*****Kuikuti sesaat, sebuah film komedi sedang di putar di layar itu, filem komedi, tetapi lebih banyak adegan romantisnya. Ide siapa mereka menonton film seperti itu? Sepertinya, itu yang membuat Ara tertawa cekikan sejak tadi. Sempat aku curiga, dia kegelian karena di sentuh Mas Bara. Pikiranku jadi ngelantur tak karuan, menyisakan syak dan perasaan … entahlah di dalam dada.Kucari keberadaan mereka. Deretan kursi ditata rapi menghadap ke layar. Tetapi, aku tak menemukan Ara dan Mas Bara di sana.Berjalan berjingkat aku ke arah depan, mendekati layar. Ups, itu mereka. Ternyata mereka duduk lesehan menghadap ke layar, tepat di depan deretan kursi untuk menonton itu. Kudekati mereka, sebuah karpet mewah berwaran merah terbentang. Terasa begitu lembut saat kakiku memijaknya. Dan keduanya terlihat duduk agak rapat di sana.Mas Bara duduk dengan menyandarkan tubuh di dinding ruangan, Ara tak jauh dari sisinya. Perempuan itu duduk setengah berbaring dalam balutan gaun tidur
====Kuraih ponsel di saku gamisku. Mengusap layar, mencari perekam video, dan mulai mengarhkan ke depanku. Maaf, Ara! Tingkah memalukanmu, terpaksa aku rekam. Aku berjanji, tak akan menyebar luaskan video ini, kecuali terpaksa.“Mas … Mas Bara ….!” Suara Ara terdengar bergetar, berpaling dari layar, kini menatap lekat ke wajah Kakak Iparnya, Mas Bara. Tatapan aneh, dengan sorot mata sayu dan menghiba. Menyorotkan gairah yang menghentak, meminta dituntaskan segera.“Ara? Kamu kenapa?” tanya Mas Bara semakin bingung melihat reaksi Ara.“Kenapa kamu baik-baik saja? Kenapa aku yang jadi seperti ini? Apakah gelasnya tertukar?” tanya Ara jauh lebih bingung.“Apa maksud kamu?”“Mas, aku … aku … aku …. Maaf, Mas, aku membutuhkanmu, sekarang! Tolong aku, Mas!”Ara mulai bersikap liar. Tanpa rasa malu dia memeluk Mas Bara. Kedua tanganya mengalung di leher pria itu, tubuhnya bergerak dan menggelinjang.“Ara! Kamu kenapa?” Mas Barra tiba-tiba menghentak dengan kasar kedua tangan Ar
****“Apa kau bilang! Dasar perempuan murahan! Aku tidak ada menyentuhmu seujung kukupun!”“Gak usah membela diri, Nak Bara, ini sudah terbukti!”“Aku tidak menyentuh Ara, Tante! Justru dia yang bermaksud menjebakku dengan minuman itu!”“Jangan berkelit! Tega Nak Bara menuduh Ara serendah tu, setelah apa yang Nak Bara lakukan padannya barusan? Tadi sore Nak Bara menelpon dia, bermanis-manis kat, ingin bertemu dengan Ara. Minta waktu Ara sebentar saja. Saya saksinya saat Nak Bara menelepon Ara tadi sore. Setelah bertemu Ara, ternyata ini yang Nak Bara lakukan pada dia. Tega Nak Bara membantah kenyataan ini. Tega Nak Bara menghina dan menodai adik ipar sendiri.”“Saya memang menelpon Ara, Tante! Tapi tidak memperkosanya! Dengar! sampai kapanpun, saya tidak akan pernah menikahi Ara!” Mas Bara berteriak.“Saya sungguh tak menyangka, keluarga Wijaya yang terhormat, memiliki dua orang putra tampan dan sukses, tapi ternyata gemar bermaksiat! Si putra sulung, bahkan tega memeprkosa istr
*****“Lepaskan!” Sebuah tangan kekar melepasku dari cekikan. Spontan memeluk dan membenamkanku di dalam pelukan, memalangkan punggungnya dari serangan yang masih menerjang. Ya, Ara masih belum berhenti menyerang. Berusaha melampiaskan amarah dan dendam. Mas Bara, kenapa aku merasa nyaman sekarang, saat wajahku terbenam di sini, di dada bidangmu ini? Kenapa aku merasakan ada sesuatu yang terjadi, bergetar hangat di dalam dadaku ini? Rasa apakah ini? Begitu hangat, mencipta ketenangan yang luar biasa, di sini, di hati ini.Hilang rasa takutku akan serangan Ara, tak ada gentarku, akan ancaman yang sedang dilancarkannya. Damai, teduh, dan nyaman, hanya itu yang aku rasakan sekarang. Di sini, di pelukan hangat ini.“Sayang, kamu tidak apa-apa? Perut kamu tidak terkena pukulan Ara, bukan?” tanya Mama mertuaku panik. Dia meneliti seluruh tubuhku, terutama di bagian perut, dari balik punggung Mas Bara.“Bawa Indri keluar dari sini, Ma! Bara akan menahan Ara!” perintah putranya.“
****“Kamu selalu menghancurkan setiap impianku. Pertama, kau mengambil Mas Haga dariku meski aku berhasil membujuknya agar mencerikanmu! Kedua, Mas Haga mengajak rujuk, kau tolak, sehingga Mas Haga kehilangan kakinya, aku hidup di bawah tekanan kejam di rumahmu. Mas Haga mulai berubah padaku. Aku istrinya, tetapi segenap perhatiannya dia curahkan hanya padamu. Aku hidup dibakar api cemburu selama tinggal di rumahmu. Dan kini yang ketiga, aku hampir saja meraih Mas Bara, kau datang lagi ke rumah ini, untuk menghancurkannya. Cukup tiga kali Indri. Cukup tiga kali! Selanjutnya giliranku! Tunggu kehancuranmu! Akan kubuat kau hancur berkeping-keping termasuk bayi sialan yang ada di dalam perutmu. Anak Mas Haga itu akan segera menyusul papanya! Sedang kau, akan kusiapkan derita yang paling sempurna untukmu! Hehehehe ….”Aku menghela napas. Api dendam semakin membakar perempuan ini sepertinya. Aku harus bersiap menghadapinya. Setidaknya bisa menghentikan niatnya, tetapi bagaimana
=====“Kita pulang!” Papa akhirnya mengajak kami pulang.“Bik, Pa.” Mama menyentuh punggung tanganku. “Kita pulang, Sayang, yuk!”“Ma, rumah ini begitu besar, fasilatas lengkap dan mewah. Maaf, kenapa Mama tidak memilih tinggal di sini saja, sih?” tanyaku lembut. Khawatir menyinggung perasaanya, karena tetaap kekeh tinggal bersamaku.“Kan sudah kita bahas, Sayang! Mama gak mau jauh dari kamu. Sedang kamu gak mau tinggal di sini, ya, sudah, Mama yang ikut dengan kamu.”“Baiklah, yuk kita pulang, udah malam banget ini,” ajakku sambil bangkit.“Bara, kamu tinggal di sini saja! Jaga rumah ini! Toh, Ara tidak tinggal di sini lagi!” titah Papa kepada Mas Bara.“Iya, Pa. Kalian bisa pulang sendiri, atau diantar supir?”“Kami sendiri saja. Gak usah ngeropin pekerja malam-malam begini!”“Baik, Pa. Hati-hati!”***Malam telah begitu larut, saat kami tiba di rumahku. Papa dan Mama mertuaku langsung masuk ke dalam kamar mereka. Kasihan, sepertinya mereka kelelahan, ditambah dengan masalah yang
****“Hati-hati di jalan, ya, Nak!” Mama mengantarku sampai ke teras.“Iya, Ma. Terima kasih, saya berangkat ya!” Baru saja mobil kulajukan, belum juga keluar dari gerbang, tetapi sebuah mobil lain terlihat memasuki gerbang. Mobil Mas Bara. Mau apa dia pagi-pagi begini datang berkunjung. Menanyakan isi ponsel Mas Hagakah? Padahal aku sudah bilang nanti saja aku jelasin di depan pengacara. Dan waktunya adalah lusa. Tin! Tin!Klakson mobilnya memberi isyarat padaku, agar jangan dulu pergi. Terpaksa aku menunggu.“Mau ke mana?” tanyanya setelah dia keluar dari mobilnya dan menghampiriku.“Mau ke butik. Ada apa ke sini?” tanyaku menurunkan kaca jendela mobil.“Mau nemui kamu.”“Ada apa? Bukannya Mas Bara harus ke kantor? Papa sudah berangkat dari tadi, lho!””Ya, aku sudah bertemu Papa di kantor, lalu aku izin menemui kamu. Hari ini, Papa yang menghandle semua urusan kantor.”“Begitu?”“Ya. Kamu ada waktu?”“Sebenarnya ada apa Mas Bara nemui aku?”“Mau ngajak kamu menemui anggotan
====Mas Bara mengetuk pintu ruangan pelan, sekedar untuk menunjukkan kesopanan. Seorang wanita muda yang sedang menekuni layar laptop, langsung mengalihkan pandangan, menatap kami sambil tersenyum ramah.“Silahkan masuk, Bapak, Ibu? Ada yang bisa kami batu?” ucapnya seraya berdiri.“Kami udah janji dengan Om Hendrik, kata beliau silahkan temui anggotanya di kantor ini, boleh kami bertemu beliau?” Mas Bara menarikku untuk masuk.“Oh, Pak Bara? Tadi Pak Hendrik memang ada nelpon, Bapak dari Perusahaan Tambang Wijaya?”“Iya, benar.”“Kalau begitu mari saya antar, beliau sudah menunggu kedatangan Bapak.”“Baik, terima kasih.”Kami mengikuti perempuan muda bertubuh ramping itu menuju ruang utama. Dia mengetuk pintu perlahan.“Permisi, Pak. Pak Bara dari Perusahaan tambang Wijaya, sudah datang!”“Suruh masuk aja, Fit!”Terdengar jawaban dari dalam.Aku semakin bedebar, suaranya masih belum jelas, karena itu kalimat seruan. Semoga dia bukan Mas Bayu.“Silahkan masuk saja, Pak! Mari!”