*****“Sebentar, Mas!” panggilku menghentikan langkahnya.Pemuda itu berbalik.“Kenapa?” tanyanya menungguku.“Sebenarnya aku tak peduli, apapun yang akan kamu lakukan. Tetapi, aku hanya ingin megingatkan. Jangan sampai kamu salah dalam mengartikan semua ucapanku tadi. Jangan sampai kamu membenci Mas Haga. Makamnya belum juga kering, bukan?” “Aku tak membenci siapa pun! Tidurlah! Ini udah hampir tengah malam!” Pemuda itu berbalik lagi, melanjutkan langkah menuju kamarnya.Aku menghela napas panjang, lalu berjalan menuju kamarku sendiri. Tetapi, baru saja daun pintu kamar kudorong untuk menutup, Ara tiba-tiba muncul dan menahannya.“Tunggu!” perintahnya kasar sambil mendorong pintuTerpaksa aku mengalah, aku khawatir daun pintu akan menimpa tubuhku bila bertahan.“Ara? Ada apa?”“Kamu ganjen, ya? Ngapaian kamu manggil-manggil, Mas Bara?”“Aku gak mangggil. Dia yang menemuiku!”“Eh, aku liat dan dengar sendiri, kamu yang memanggil Mas Bara.”“Baik, terserah! Udah? Aku mau tidur!”“
*****Aku baru saja pulang dari butik, saat kulihat mobil Papa dan Mas Bara sudah ada di portcar. Halaman rumahku. Ini memang sudah jam pulang kantor, tetapi harusnya mereka pulang ke rumah mereka. Kenapa mereka malah pulang ke sini lagi?Lesu aku berjalan masuk ke dalam rumah, setelah memasukkan mobilku ke dalam garasi. Mereka tengah berbincang di ruang keluarga.“Sudah pulang, Nak? Kenapa sore sekali pulangnya? Janagn diporsir pikiran dan tenaganya di butik itu, Sayang!” sapa Papa begitu melihatku.“Iya, Pa?” jawabku menyalam dan mencium punggung tangannya.“Begini, In, duduklah!” Mama menunjuk tempat persis di sampingnya. Aku menurut saja.“Bara merasa gak betah tinggal serumah dengan Ara, apalagi ada orang tuanya. Jadi, dia berniat tinggal di rumah kita yang di dekat kantor. Kecil, sih. Karena itu biasanaya di gunakan untuk tempat nginap karyawan yang kebetulan lembur. Tapi, Bara memilih tinggal di situ,” ungkap Mama kemudian.Aku terkejut. Bagaimana Mas Bara lebih memilih ti
*****“Bu Indri baru pulang?” Bik War menegurku saat melintas menuju dapur.“Iya, Bik. Kenapa?” sahutku.“Anu, tadi Ibu Nyonya menyuruh saya membersihkan kamar tamu. Kamar bekas Bu Ara dan Pak Haga.”Bik War mengikuti langkahku.“Terus?”“Gak bisa saya bersihkan, Buk.”“Kenapa?” Aku menoleh sesaat lalu mengambil panci di lemari rak piring.“Ibuk mau ngapain?” tanya heran.“Mau rebus air, buat mandi.”“Biar saya, Buk, sini!”“Gak usah! Bibik udah capek, bekerja seharian membersihkan rumah ini, apalagi sisa-sisa acara tahlilan semalam. Bibik istirahat saja!”Kuisi panci dengan air mentah dari kran wastapel. Lalu memanaskannya di atas api kompor gas.“Baiklah, saya akan nemani Ibuk saja!” Bik War duduk di kursi makan.“Terus, gimana ceritanya? Kok gak bisa membersihkan kamar bekas Ara?” tanyaku melanjutkan ceritanya tadi.“Iya, Buk. Karena kunci kamar itu gak ada.”“Lho, kok, gak ada? Kamarnya dikunci?”“Iya, Buk.”“Kuncinya masih sama Ara, dong?”“Iya, Buk.”“Kenapa Ara tak mening
****“Ya, Ma?” jawabku turun perlahan dari atas ranjang. Membuka pintu kamar untuknya.“Papa ngajak ke rumah yang di Jalan Ayahanda. Kamu mau ikut, enggak?”“Rumah yang di Jalan Ayahanda? Ngapain?”“Barusan Bik Yati nelpon, katanya dia mau ngundurin diri. Keluarga Ara membuatnya gak betah.”“Bik Yati ART Mama yang di sana?”“Iya.”“Kenapa gak betah? Apa yang dilakuin keluarga Ara, Ma?”“Bik Yati gak mau cerita, hanya tetap kekeh besok mau pulang kampung! Mama gak mau kehilanagn ART sebaik Bik Yati, In. Dia udah ikut Mama puluhan tahun. Susah cari ART sebik dia. Mama tinggal rumah itu berbulan-bulan pun dia bisa jagain dengan penuh tanggung jawab. Pokoknya, Mama gak mau kehilangan ART sebaik dia.”“Terus, apa rencana Mama?”“Ini, mau ngecek ke sana! Kamu ikut, yuk! Biar tahu juga, rumah kita yang di Ayahanda itu! Kamu belum pernah ke sana, kan?”Sebenarnya aku penasaran juga, sih. Tetapi, mengingat Ara dan keluarganya sekarang yang menempati rumah itu, aku ragu untuk ke sana.
****“Bibik ke belakang, gih! Buatkan minum buat tamu istimewanya!” Mama si Ara memerintah Bik Yati lagi secara kasar.“Permisi, Buk, Pak, Bu Indri, saya izin ke belakang dulu!” Bik Yati menunduk, lalu melangkah mundur, setelah itu baru berbalik menuju dapur.“Bik Yati!” panggilku cepat.Wanita itu menghentikan langkah. Orang tua Ara menatapku tak senang. Keduanya melotot tajam.“Saya bantu Bibik, ya!” ucapku mengangguk minta izin pada Papa dan Mama mertua. Mereka berdua menggangguk. Aku langsung melangkah mengikuti Bik Yati. Aku sengaja, ingin mencari keberadaan Mas Bara dengan Ara. Entah mengapa aku sangat curiga.“Hey … hey … hey! Kok, gak sopan banget kamu?” Mama Ara berteriak. Aku menoleh padanya. Lalu tersenyum penuh makna.“Kamu lupa ya, ini rumah siapa? Kok, enak bener mau nyelonong aja?” ketus Mma Ara lagi. Suaminya masih diam.“Maaf, Tante. Saya hanya ingin membantu Bik Yati. Kasihan juga, kan? Dia sendirian kerjanya. Sepertinya dia juga udah capek banget,
*****Kuikuti sesaat, sebuah film komedi sedang di putar di layar itu, filem komedi, tetapi lebih banyak adegan romantisnya. Ide siapa mereka menonton film seperti itu? Sepertinya, itu yang membuat Ara tertawa cekikan sejak tadi. Sempat aku curiga, dia kegelian karena di sentuh Mas Bara. Pikiranku jadi ngelantur tak karuan, menyisakan syak dan perasaan … entahlah di dalam dada.Kucari keberadaan mereka. Deretan kursi ditata rapi menghadap ke layar. Tetapi, aku tak menemukan Ara dan Mas Bara di sana.Berjalan berjingkat aku ke arah depan, mendekati layar. Ups, itu mereka. Ternyata mereka duduk lesehan menghadap ke layar, tepat di depan deretan kursi untuk menonton itu. Kudekati mereka, sebuah karpet mewah berwaran merah terbentang. Terasa begitu lembut saat kakiku memijaknya. Dan keduanya terlihat duduk agak rapat di sana.Mas Bara duduk dengan menyandarkan tubuh di dinding ruangan, Ara tak jauh dari sisinya. Perempuan itu duduk setengah berbaring dalam balutan gaun tidur
====Kuraih ponsel di saku gamisku. Mengusap layar, mencari perekam video, dan mulai mengarhkan ke depanku. Maaf, Ara! Tingkah memalukanmu, terpaksa aku rekam. Aku berjanji, tak akan menyebar luaskan video ini, kecuali terpaksa.“Mas … Mas Bara ….!” Suara Ara terdengar bergetar, berpaling dari layar, kini menatap lekat ke wajah Kakak Iparnya, Mas Bara. Tatapan aneh, dengan sorot mata sayu dan menghiba. Menyorotkan gairah yang menghentak, meminta dituntaskan segera.“Ara? Kamu kenapa?” tanya Mas Bara semakin bingung melihat reaksi Ara.“Kenapa kamu baik-baik saja? Kenapa aku yang jadi seperti ini? Apakah gelasnya tertukar?” tanya Ara jauh lebih bingung.“Apa maksud kamu?”“Mas, aku … aku … aku …. Maaf, Mas, aku membutuhkanmu, sekarang! Tolong aku, Mas!”Ara mulai bersikap liar. Tanpa rasa malu dia memeluk Mas Bara. Kedua tanganya mengalung di leher pria itu, tubuhnya bergerak dan menggelinjang.“Ara! Kamu kenapa?” Mas Barra tiba-tiba menghentak dengan kasar kedua tangan Ar
****“Apa kau bilang! Dasar perempuan murahan! Aku tidak ada menyentuhmu seujung kukupun!”“Gak usah membela diri, Nak Bara, ini sudah terbukti!”“Aku tidak menyentuh Ara, Tante! Justru dia yang bermaksud menjebakku dengan minuman itu!”“Jangan berkelit! Tega Nak Bara menuduh Ara serendah tu, setelah apa yang Nak Bara lakukan padannya barusan? Tadi sore Nak Bara menelpon dia, bermanis-manis kat, ingin bertemu dengan Ara. Minta waktu Ara sebentar saja. Saya saksinya saat Nak Bara menelepon Ara tadi sore. Setelah bertemu Ara, ternyata ini yang Nak Bara lakukan pada dia. Tega Nak Bara membantah kenyataan ini. Tega Nak Bara menghina dan menodai adik ipar sendiri.”“Saya memang menelpon Ara, Tante! Tapi tidak memperkosanya! Dengar! sampai kapanpun, saya tidak akan pernah menikahi Ara!” Mas Bara berteriak.“Saya sungguh tak menyangka, keluarga Wijaya yang terhormat, memiliki dua orang putra tampan dan sukses, tapi ternyata gemar bermaksiat! Si putra sulung, bahkan tega memeprkosa istr