Share

Aku (Bukan) Istri Pilihan
Aku (Bukan) Istri Pilihan
Penulis: Helminawati Pandia

1. Darah Malam Pertama

 “Aku mau pergi menjumpai kekasihku. Jangan tunggu aku pulang! Kau tidur saja! Nikmati ranjang mewah itu! Belum pernah kamu tidur di ranjang semewah itu, bukan?” Suamiku berucap.

Aku menggigil. Merasa terhina, menyesal,  dan prustasi mulai mencekik.  Tubuh bergetar hebat, jiwa  berontak, emosi mengaduk, mencipta energy  yang mulai membakar   membuat darahku menggelegak. 

Baru  sekali gerakan, lelaki itu langsung terjerembab dengan cairan merah bersimbah.

“Itu belum apa-apa! Nikmati hari-harimu selanjutnya! Kau tidak tahu sedang berhadapan dengan siapa, Tuan muda!” Aku menyeringai.

***

Lelaki itu tampak sangat dingin. Setelah Ijab Kabul berlangsung,  resepsi mewah  digelar, hingga pesta  bubar, belum sekalipun dia menatap wajahku. Terasa gamang di kalbu, bagaimana aku akan menjalani hari hariku bersamanya, menjalankan peran sabagai istri untuknya.

“Kami pulang, In. Baik-baik di sini, ya, Nak! Jadilah istri yang terbaik buat suamimu!” Ibu memeluk dan  mengusap punggungku.

“Indri takut, Buk,” bisikku pelan.

“Jangan takut, Sayang. Haga juga pasti bisa menjadi suami yang baik buatmu. Kamu adalah wanita pilihan orang tuanya. Haga juga menyukaimu, buktinya dia mau menikahimu, iya, kan?  Pernikahanmu ini sangat sempurna, Sayang.”

“Tetapi,”

“Jangan resah begitu, In! Tersenyumlah! Kamu harus selalu tersenyum di depan keluarga barumu, terutama di depan suamimu!”

“Baik, Bu.”

“Begitu, dong!  Lihat, Papa mertuamu tampak  sangat bahagia. Penyakit jantungnya langsung sembuh. Begitupun dengan Mama mertuamu, iya, kan?”

Aku mengangguk.

Ibu melepas pelukan, kini Ayah yang gantian memelukku. Mengulang nasihat yang telah disampaikan oleh Ibu, aku mengangguk lagi.

“Tolong jagain Haga, ya, Sayang!  Mama tahu, awal awal ini, pasti akan sangat sulit bagimu. Haga bukan lelaki yang baik. Mama sengaja memilihmu karena mama yakin hanya  kamu yang bisa merubahnya.  Mama mohon, agar kamu bersabar! Dampingi  dia dan tolong segera beri kami kabar  tentang kehadiran calon cucu!” ucapnya menangkup kedua pipiku.

Aku tersenyum, semoga aku bisa mewujudkan impiannya. Meski sangat ragu. Aku mengenal anaknya baru beberapa minggu. Jarang bertemu apalagi saling mengenali diri. Perkenalan pertama, Mas Haga langsung setuju menikahiku. Sedikitpun dia tak membantah keinginan orang tuanya. Meski kami hanya sekedar tau nama, belum paham watak dan kelemahan masing masing.

Begitupun dengan aku.

Didikan Ayah begitu ketat terhadapku. Terutama di bidang agama. Haram hukumnya berpacar-pacaran, kalau memang sudah sampai waktunya untuk menikah, Allah pasti mempertemukan jodoh. Begitu prinsipnya.

Darma Wijaya, adalah temannya saat masih mondok di sebuah pesantern modern di Jawa tengah. Memiliki perusahaan tambang pasir  terbesar di kota ini.  Mereka terhubung kembali karena  bertemu di sebuah pengajian. Entah ini yang dinamakan jodoh, keluarga  kaya  raya  itu ingin mempererat tali silaturahmi. Ayah menyambut dengan suka cita. Dan hari ini Ijab Kabul itu telah terlaksana.

Usai resepsi pernikahan, keluarga besar langsung mengantar kami ke rumah ini. Rumah yang telah disediakan oleh mertuaku sebagai  hadiah pernikahan untuk. Rumah yang telah ditempati oleh Mas Haga sendirian  setahun belakangan ini.

Mertuaku memilih tinggal di  daerah pegunungan. Itu bagus untuk kesehatan Papa mertua, agar terhindar dari kebisingan dan beban pikiran.

Semua keluarga sudah kembali. Rumah besar ini tetiba terasa sepi. Mas Haga langsung menghilang, entah ke ruangan yang  mana, sedikitpun tak memperdulikan aku.  Aku tak berani mengikuti, atau sekedar menyapa. Termangu aku berdiri di ruangan tengah, bagai orang asing tak tersesat tak tau arah.

“Kenapa Ibuk tidak masuk ke kamar,  dan membersihkan diri!?”

Aku tercekat, wanita paruh baya itu mengangetkanku.

“Nama saya Bik War, saya asisten di rumah ini. Kalau ada apa-apa, Ibuk panggil saja saya. Mari saya antar ke kamar Ibuk!”

Aku mengikuti langkahnya. Bik War menyeret koper pakaianku.

“Ini kamar Ibuk. Silahkan masuk, saya akan menyusun pakaian ini, Ibuk  mandi saja!”

“Biar saya saja yang nyusunin, Bik,” tukasku meraih koper.

“Jangan! Ini tugas saya, Ibuk mandi saja!”

Aku mengalah.

===

Aku kaget, saat lelaki itu masuk begitu saja ke dalam kamar. Hampir saja aku menjerit. Namun, karena menyadari kini dia adalah suamiku, membuat jeritanku tertahan.

Tanpa menoleh ke arahku, dia langsung menuju kamar mandi. Gerah, risih, takut, dan entah perasaan tak enak apa lagi berkecamuk di benak. Kualihkan gamang ini dengan memainkan ponselku.

Lima menit, dia kembali. Handuk melilit tubuhnya sebatas pinggang. Rambut ikalnya basah, titik titik air menetes  membasahi leher dan pundak. Dia terlihat begitu tampan. Aku segera berpaling, saat mata tajamnya mulai mengarah ke padaku.

Tanpa sepatah kata, lelaki itu menghampiri. Aku beringsut ke sudut ranjang.  Ketakutan.

Teringat cerita  novel yang sering kubaca, kalau malam pertama  itu akan berlangsung sangat romantis, ternyata tidak seperti yang  aku rasakan. Dalam impianku, suamiku akan tersenyum lembut, mencoba menyentuh  tanganku, menggengam, lalu membisikkan kata  cinta, berikrar setia,  lalu mulai merengkuh tubuhku, menggendong, dan membawaku terbang ke langit biru.

Ternyata impian itu tidak terjadi, tidak seperti di dalam cerita novel itu.  Lelaki itu menatapku dingin dengan sorot mata penuh kebencian.  Bahkan kulihat ada dendam membara di sana. Kenapa, apa salahku? Bukankah dia setuju dengan pernikahan ini, meskipun aku adalah pilihan orang tuanya? Pernikahan ini tak akan terjadi tanpa kata iya dari mulutnya, bukan?

Tangan kekarnya mulai terjulur, meraihku yang  mengkerut ketakutan di sudut ranjang. Tak berani melawan, aku pasrah dan  menyerahkan diri ini utuh padanya.

Tiba-tiba  dia menghentikan semuanya.  Aku tak mengerti sama sekali. Ini kali pertama aku  mengalami. Kurasakan dia menarik bagian tubuhnya dari dalam  tubuhku, aku hanya diam.

Pria yang tadi pagi telah menghalalkanku itu langsung bangkit, berjalan menuju kamar mandi. Kuraih selimut untuk menutupi  tubuh ini. Tubuh yang dia abaikan kini.

Ponsel di atas nakas berdering, itu miliknya. Sedikitpun aku tak berani menyentuhnya.

Pria itu keluar dari kamar mandi, masih  dengan lilitan handuk sebatas pinggang. Titik-titik air masih menempel di dada bidangnya.  Kulirik tubuh atletis itu sekilas, tubuh yang sempat kusentuh sesaat tadi. Tubuh yang telah halal, tetapi  masih begitu asing.

“Iya, Sayang?” Dia mulai berbicara, setelah  mengusap layar ponselnya. Aku terpana. Dia memanggil  si penelepon  dengan sebutan ‘Sayang’. Itu artinya dia sudah punya  seseorang yang lain? Kalau iya, kenapa dia mau menikahi aku?

“Maaf, tadi aku di kamar mandi,” lanjutnya dengan nada begitu lembut. Kenapa dadaku seperti teriris?

“Iya, aku datang. Tunggu, ya! Enggak, enggak mungkinlah aku menyentuhnya! Perempuan kampung ini, hanya bikin enneg! Gak ada manis-manisnya! Beda, dong, sama kamu. Kamu tenang aja, ya, Sayang!”

Aku membeku. Suamiku mengatakan ‘enneg’ terhadapku. Padahal baru saja dia menyentuhku. Apa arti semua ini?

Lelaki itu kembali meletakkan ponsel. Lalu berjalan menuju lemari besar, mengeluarkan pakaiannya dari sana. Tanpa risih sedikitpun, dia bertelanjang di hadapanku. Mengenakan pakaiannya satu persatu. Mematut diri di depan cermin, menyemprotkan parfum ke leher dan pergelangan tangan, lalu dia menoleh ke arahku.

“Maaf, siapa nama kamu?”

Astaga!

Dia bahkan tak tahu namaku? Jadi saat Ijab Kabul tadi dia menyebut nama siapa?  Barusan dia meniduri tubuh siapa?

[Saya terima nikahnya Indri Hayati Binti Usman dengan mahar seperangkat perhiasan emas seberat 100 gram di bayar tunai.]

Bukankah dia menyebut namaku saat menghalalkanku? Tuhanku, ternyata dia menyebut namaku bukan dari hati. Tetapi, sekedar mengulang kalimat yang  diucapkan  oleh Penghulu.

“Boleh geser bentar!” perintahnya menyibak selimut penutup tubuhku. Segera kupertahankan kain tebal itu, lalu beringsut memenuhi perintahnya.

Lelaki itu menunduk, memindai seluruh permukaan ranjang. Entah apa yang sedang dicarinya.

“Ini dia,” serunya kemudian.  Kutatap bagian yang ditemukannya. Ada bercak di sana, sepertinya itu bercak darah. Darah apa itu? Apakah itu yang dimaksud darah malam pertama? Saat aku melepas kegadisanku?

Dia meraih ponselnya, lalu mengambil beberapa gambar, tepat di  bercak darah itu.   Lelaki itu terkekeh.

“Aku bangga, aku memang tak menginginkanmu, tapi setidaknya aku bisa merasakan perempuan yang masih perawan. Aku ucapkan terima kasih, karena jujur, baru pertama kali ini aku merasakan sensasi yang luar biasa. Kuhargai pengorbananmu! Tapi, maaf, aku tak akan bisa menjadi suami yang baik buatmu. Karena aku tak mencintaimu.”

Petir itu menyambar. Tubuhku rasa  terbakar,  tercampak, sakit sekali.

“Oh, iya, perlu kamu ketahui. Aku sudah punya pacar, namanya Ara. Kami saling mencintai, jujur, memang dia tak sealim kamu.  Dia sudah tak  perawan  saat pertama kami bertemu, meski dia belum pernah menikah. Tapi tak masalah, karena rasa cinta, itu yang utama bagiku.”

Aku membisu, memalingkan muka dari tatapannya.

“Kuharap kamu tak pernah cemburu dan memang kamu tak berhak merasakan hal itu. Karena antara aku dan kamu tak  pernah ada sesuatu, selain ikatan pernikahan ini. Aku terpaksa menikahimu. karena obsesi orang tuaku, yang menginginkan menantu berhijab seperti mu.”

Sesak ini semakin menyeruak di dada. Serasa aku tak bisa bernapas. Ingin sekali  kupinta agar dia berhenti berucap. Tetapi, aku tak sanggup berkat, meski  hanya sepatah.

“Aku telah melaksakan kewajibanku sebagai seorang suami, bukan. Nafkah batinmu sudah kupenuhi.  Tetapi, maaf, mungkin hanya sekali ini saja. Kuharap kamu segera hamil,  dan berkabar pada Papa dan Mama, tentang calon cucu mereka. Itu impian mereka darimu, bukan? Tetapi, bila ternyata gagal, aku janji, akan memenuhi hak batinmu lagi. Hingga kau benar-benar hamil.”

Tak sanggup lagi. Kurapatkan kedua dengkul yang bergetar, kujatuhkan kepala ini di atasnya.

“Oh, iya, Indri, begitu, kan,  nama kamu tadi? Silahkan kamu nikmati kemewahan di rumah ini.  Itukan yang kamu intai, sehingga kamu mau  menjadi istriku, sama seperti orang tuamu, iya, kan? Tapi ingat jangan  pernah mengganggu masalah pribadiku, ok!”

Lelaki itu tidak hanya menginjak-injak harga diriku, kini dia mulai menyeret harga diri orang tuaku. Bapak dan Ibu bukan orang seperti yang dia tuduhkan. Aku tidak terima ini.  Tetapi, apa yang bisa kuperbuat sekarang?

Prustasi ini mulai mencekik.  Tubuhku bergetar, dengkulku bergetar, dan jiwaku mulai meronta.  Emosi mengaduk, menciptakan energy panas, mulai membakar dan  membuat darahku menggelegak. 

“Aku mau pergi menjumpai kekasihku, Ara namanya. Jangan tunggu aku pulang! Kau tidur saja! Nikmati ranjang mewah itu! Belum pernah kamu tidur di ranjang semewah itu, bukan?”

Aku mendongah,  cukup sudah.

Lelaki itu terkekeh kecil,  meraih kunci mobilnya, lalu berjalan menuju pintu kamar.

“Tunggu, Mas!” Kudengar suaraku bergetar.

Lelaki itu mengehentikan langkah, berbalik menatapku. Senyum miring masih terukir di sudut bibirnya.

“Aaauuu! Indri! Apa yang kau lakukan?”

Vase bunga itu pecah di ke palanya, pe cahan kaca itu bahkan tertancap tepat di kening. Cairan me rah merembes deras.  Lelaki itu terjerembab di lantai.

“Bik War …!” Teriakannya menggema.

Gantian, kini aku yang terkekeh.

“Kau perempuan gi la!” desisnya  memegangi kepala. Wajahnya memucat, pria itu semakin lemas.

“Itu belum apa-apa! Kau tidak tahu sedang berhadapan dengan siapa, Tuan muda!” Aku menyeringai.

“Kau! Aku akan penjarakan kau!” Suaranya  mulai melemah.

Bik War muncul dengan wajah  kebingungan, mencoba menyelamatkan sang majikan.

“Lakukan kalau kau bisa! Kartu matimu ada di tanganku!  Oh, iya, ini belum apa-apa! Selamat menikmati hari-harimu selanjutnya!” ancamku tersenyum dingin, tepat di wajahnya,  lalu berjalan  gontai menuju kamar mandi.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Helminawati Pandia
mohon dukungannya teman teman
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status