiku, ada ikatan batin yang begitu erat.”“Begitu perasaanmu?”“Ya, begitu. Dan aku tak ragu itu. Mas Haga nekat meminum
*****“Sebentar, Mas!” panggilku menghentikan langkahnya.Pemuda itu berbalik.“Kenapa?” tanyanya menungguku.“Sebenarnya aku tak peduli, apapun yang akan kamu lakukan. Tetapi, aku hanya ingin megingatkan. Jangan sampai kamu salah dalam mengartikan semua ucapanku tadi. Jangan sampai kamu membenci Mas Haga. Makamnya belum juga kering, bukan?” “Aku tak membenci siapa pun! Tidurlah! Ini udah hampir tengah malam!” Pemuda itu berbalik lagi, melanjutkan langkah menuju kamarnya.Aku menghela napas panjang, lalu berjalan menuju kamarku sendiri. Tetapi, baru saja daun pintu kamar kudorong untuk menutup, Ara tiba-tiba muncul dan menahannya.“Tunggu!” perintahnya kasar sambil mendorong pintuTerpaksa aku mengalah, aku khawatir daun pintu akan menimpa tubuhku bila bertahan.“Ara? Ada apa?”“Kamu ganjen, ya? Ngapaian kamu manggil-manggil, Mas Bara?”“Aku gak mangggil. Dia yang menemuiku!”“Eh, aku liat dan dengar sendiri, kamu yang memanggil Mas Bara.”“Baik, terserah! Udah? Aku mau tidur!”“
*****Aku baru saja pulang dari butik, saat kulihat mobil Papa dan Mas Bara sudah ada di portcar. Halaman rumahku. Ini memang sudah jam pulang kantor, tetapi harusnya mereka pulang ke rumah mereka. Kenapa mereka malah pulang ke sini lagi?Lesu aku berjalan masuk ke dalam rumah, setelah memasukkan mobilku ke dalam garasi. Mereka tengah berbincang di ruang keluarga.“Sudah pulang, Nak? Kenapa sore sekali pulangnya? Janagn diporsir pikiran dan tenaganya di butik itu, Sayang!” sapa Papa begitu melihatku.“Iya, Pa?” jawabku menyalam dan mencium punggung tangannya.“Begini, In, duduklah!” Mama menunjuk tempat persis di sampingnya. Aku menurut saja.“Bara merasa gak betah tinggal serumah dengan Ara, apalagi ada orang tuanya. Jadi, dia berniat tinggal di rumah kita yang di dekat kantor. Kecil, sih. Karena itu biasanaya di gunakan untuk tempat nginap karyawan yang kebetulan lembur. Tapi, Bara memilih tinggal di situ,” ungkap Mama kemudian.Aku terkejut. Bagaimana Mas Bara lebih memilih ti
*****“Bu Indri baru pulang?” Bik War menegurku saat melintas menuju dapur.“Iya, Bik. Kenapa?” sahutku.“Anu, tadi Ibu Nyonya menyuruh saya membersihkan kamar tamu. Kamar bekas Bu Ara dan Pak Haga.”Bik War mengikuti langkahku.“Terus?”“Gak bisa saya bersihkan, Buk.”“Kenapa?” Aku menoleh sesaat lalu mengambil panci di lemari rak piring.“Ibuk mau ngapain?” tanya heran.“Mau rebus air, buat mandi.”“Biar saya, Buk, sini!”“Gak usah! Bibik udah capek, bekerja seharian membersihkan rumah ini, apalagi sisa-sisa acara tahlilan semalam. Bibik istirahat saja!”Kuisi panci dengan air mentah dari kran wastapel. Lalu memanaskannya di atas api kompor gas.“Baiklah, saya akan nemani Ibuk saja!” Bik War duduk di kursi makan.“Terus, gimana ceritanya? Kok gak bisa membersihkan kamar bekas Ara?” tanyaku melanjutkan ceritanya tadi.“Iya, Buk. Karena kunci kamar itu gak ada.”“Lho, kok, gak ada? Kamarnya dikunci?”“Iya, Buk.”“Kuncinya masih sama Ara, dong?”“Iya, Buk.”“Kenapa Ara tak mening
****“Ya, Ma?” jawabku turun perlahan dari atas ranjang. Membuka pintu kamar untuknya.“Papa ngajak ke rumah yang di Jalan Ayahanda. Kamu mau ikut, enggak?”“Rumah yang di Jalan Ayahanda? Ngapain?”“Barusan Bik Yati nelpon, katanya dia mau ngundurin diri. Keluarga Ara membuatnya gak betah.”“Bik Yati ART Mama yang di sana?”“Iya.”“Kenapa gak betah? Apa yang dilakuin keluarga Ara, Ma?”“Bik Yati gak mau cerita, hanya tetap kekeh besok mau pulang kampung! Mama gak mau kehilanagn ART sebaik Bik Yati, In. Dia udah ikut Mama puluhan tahun. Susah cari ART sebik dia. Mama tinggal rumah itu berbulan-bulan pun dia bisa jagain dengan penuh tanggung jawab. Pokoknya, Mama gak mau kehilangan ART sebaik dia.”“Terus, apa rencana Mama?”“Ini, mau ngecek ke sana! Kamu ikut, yuk! Biar tahu juga, rumah kita yang di Ayahanda itu! Kamu belum pernah ke sana, kan?”Sebenarnya aku penasaran juga, sih. Tetapi, mengingat Ara dan keluarganya sekarang yang menempati rumah itu, aku ragu untuk ke sana.