======Kami harus menunggu hingga habis, cairan infus yang di dalam botol tergantung itu. Masuk setetes demi setetes ke dalam tubuhku, melalui selang yang dipasangi jarum lalu di masukkan ke dalam urat nadiku. Dengan kecepatan dan volume setiap tetes yang stabil. Setelah cairan itu habis, baru dokter mengizinkan aku pulang, tak perlu di rawat inap. “Indri, kamu baik-baik saja?” Mas Arga menghampiriku dengan wajah yang terlihat masih panik. Bella bergeming di tempat semula, di dekat pintu masuk.“Mas, aku baik-baik saja, terima kasih sudah datang!” lirihku tak lupa mengulas senyum untuk meyakinkannya. Kusalam dan kucium punggung tangannya.“Perutmu, bagaimana?”“Baik, Mas! Gak apa-apa.”“Syukurlah. Tapi, si Ara –Ara itu harus mempertanggungjawabkan perbuatannya. Agar tak kebiasaan, besok diulangnya lagi!”“Iya, Mas. Security langsung membawanya ke kantor polisi tadi,” sahutku.Mas Arga menyalami kedua mertuaku, juga Mas Bara. Kemudian menatap Bella.Tatapanku juga kini tertuju
POV Ara=====Sudah empat hari aku mendekam di dalam sel kantor polisi ini. Empat hari sudah aku mengalami sakitnya hidup di balik jeruji besi. Tidur hanya beralaskan tikar tipis, makan tak bisa, sepi teramat mencekik. Belum lagi kepastian masa hukuman yang sangat menakutkan.Semua ini karena Indri. Ya, Indri. Perempuan itu telah berhasil membuatku tercampak di tempat terkutuk ini.“Keluar!”Seorang petugas membukakan pintu jeruji untukku. Entah mau apa dia memerintahkan aku keluar. Semoga Papa sudah berhasil mengeluarkan aku dari sini. Atau setidaknya menangguhkan masa tahananku.Petugas sangar itu menggiringku ke ruang khusus bertamu. Kuharap Mama dan Papa yang datang. Aku kangen sama Mama. Aku ingin menangis sejadinya nanti di pelukannya. Aku ingin mengadu padanya.Tetapi, yang kulihat datang bukan Mama. Kecewa membuncah di dada. Ke mana Mama? Kenapa dia tak mau menginjungiku di sini? Ini sudah hari ke empat. Kenapa dia tega tak melihatku sekalipun?Papa hanya data
======Tiba-tiba sebuah tangan membekapku, sesuatu ditempelkan di mulutku. Aku berusaha menjerti sekuatnya, namun, suaraku tak terdengar. Lakban menempel erat di sana. Mama Ara, entah sejak kapan wanita setengah gila ini berada ke dalam mobilku.“Geser! Biar aku yang nyetir!” perintahnya menggeser paksa tubuhku.Dengan gerakan cepat kuputar kunci mobil ke arah kiri. Seketika mesin mobil yang tadi telah menyala mati. Kucabut dan kulemparkan ke jok belakang.“Apa yang kamu lakukan? Berengsek kamu ya!”Tangannya melayang menampar pipiku. “Sini! Tanganmu minta diikat rupanya!” teriaknya mencengkram kedua tanganku.Aku berusaha melawan. Kondisi perutku membuat gerakanku terbatas. Kaki tak bebas bergerak. Dia berusaha menguasai kedua tanganku, aku meronta sejadinya meski tanpa suara.Sebuah mobil hendak memarkir di samping mobilku. Harapan terbit di hati saat mengetahui itu adalah mobil Bella. Sepertinya dia sengaja memarkir di samping mobilku. Pasti dia mengira aku masih di
=====“Bella! Apa yang akan kuterima, jika Mas Bara juga diam saja! Dia enggak pernah bilang apa-apa! Sepertinya kamu terlalu jauh mikirnya, deh!” sergahku. Kali ini dengan nada sedikit keras. Sedikitpun tak menyadari, kalau Mas Bara menyimak obrolan kami.“Masudnya, apa, ya?” Pemuda itu menyela, seraya membukakan pintu mobilnya untukku.Aku dan Bella terperangah. Kurasakan wajahku menghangat. Pasti pipi ini memerah menahan rasa malu yang tak terperi. Bagaimana bisa aku keceplosan berbicara seperti ini? Kuremas jemari Bella yang masih menggenggam tanganku.“Tenang! Gak apa-apa, Pasti Mas Bara tak begitu jelas mendengar ucapanmu!” bisik gadis itu membesarkan hatiku.“Aku malu, Bel,” lirihku. Kucoba menetralkan hati yang gelisah dengan mengggit bibir.“Gak apa-apa! Anggap aja kamu tak pernah berkata seperti tadi, ok!” ucapnya lagi menghiburku.“Semua ini karena kamu!” protesku masih berbisik.“Masuklah!” Bella mendorong tubuhku pelan, tak menghiraukan ucapan Mas Bara pun prot
*“Ayo, aku akan membantu kamu turun!” Mas Bara membukakan pintu mobil untukku.“Maaf, bisa Mas jelasin!” sergahku bergeming.“Jelasin apa?”“Ucapan Mas Bara barusan!”“Kepada Bayu?”“Ya.”“Em, ya, memang begitu.” Mas Bara menggaruk kepalanya. Bola mata itu melirik wajahkku sekilas, lalu mengalihkan tatapan ke arah lain.“Kenapa mesti berbohong pada Mas Bayu?” tanyaku sedikit ketus.“Aku tidak bohong.”“Sejak kapan aku menjadi kekasih Mas Bara?”“Sejak kapan, ya? Sejak kapan juga gak masalah,” jawabnya santai. Sedikitun tak ada keseriusan di wajahnya.“Mas Bara aneh! Menganggap semuanya begitu mudah. Semua seolah gampang. Seperti permainan saja.” Aku mengeluh kecewa. Yang aku dengar ini tak seperti yang kuinginkan.“Sudahlah, In. Jangan terlalu dipikirkan! Sekarang turun, ya! Dr Muslih sudah menunggu.” Mas Bara bahkan dengan mudahnya mengalihkan pembicaraan.“Hem, tapi maaf, aku bisa turun sendiri. Menepilah!” ucapku menahan kecewa.“Baik.” Mas Bara menyisi.Aku melangkah tur
POV Bara======“Maaf, bisa Mas jelasin!” Indri mentapku lekat, begitu pengacara muda yang bernama Bayu itu berlalu.“Jelasin apa?” sergahku pura-pura tak paham.“Ucapan Mas Bara barusan!”Deg!Gawat ini. Apa yang harus aku jelasin pada wanita ini? Tentang ucapanku pada Bayu barusan? Jelas aku tak akan berani. Aku tak punya nyali untuk berkata-kata di hadapannya. Aku ciut, aku kehilangan rasa percaya diri.Padahal aku sudah mengatakan semuanya pada Bayu. Indri hanya minta penjelasan. Bukankah sudah semakin mudah untukku menjelaskan semuanya? Karena sudah kunyatakan pada Bayu yang sesungguhnya, dan Indri pun sudah mendengarnya. Bukankah tinggal mengakui saja, bahwa aku menyukainya?Tetapi, kenapa aku tak berani juga. Parahnya, aku justru menutupi ketakutanku dengan sikap arogan. “Sejak kapan aku menjadi kekasih Mas Bara?” tanya Indri tadi, di halaman rumah sakit bersalin itu.“Sejak kapan, ya? Sejak kapan juga gak masalah,” jawabku santai. Seolah hal itu sangat tidak penting bagi
======“Di sini, Mbak?” tanya sang supir menoleh ke arahku, di bangku belakang.“Oh, iya. Terima kasih, Pak.” Kuserahkan selembar uang kertas kepada lelaki paruh baya itu.“Sebentar, Mbak.” Dia merogoh saku celana, mungkin untuk mengambil kembalian.“Sudah, Pak, kembaliannya untuk Bapak saja. Ini tengah malam, tapi Bapak masih mau mengantar saya. Sekali lagi terima kasih.”“Mbak, kalau tidak salah, Mbak menantu keluarga Wijaya? Kenapa malam-malam keluar?” tanyanya menatapku penuh selidik.Aku tercekat sesaat.“Baik, hati-hati, ya, Mbak!” ucapnya kemudian, tanpa menunggu jawabanku.Aku turun dan berjalan menuju rumah sederhana di sisi kanan. Suasana begitu sepi. Tak ada seorangpun yang terlihat melintas. Mobil yang mengantarku tadi pun segera berlalu.Rumah itu tak berpagar, posisinya agak mepet ke jalan. Tanpa garasi, juga tanpa halaman. Hanya teras sempit yang memisahkannya dengan selokan kecil yang berbatasan langsung dengan jalan raya.Kuketuk pintu dengan pelan. Berula
=====“Indri, lihat ke sini, kenapa berpaling?”Jemarinya menyentuh lembut daguku, kemudian menggesernya pelan, hingga tepat menghadapnya. Kuberanikan diri untuk membalas tatapannya.“Aku ingin meminta izinmu, untuk mengatakan yang sesungguhnya tentang perasaanku!” tuturnya setelah tatapan kami beradu.Jengah, jantung berpacu tak karuan dan gelisah. Rasa itu mengaduk di dalam kalbu. Aku menundukkan pandangan.“Aku mau pulang, Mas. Mau bertemu Bapak dan Ibu,” lirihku seraya menepis pelan jemarinya yang masih memegang daguku.Jemari itu memang lepas, tetapi tangannya tak hendak menyerah. Jemariku berubah posisi, kini tergenggam erat di tangan kekarnya.Kutatap lekat tangan yang menggenggam itu, menariknya dengan halus, tetapi sia-sia. Akhirnya aku hanya bisa pasrah. Sifat keras kepala lelaki ini ternyata tergambar nyata di dalam setiap perbuatanya. Tak terkecuali seperti saat ini.“Lepasin, Mas!” lirihku pelan.“Biarkan, memang disitulah seharusnya dia berada,” sergahnya tegas