****“Ya, Ma?” jawabku turun perlahan dari atas ranjang. Membuka pintu kamar untuknya.“Papa ngajak ke rumah yang di Jalan Ayahanda. Kamu mau ikut, enggak?”“Rumah yang di Jalan Ayahanda? Ngapain?”“Barusan Bik Yati nelpon, katanya dia mau ngundurin diri. Keluarga Ara membuatnya gak betah.”“Bik Yati ART Mama yang di sana?”“Iya.”“Kenapa gak betah? Apa yang dilakuin keluarga Ara, Ma?”“Bik Yati gak mau cerita, hanya tetap kekeh besok mau pulang kampung! Mama gak mau kehilanagn ART sebaik Bik Yati, In. Dia udah ikut Mama puluhan tahun. Susah cari ART sebik dia. Mama tinggal rumah itu berbulan-bulan pun dia bisa jagain dengan penuh tanggung jawab. Pokoknya, Mama gak mau kehilangan ART sebaik dia.”“Terus, apa rencana Mama?”“Ini, mau ngecek ke sana! Kamu ikut, yuk! Biar tahu juga, rumah kita yang di Ayahanda itu! Kamu belum pernah ke sana, kan?”Sebenarnya aku penasaran juga, sih. Tetapi, mengingat Ara dan keluarganya sekarang yang menempati rumah itu, aku ragu untuk ke sana.
****“Bibik ke belakang, gih! Buatkan minum buat tamu istimewanya!” Mama si Ara memerintah Bik Yati lagi secara kasar.“Permisi, Buk, Pak, Bu Indri, saya izin ke belakang dulu!” Bik Yati menunduk, lalu melangkah mundur, setelah itu baru berbalik menuju dapur.“Bik Yati!” panggilku cepat.Wanita itu menghentikan langkah. Orang tua Ara menatapku tak senang. Keduanya melotot tajam.“Saya bantu Bibik, ya!” ucapku mengangguk minta izin pada Papa dan Mama mertua. Mereka berdua menggangguk. Aku langsung melangkah mengikuti Bik Yati. Aku sengaja, ingin mencari keberadaan Mas Bara dengan Ara. Entah mengapa aku sangat curiga.“Hey … hey … hey! Kok, gak sopan banget kamu?” Mama Ara berteriak. Aku menoleh padanya. Lalu tersenyum penuh makna.“Kamu lupa ya, ini rumah siapa? Kok, enak bener mau nyelonong aja?” ketus Mma Ara lagi. Suaminya masih diam.“Maaf, Tante. Saya hanya ingin membantu Bik Yati. Kasihan juga, kan? Dia sendirian kerjanya. Sepertinya dia juga udah capek banget,
*****Kuikuti sesaat, sebuah film komedi sedang di putar di layar itu, filem komedi, tetapi lebih banyak adegan romantisnya. Ide siapa mereka menonton film seperti itu? Sepertinya, itu yang membuat Ara tertawa cekikan sejak tadi. Sempat aku curiga, dia kegelian karena di sentuh Mas Bara. Pikiranku jadi ngelantur tak karuan, menyisakan syak dan perasaan … entahlah di dalam dada.Kucari keberadaan mereka. Deretan kursi ditata rapi menghadap ke layar. Tetapi, aku tak menemukan Ara dan Mas Bara di sana.Berjalan berjingkat aku ke arah depan, mendekati layar. Ups, itu mereka. Ternyata mereka duduk lesehan menghadap ke layar, tepat di depan deretan kursi untuk menonton itu. Kudekati mereka, sebuah karpet mewah berwaran merah terbentang. Terasa begitu lembut saat kakiku memijaknya. Dan keduanya terlihat duduk agak rapat di sana.Mas Bara duduk dengan menyandarkan tubuh di dinding ruangan, Ara tak jauh dari sisinya. Perempuan itu duduk setengah berbaring dalam balutan gaun tidur
====Kuraih ponsel di saku gamisku. Mengusap layar, mencari perekam video, dan mulai mengarhkan ke depanku. Maaf, Ara! Tingkah memalukanmu, terpaksa aku rekam. Aku berjanji, tak akan menyebar luaskan video ini, kecuali terpaksa.“Mas … Mas Bara ….!” Suara Ara terdengar bergetar, berpaling dari layar, kini menatap lekat ke wajah Kakak Iparnya, Mas Bara. Tatapan aneh, dengan sorot mata sayu dan menghiba. Menyorotkan gairah yang menghentak, meminta dituntaskan segera.“Ara? Kamu kenapa?” tanya Mas Bara semakin bingung melihat reaksi Ara.“Kenapa kamu baik-baik saja? Kenapa aku yang jadi seperti ini? Apakah gelasnya tertukar?” tanya Ara jauh lebih bingung.“Apa maksud kamu?”“Mas, aku … aku … aku …. Maaf, Mas, aku membutuhkanmu, sekarang! Tolong aku, Mas!”Ara mulai bersikap liar. Tanpa rasa malu dia memeluk Mas Bara. Kedua tanganya mengalung di leher pria itu, tubuhnya bergerak dan menggelinjang.“Ara! Kamu kenapa?” Mas Barra tiba-tiba menghentak dengan kasar kedua tangan Ar
****“Apa kau bilang! Dasar perempuan murahan! Aku tidak ada menyentuhmu seujung kukupun!”“Gak usah membela diri, Nak Bara, ini sudah terbukti!”“Aku tidak menyentuh Ara, Tante! Justru dia yang bermaksud menjebakku dengan minuman itu!”“Jangan berkelit! Tega Nak Bara menuduh Ara serendah tu, setelah apa yang Nak Bara lakukan padannya barusan? Tadi sore Nak Bara menelpon dia, bermanis-manis kat, ingin bertemu dengan Ara. Minta waktu Ara sebentar saja. Saya saksinya saat Nak Bara menelepon Ara tadi sore. Setelah bertemu Ara, ternyata ini yang Nak Bara lakukan pada dia. Tega Nak Bara membantah kenyataan ini. Tega Nak Bara menghina dan menodai adik ipar sendiri.”“Saya memang menelpon Ara, Tante! Tapi tidak memperkosanya! Dengar! sampai kapanpun, saya tidak akan pernah menikahi Ara!” Mas Bara berteriak.“Saya sungguh tak menyangka, keluarga Wijaya yang terhormat, memiliki dua orang putra tampan dan sukses, tapi ternyata gemar bermaksiat! Si putra sulung, bahkan tega memeprkosa istr
*****“Lepaskan!” Sebuah tangan kekar melepasku dari cekikan. Spontan memeluk dan membenamkanku di dalam pelukan, memalangkan punggungnya dari serangan yang masih menerjang. Ya, Ara masih belum berhenti menyerang. Berusaha melampiaskan amarah dan dendam. Mas Bara, kenapa aku merasa nyaman sekarang, saat wajahku terbenam di sini, di dada bidangmu ini? Kenapa aku merasakan ada sesuatu yang terjadi, bergetar hangat di dalam dadaku ini? Rasa apakah ini? Begitu hangat, mencipta ketenangan yang luar biasa, di sini, di hati ini.Hilang rasa takutku akan serangan Ara, tak ada gentarku, akan ancaman yang sedang dilancarkannya. Damai, teduh, dan nyaman, hanya itu yang aku rasakan sekarang. Di sini, di pelukan hangat ini.“Sayang, kamu tidak apa-apa? Perut kamu tidak terkena pukulan Ara, bukan?” tanya Mama mertuaku panik. Dia meneliti seluruh tubuhku, terutama di bagian perut, dari balik punggung Mas Bara.“Bawa Indri keluar dari sini, Ma! Bara akan menahan Ara!” perintah putranya.“
****“Kamu selalu menghancurkan setiap impianku. Pertama, kau mengambil Mas Haga dariku meski aku berhasil membujuknya agar mencerikanmu! Kedua, Mas Haga mengajak rujuk, kau tolak, sehingga Mas Haga kehilangan kakinya, aku hidup di bawah tekanan kejam di rumahmu. Mas Haga mulai berubah padaku. Aku istrinya, tetapi segenap perhatiannya dia curahkan hanya padamu. Aku hidup dibakar api cemburu selama tinggal di rumahmu. Dan kini yang ketiga, aku hampir saja meraih Mas Bara, kau datang lagi ke rumah ini, untuk menghancurkannya. Cukup tiga kali Indri. Cukup tiga kali! Selanjutnya giliranku! Tunggu kehancuranmu! Akan kubuat kau hancur berkeping-keping termasuk bayi sialan yang ada di dalam perutmu. Anak Mas Haga itu akan segera menyusul papanya! Sedang kau, akan kusiapkan derita yang paling sempurna untukmu! Hehehehe ….”Aku menghela napas. Api dendam semakin membakar perempuan ini sepertinya. Aku harus bersiap menghadapinya. Setidaknya bisa menghentikan niatnya, tetapi bagaimana
=====“Kita pulang!” Papa akhirnya mengajak kami pulang.“Bik, Pa.” Mama menyentuh punggung tanganku. “Kita pulang, Sayang, yuk!”“Ma, rumah ini begitu besar, fasilatas lengkap dan mewah. Maaf, kenapa Mama tidak memilih tinggal di sini saja, sih?” tanyaku lembut. Khawatir menyinggung perasaanya, karena tetaap kekeh tinggal bersamaku.“Kan sudah kita bahas, Sayang! Mama gak mau jauh dari kamu. Sedang kamu gak mau tinggal di sini, ya, sudah, Mama yang ikut dengan kamu.”“Baiklah, yuk kita pulang, udah malam banget ini,” ajakku sambil bangkit.“Bara, kamu tinggal di sini saja! Jaga rumah ini! Toh, Ara tidak tinggal di sini lagi!” titah Papa kepada Mas Bara.“Iya, Pa. Kalian bisa pulang sendiri, atau diantar supir?”“Kami sendiri saja. Gak usah ngeropin pekerja malam-malam begini!”“Baik, Pa. Hati-hati!”***Malam telah begitu larut, saat kami tiba di rumahku. Papa dan Mama mertuaku langsung masuk ke dalam kamar mereka. Kasihan, sepertinya mereka kelelahan, ditambah dengan masalah yang