=====“Kita pulang!” Papa akhirnya mengajak kami pulang.“Bik, Pa.” Mama menyentuh punggung tanganku. “Kita pulang, Sayang, yuk!”“Ma, rumah ini begitu besar, fasilatas lengkap dan mewah. Maaf, kenapa Mama tidak memilih tinggal di sini saja, sih?” tanyaku lembut. Khawatir menyinggung perasaanya, karena tetaap kekeh tinggal bersamaku.“Kan sudah kita bahas, Sayang! Mama gak mau jauh dari kamu. Sedang kamu gak mau tinggal di sini, ya, sudah, Mama yang ikut dengan kamu.”“Baiklah, yuk kita pulang, udah malam banget ini,” ajakku sambil bangkit.“Bara, kamu tinggal di sini saja! Jaga rumah ini! Toh, Ara tidak tinggal di sini lagi!” titah Papa kepada Mas Bara.“Iya, Pa. Kalian bisa pulang sendiri, atau diantar supir?”“Kami sendiri saja. Gak usah ngeropin pekerja malam-malam begini!”“Baik, Pa. Hati-hati!”***Malam telah begitu larut, saat kami tiba di rumahku. Papa dan Mama mertuaku langsung masuk ke dalam kamar mereka. Kasihan, sepertinya mereka kelelahan, ditambah dengan masalah yang
****“Hati-hati di jalan, ya, Nak!” Mama mengantarku sampai ke teras.“Iya, Ma. Terima kasih, saya berangkat ya!” Baru saja mobil kulajukan, belum juga keluar dari gerbang, tetapi sebuah mobil lain terlihat memasuki gerbang. Mobil Mas Bara. Mau apa dia pagi-pagi begini datang berkunjung. Menanyakan isi ponsel Mas Hagakah? Padahal aku sudah bilang nanti saja aku jelasin di depan pengacara. Dan waktunya adalah lusa. Tin! Tin!Klakson mobilnya memberi isyarat padaku, agar jangan dulu pergi. Terpaksa aku menunggu.“Mau ke mana?” tanyanya setelah dia keluar dari mobilnya dan menghampiriku.“Mau ke butik. Ada apa ke sini?” tanyaku menurunkan kaca jendela mobil.“Mau nemui kamu.”“Ada apa? Bukannya Mas Bara harus ke kantor? Papa sudah berangkat dari tadi, lho!””Ya, aku sudah bertemu Papa di kantor, lalu aku izin menemui kamu. Hari ini, Papa yang menghandle semua urusan kantor.”“Begitu?”“Ya. Kamu ada waktu?”“Sebenarnya ada apa Mas Bara nemui aku?”“Mau ngajak kamu menemui anggotan
====Mas Bara mengetuk pintu ruangan pelan, sekedar untuk menunjukkan kesopanan. Seorang wanita muda yang sedang menekuni layar laptop, langsung mengalihkan pandangan, menatap kami sambil tersenyum ramah.“Silahkan masuk, Bapak, Ibu? Ada yang bisa kami batu?” ucapnya seraya berdiri.“Kami udah janji dengan Om Hendrik, kata beliau silahkan temui anggotanya di kantor ini, boleh kami bertemu beliau?” Mas Bara menarikku untuk masuk.“Oh, Pak Bara? Tadi Pak Hendrik memang ada nelpon, Bapak dari Perusahaan Tambang Wijaya?”“Iya, benar.”“Kalau begitu mari saya antar, beliau sudah menunggu kedatangan Bapak.”“Baik, terima kasih.”Kami mengikuti perempuan muda bertubuh ramping itu menuju ruang utama. Dia mengetuk pintu perlahan.“Permisi, Pak. Pak Bara dari Perusahaan tambang Wijaya, sudah datang!”“Suruh masuk aja, Fit!”Terdengar jawaban dari dalam.Aku semakin bedebar, suaranya masih belum jelas, karena itu kalimat seruan. Semoga dia bukan Mas Bayu.“Silahkan masuk saja, Pak! Mari!”
POV Bella=====“Aku mau ketemu, dong, Mbak Bel!” Ara menghubungiku lewat telepon pagi ini.“Boleh, aku di rumah, datanglah!” jawabku menyetujui.“Ok, lima belas menit, aku sudah sampai,” ucapnya mengakhiri percakapan.Entah mau apa dia menemuiku. Setelah meninggal suaminya, kami tak pernah lagi bertemu. Sesekali aku masih menghubungi via pesan Whatsapp. Namun, jarang dia balas. Kukira dia masih berduka. Selanjutnya aku diam saja. Kubiarkan dia menyendiri dahulu. Tak ingin mengganggu keluarga Wijaya.Lima belas menit, Ara benar-benar telah tiba. Nanar kutatap wajahnya yang berubah total. Tak ada riasan tebal seperti biasanya. Matanya bengkak seperti orang habis menangis tiada jeda. Pakaiannya juga lusuh, terlihat kumal dan asal.“Kamu kenapa?” tanyaku menyambutnya. Kupeluk dan kubiarkan dia meletakkan kepalanya di bahuku. Dia mulai sesegukan di sana.“Mbak Bel …,” lirihnya memanggil namaku.“Iya, kenapa? Ada apa? Masih sedih dengan meninggalnya Mas Haga?”“Bukan hanya itu,” i
=====Pembicaraan antara aku dan Mas Bayu baru belum selesai, ketika Mas Bara tiba-tiba kembali datang. Aku melihat wajahnya mengetat. Matanya bahkan memerah saat menatapku dan Mas Bayu.“Mas Bara!” panggilku menyebut namanya.“Aku sudah menduga, pasti kamu di sini. Kenapa kamu balik lagi kesini” tanyanya dengan nada kasar.“Aku di –““Aku sudah bilang, tunggu Om Hendrik saja! Kamu dengar tidak, sih, tadi?” selanya langsung memotong ucapanku.“Iya, aku dengar, tapi Papa menelponku, meminta agar aku membicarakan segala sesuatunya dengan Mas Bayu sekarang juga.”“Oh, begitu? Jadi kamu sudah mendapat izin dari papaku untuk berduaan dengan lelaki ini?”“Mas! Kamu kenapa, sih?”“Pulang!” serganya kasar.Kembali tangannya mencengkram pergelangan tanganku, lalu menarikku dengan paksa keluar dari ruangan itu. Hampir saja aku menabrak pintu meja sang sekretaris di luar ruangan, karena berjalan dengan terburu-buru mangikuti langkah lelaki yang tiba-tiba arogan itu.“Hentikan Bara!”Mas
=====“Dia tidak apa-apa. Hanya kaget saja sepertinya.”Suara itu awalnya terdengar samar. Sepertinya sangat jauh. Kurasakan kepala sedikit pusing. Tubuhku juga seperti tak bertenanga. Ada perih di pergelangan tangan kiriku. Tetesan dingin terasa mengalir lambat di urat nadi.“Jadi, bayinya tidak apa-apa, kan, Dok?”“Alhamdulillah, sehat. Tidak apa-apa. Hanya ibunya saja yang sedikit trauma, sepertinya. Tak ada yang perlu dikhawatirkan. Tenang saja, ya!”“Terima kasih, Dokter.”Kini kuingat apa yang telah menimpaku. Ara, wanita itu telah memukuli perutku. Aku kaget, tak sempat melakukan perlawanan, tiba-tiba ambruk kehilangan tenaga. Seseorang menangkapku, lalu membawaku menuju mobil. Saat mobil mulai melaji, aku kehilangan kesadaran.Jadi, kesinilah aku dibawanya. Rumah sakit. Aroma khas karbol dan obat-obatan terasa sangat pekat.“Saya tinggal, ya, Pak Bara! Sebentar lagi Bu Indri pasti sudah sadar! Gak apa-apa itu! Gak perlu di rawat di sini juga. Begitu cairan infus
======Kami harus menunggu hingga habis, cairan infus yang di dalam botol tergantung itu. Masuk setetes demi setetes ke dalam tubuhku, melalui selang yang dipasangi jarum lalu di masukkan ke dalam urat nadiku. Dengan kecepatan dan volume setiap tetes yang stabil. Setelah cairan itu habis, baru dokter mengizinkan aku pulang, tak perlu di rawat inap. “Indri, kamu baik-baik saja?” Mas Arga menghampiriku dengan wajah yang terlihat masih panik. Bella bergeming di tempat semula, di dekat pintu masuk.“Mas, aku baik-baik saja, terima kasih sudah datang!” lirihku tak lupa mengulas senyum untuk meyakinkannya. Kusalam dan kucium punggung tangannya.“Perutmu, bagaimana?”“Baik, Mas! Gak apa-apa.”“Syukurlah. Tapi, si Ara –Ara itu harus mempertanggungjawabkan perbuatannya. Agar tak kebiasaan, besok diulangnya lagi!”“Iya, Mas. Security langsung membawanya ke kantor polisi tadi,” sahutku.Mas Arga menyalami kedua mertuaku, juga Mas Bara. Kemudian menatap Bella.Tatapanku juga kini tertuju
POV Ara=====Sudah empat hari aku mendekam di dalam sel kantor polisi ini. Empat hari sudah aku mengalami sakitnya hidup di balik jeruji besi. Tidur hanya beralaskan tikar tipis, makan tak bisa, sepi teramat mencekik. Belum lagi kepastian masa hukuman yang sangat menakutkan.Semua ini karena Indri. Ya, Indri. Perempuan itu telah berhasil membuatku tercampak di tempat terkutuk ini.“Keluar!”Seorang petugas membukakan pintu jeruji untukku. Entah mau apa dia memerintahkan aku keluar. Semoga Papa sudah berhasil mengeluarkan aku dari sini. Atau setidaknya menangguhkan masa tahananku.Petugas sangar itu menggiringku ke ruang khusus bertamu. Kuharap Mama dan Papa yang datang. Aku kangen sama Mama. Aku ingin menangis sejadinya nanti di pelukannya. Aku ingin mengadu padanya.Tetapi, yang kulihat datang bukan Mama. Kecewa membuncah di dada. Ke mana Mama? Kenapa dia tak mau menginjungiku di sini? Ini sudah hari ke empat. Kenapa dia tega tak melihatku sekalipun?Papa hanya data