Share

4. Selingkuhan Suamiku Istri Orang

***

“Mas!” Ara terbelalak. Tangannya sibuk merapikan pakaian yang menempel di tubuhnya. Namun, bagaimanapun usahanya, tetap saja, baju kurang bahan itu  tak bisa sempurna menutupi seluruh  tubuhnya.

Mama mertuaku juga masih terbelalak. Wajahnya begitu tegang. Semoga dia tidak terlalu kaget, bisa gawat, dong, kalau tetiba dia pingsan. Eh, tapi beliau sepertinya udah tahu semua kok, kelakuan anaknya. Sayangnya, dia tak pernah cerita sebelumnya padaku tentang hal ini.

Jujur, aku kecewa. Mertuaku ini ternyata tidak jujur. Saat melamarku dulu, dia tidak berterus terang semua tentang keburukan Mas Haga.

“Haga itu manja, gak mandiri, kurang bertanggung jawab. Sepertinya hanya kamu yang bisa merubah sifat jeleknya itu, In.  Jadikanlah dia seorang suami yang bertanggung jawab, gak kolokan lagi seperti sekarang!” Begitu katanya waktu itu.

Sama sekali dia tidak mengatakan kalau putranya itu ternyata seorang pezina. Parahnya,  tak menunggu esok atau lusa, dia bahkan bisa berzina di malam pertama pernikahannya. Di rumahku sendiri.

Andai aku  tahu sejak awal, maka pernikahan ini tak akan pernah terjadi.

*

“Indri?” Wanita paruh baya itu memanggil namaku pelan, sementara tatapannya masih tertuju pada gadis murahan yang kini  bersembunyi di balik punggung kekasihnya.

“Iya, Ma?”  jawabku tetap dengan nada tenang.

“Kamu, kamu baik- baik saja, Nak?” Mama menoleh, matanya yang masih membulat sempurna itu, kini menatapku lekat.

“Saya baik, Ma,” sahutku mengulas senyum.

“Apakah perempuan ini menginap di sini tadi malam, Sayang?”

“Iya, Ma. Mereka minta menggunakan kamar utama, saya menolak. Maaf, ya, Ma. Saya tetap bertahan di kamar itu. Soalnya pakaian saya udah disusunin Bi War di lemari pakaian yang ada di kamar itu.”

“Indri?”

“Iya, Ma?”

“Kamu tahu siapa dia, Nak?” Maam mertua menunjuk lurus perempuan itu.

“Pacar Mas Haga,” jawabku tetap tenang.

“Ka … kamu, kamu tidak ….” Waniat itu terlihat bingung dnegan reaksiku.

“Tenang, Ma! Jangan sampai Mama sakit, lho! Saya baik-baik saja.” Aku kembali mengulas senyum.

“Sayang, Mama minta maaf. Mama tak bermaksud menyembunyikan kebusukan anak mama terhadap kamu. Sekarang, mama pasrah, mama ihklas, jika  kamu minta pisah. Mama enggak akan menahan jika kamu mau meninggalkan Haga. Haga memang keterlaluan. Anak set*an.”

“Ma! Jangan ngataian  Haga seperti itu! Mama kan, tahu, kalau Ara pacar Haga dari dulu! Dan liat, perempuan itu malah yang kelakuannya kayak set*an.  Haga berdarah, Ma.  Karena kecelakaan ini makanya Ara datang ke sini. Ara yang ngobatin Haga, Ma. Dia yang bawa Haga ke klinik. Kalau tidak, mungkin Haga sudah mati kehabisan darah! Perempuan apa dia yang --”

“Diam! Kau diam!” Mama mertua  memototong kalimat Mas Haga.

Mas Haga terdiam.

“Mama memintamu mejauhi perempuan ganjen itu, iya, kan? Kenapa kau malah tega menyimpannya di rumah ini tepat di malam pernikahanmu?”

“Karena Haga berda –“

“Diam! Tak perlu kau jawab!”

“Mama kira kau benar-benar telah meninggalkan perempuan itu! Kau pembantah, Haga! Apa yang harus mama katakan pada keluarga Indri sekarang? Mau mama taruh di mana muka mama ini?”

Wanita itu berteriak histeris. Kedua tangannya menggerauk rambut di kepalanya. Memukul mukul berkali-kali.

“Tenang, Ma! Jangan begini!” Aku menenangkannya.

“Indri, Mama malu. Mama gak nyangka, Haga sebejad ini, Nak.”

“Tenang, Ma. Indri gak mau Mama kenapa-napa, lho!”

“Indri, silahkan kamu minta talak pada Haga, Nak! Mama ihklas, melepasmu, Sayang. Meskipun Mama sangat mendambakan kamu sebagai menantu mama. Tapi, mama enggak mau egois. Mama tak akan tega bila kau bertahan dengan suami sebejad anak  mama. Mama kira dia bisa  berubah, setelah menihaimu, sayang.”

Kulirik  Mas Haga. Wajahnya  terlihat sangat terang. Senyum tipis terulas di sudut bibirnya. Kuturunkan pandangan mata ini, tepat di tangannya.

Tangan kekar itu, menempel erat di telapak tangan Ara. Jemari mereka saling bertaut, saling memilin. Aku tahu, inilah yang sangat mereka tunggu-tunggu. Mereka menunggu aku meminta talak, sehari setelah pernikahanku.

Andai lelaki durjana ini belum meniduriku, aku pastikan tanpa diminta oleh ibunya pun, aku segera melakukannya. Tetapi, kini kasusnya berbeda. Noda darah di kain sepre ranjang  tadi malam, adalah alasan, bahwa dendam ini harus segera dituntaskan.

Lelaki itu telah memperkosa diriku.  Meski statusnya adalah suami, tapi cara dia mengambilnya, sangat menghinaku. Mencabik-cabik harga diriku. Kau kira aku akan menyerah?  Tidak, aku bisa melawanmu dengan caraku. Kupastikan kau bukan lagi suamiku, meski tanpa kata talak darimu.  Tak akan pernah kau bisa menyentuh tubuhku, meski seujung kuku. Karena, untuk meminta talak padamu, aku tidak mau.

Silahkan kau berzina di mana pun sesukamu, tetapi statusku akan tetap sebagai istrimu, agar kau  menderita di dalam  kubangan cinta harammu.

“In, mama akan telpon orang tuamu, ya, Nak? Biar Mama minta maaf langsung, dan mengantarkan kamu pulang ke rumah mereka. Oh, iya, mengenai ganti rugi, mama akan bayar berapa pun yang kamu tuntut, Sayang. Untuk menebus rasa bersalah mama.” Wanita itu memegang kedua bahuku. Air bening menetes dari kedua matanya.

“Gak usah lebai, deh, Ma. Udah, biar Haga aja yang talak dia!” Suamiku tampak tak sabar.

“Iya, Mas. Kamu talak aja dia sekarang!” Ara mengompori.

“ Indri, maaf,  sekarang juga kamu saya –“

“Hentikan Haga!” Mama mertuaku  berteriak.

Mas Haga menutup mulutnya sambil berdecik. Perempuan di belakangnya mendengkus kasar.

“maam tidak meminta apa-apa padamu! Kau diam, dan turut  keputusan Indri! Dan kau perempuan sundal! Jangan ikut campur! Tunggu, giliranmu sebntara lagi!” Mama menunjuk wajah Ara penuh emosi.

“Indri, bagaimana, Nak? Kepurusan ada di tangan kamu, Sayang?”  Wanita itu menoleh le arahku  kini, menatapku  dengan sendu.

“Terlambat, Ma.”

Dua kata itu akhirnya keluar dari mulutku. Mereka bertiga tercekat.

“Terlambat?” Mama mengulang kata-kataku.

“Ya, andai Mas Haga mengatakan kalau dia sudah punya pacar, seditik sebelum dia memperkosa aku.”

“Apa?”  Mama mertua terperangah.

“Kau bilang apa?” Ara berteriak.

“Indri!” Mas Haga salah tingkah.

Ara  berjalan mendekatiku.

“Apa kau bilang barusan? Kau bilang Mas Haga memperkosamu? Jangan bermimpi! Mas Haga jijik padamu, perempuan kampung!” Tangannya langsung bergerak hendak  meneleng kepalaku.

“Jaga tangan harammu! Jangan pernah berani menyentuhku!”  Kusambar lengannya, kuputar tanpa ampun.

“Aw! Lepasin! Mas Haga …!” Perempuan itu berteriak kesakitan.

“Lepas Indri!” Sang durjana mendekat.

“Haga! Berhenti di situ!” Sang Mama berteriak.

Aku semakin leluasa menyiksa perempuan itu. Beberapa menit, kubiarkan dia menjerit kesakitan.

“Ampun tolong lepasin!” Dia mulai menghiba.

“Ok, aku lepasin, tapi ingat, jangan pernah kau coba mengulang, kalau kau ulang lagi, aku gak akan segan mematahkan tanganmu, paham!”

Perempuan itu tak menjawab, hanya keringatnya yang tampak nenetes deras di kening, mungkin karena menahan rasa sakit yang hebat.

“In, Sayang? Bisa kamu jelasin, Nak? Apa maksud kaliamtmu tadi?” tanya Mama mertuaku, setelah aku melepas tangan Ara.

“Iya, Ma. Mas Haga memperkosaku tadi malam. Aku takut hamil, Ma. Kasihan cucu Mama bila  lahir tak berayah,” jawabku asal, tanpa ekspresi. Karena sesungguhnya bukan itu alasanku bertahan.

“Ya, Tuhan. Haga, kalau toh, kamu menyukai Indri, kenapa mesti memperkosa dia?”

“Haga  tidak memperkosa, Ma. Indri juga mau.” Mas Haga membantah.

“Apa, Mas? Jadi, benar kamu udah tidur sama perempuan itu?” Ara meradang lagi.

“Ara … Sayang, nanti, aku jelasin, ya!”

“Kamu bilang gak akan  menyentuhnya, Mas!”

“Begini … Ra.”

“Cukup! Kamu jahat! Jadi karena itu sebetulnya dia melemparmu pakai vase bunga itu, iya, kan? Karena kau memperkosanya?”

“Ara, bukan begitu, Sayang!”

“Cepat,  kamu talak dia sekarang juga, Mas!  Aku mau kamu talak dia sekarang juga! Di depan Mama kamu!” Ara semakin histeris. Aku hanya tersenyum miring.

“Apa kamu bilang? Kamu perintahkan anak saya menalak istri sahnya? Yang ada kamu yang keluar dari rumah ini, cepat!”

Wow, pertunjukan yang sungguh menegangkan. Ibu mertuaku meradang. Wanita itu menyeret  Ara dengan kasar. Putranya mengikuti dari belakang.

“Tolong Mas Haga! Kita belum selesai bicara! Jangan usir saya, Tante!” Sang betina memohon.

“Lepasin, Ma! Jangan kasar, dong, Ma sama Ara!” sang Jantan tak kalah memelas.

Berjalan gontai aku mengiring dari belakang. Mama mertuaku menyeret perempuan itu hingga ke gerbang, security buru-buru  membukakan pintu pagar. Mama mencampakkan tubuh setengah telanjang itu  di aspal jalan.

“Kunci pagarnya!” perintah Mama lalu berjalan kembali menuju  ke dalam rumah

“Buka gerbangnya!” Mas Haga memerintah.

Sang security kebingungan. Ara  menangis di jalan, melolong memanggil nama suamiku, kekasihnya. Pasangan zinanya.

“Haga! Tinggalkan perempuan itu! Sini kamu! Kita belum selesai bicara!” perintah sang Mama. Wanita itu berbalik, menatap geram kelakuan sang putra.

“Tidak, Ma. Maaf, kali ini, Haga tak akan mau mengalah lagi. Haga akan tetap bersama Ara, dengan atau tanpa restu Mama.  Haga akan tinggalkan rumah ini sekarang juga!”

Gila, Mas Haga  mengambil keputusan yang sangat berani. Dia lebih memilih pergi dari rumah ini, demi Ara, wanita murahan itu? Wow, patut diacungi jempol kesetiaannya. Ya,  jujur  aku salut pada kebesaran cinta mereka.  Timbul rasa iba, kalau toh, mereka saling cinta, mengapa harus dihalangi, coba.  Kenapa orang tua Mas Haga tak merestui? Apakah hanya karena penampilan Ara yang selalu tampil  seksi begitu? Kalau masalah itu, bukankah bisa dibicarakan? Minta Ara hijrah, misalnya?

“Kau serius, Haga? Kau serius dengan ucapanmu barusan? Kau rela meninggalkan semuanya, hanya demi perempuan itu?” Mama mertuaku  menghampiri. Tepat saat sebuah mobil berhenti di depan gerbang.

“Di sini kau rupanya! Ara! Apa yang kau lakukan di sini, jadi betul kata orang-orang, kau selingkuh dengan lelaki ini, bahkan sering nginap di sini, iya?”

Seorang lelaki berperawakan sedang turun dari dalam mobil. Masih muda, wajahnya juga cukup tampan, hanya postrur tubuhnya saja yang kurang tegap. Sungguh berbeda dengan postur tubuh Mas Haga. Tetapi, siapa dia? Papa Ara? Tak mungkin, lelaki itu masih sangat muda.

“Mas Leo, kamu … kamu udah pulang, Mas. Mas, aku di sini, enggak ngapa-ngapain, kok, aku cuma ….” Ara terlihat gugup. Wajahnya tampak sangat ketakutan.

“Kamu jelasin di rumah!”

Lelaki yang dia panggil Mas Leo itu, mencengkran lengannya, menariknya untuk berdiri, lalu mendorongnya masuk ke dalam mobil dengan kasar.

“Hey, Kau! Urusan kita belum selesai! Kau tunggu saja! Kau ingat-ingat dan kau hitung dulu, berapa kali sudah kau meniduri istriku! Setelah kau ingat dan yakin enggak keliru, aku akan mencarimu, paham!” ancamnya menunjuk Mas Haga.

Suamiku terlihat pucat, bibirnya bergetar sambil berucap,” Kenapa kau enggak pernah bilang kalau kamu sudah bersuami, Ra?”

Mama mertua tersungkur,  sepertinya dia pingsan karena terkejut.

****

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status