Aska dan Nada saling pandang ketika mereka baru menyadari kalimat yang mereka ucapkan. Sedangkan Saka menatap tak percaya pada sosok perempuan yang dia sukai. "Kamu bercanda, kan Sayang? Kamu bohong, kan Sayang?" tanyanya dengan suara bergetar.Kini perhatian Aska dan Nada kembali pada Saka. Terlihat pria itu yang menggeleng. "Tidak. Aku tidak percaya dengan apa yang kamu ucapkan. Kamu tidak mungkin berpaling hati dengan begitu mudah." Pria itu mulai mendekat ke arah Nada, wajahnya menunjukkan jelas kalau dia tidak terima dengan kalimat yang baru saja dia dengar.Namun, Aska lebih dulu menggenggam tangan Nada dan memindahkan perempuan itu ke belakang tubuhnya. Jangan dekati dia lagi atau aku akan menghajarmu. Tidak ada ampun lagi," ancam Aska. Wajahnya menunjukkan keseriusan bukan hanya sebuah ancaman.Kedua tangan Saka mengepal di samping tubuhnya, giginya saling bergemeretuk lalu wajahnya menunjukkan jelas sebuah kemarahan. "Dasar murahan," ujarnya pada
Kini, Reno sedang duduk di bangku taman bersama seseorang yang beberapa saat lalu memanggilnya ketika dia baru saja berdebat dengan Rina. hal yang mengejutkan baru saja dia ketahui mengenai perempuan itu. Yang tak Reno sangka adalah semua hal dan semua masalah yang terjadi antara banyak orang saling berhubungan satu dengan yang lain."Minumlah, Ren. Setidaknya bisa membuat pikiranmu jernih walau hanya untuk sesaat," ujar perempuan yang duduk di samping Reno.Tampak embusan napas kasar terdengar dari bibir pria itu. "Aku benar-benar pusing saat ini," ujar Reno. Ekspresinya jelas menggmbarkan apa yang pria itu katakan.Imelda. Nama perempuan yang kini duduk di samping Reno itu menoleh. "Memangnya ada apa?" tanyanya kemudian. "Yang aku tahu, kau tadi sedang berdebat dengan Rina."Imelda tersenyum. "Sudah lama tidak bertemu. Bahkan aku tidak tahu kapan kamu keluar dari penjara. Sekalinya bertemu, ternyata kamu masih mengejar dia," ujar Imelda den
Rizal menghentikan motornya di depan kediaman Pak Baron, di belakangnya motor lain juga ikut berhenti. Sosok yang selalu ikut ke manapun Rizal pergi sebagai asisten pribadi kalau Rizal menyebut.Pria itu menatap pantulan dirinya terlebih dahulu di kaca spion motornya, mengambil sisir dari balik saku celananya dan langsung menyisir rambutnya yang sudah klimis. "Sempurna," bisiknya kemudian.Rizal pun langsung turun dari motornya dan berjalan menuju kediaman Pak Baron. "Pak Baron. Oh Pak Baron. Calon mantu datang nih," ujarnya kemduian. Dia bersiul sembari menggerakkan kakinya, juga kedua tangan yang berkacak pinggang.Tak lama, Pak Baron pun keluar dengan senyum lebar. "Ya Tuhan. calon mantu datang," ujarnya bersemangat. Dia berjalan ke arah kursi yang ada di teras rumah. "Ayo duduk-duduk," ujarnya kemudian sembari menarik kursi untuk tempat duduk Rizal.Tunggu. Nggak kebalik itu?"Buk! Buatkan minuman untuk calon mantu kita!" te
Pak Baron membuka pintu kamar Tari dengan kasar. Pria paruh baya itu menatap tajam putrinya yang kini sedang menangis menelungkupkan wajah ke bantal, ada sang istri yang menemani di sana."Bagus sikap kamu sepert itu sama calon suami kamu?" tanya Pak Baron dengan marah. Pria itu berkacak pinggang dengan bola mata yang melotot sangat lebar.Tari yang sedang menangis langsung mendudukkan diri menatap bapaknya dengan wajah sembab. Dari balik mata berkaca dia meneliti wajah bapaknya yang sedang marah. "Pak. Sudah berapa kali Tari bilang kalau Tari tidak mau menikah dengan Rizal, Pak? Kenapa Bapak terus memaksa Tari?" tanyanya dengan suara pilu berharap bapaknya itu iba terhadap dirinya."Halah. Jadi anak yang nurut apa kata orang tua. Ini semua juga demi kebaikan kamu," ujar Pak Baron yang masih marah."Kebaikan Tari atau kebaikan Bapak?" tanya Tari dengan berteriak. Kini, dia tak peduli lagi kalau dianggap anak pembangkang."Kenapa kamu sela
Nada terkejut dengan pertanyaan Aska, sehingga membuat perempuan itu terpekik menatap tanpa kata pada Aska. Di balik benak sana dia bertanya-tanya apakah telinganya tidak salah mendengar?Sedang Aska sendiri malah merasa bingung dengan keterdiaman dari Nada. "Kenapa kamu diam? Bukankah seharusnya kamu menjawab pertanyaan saya tadi?" tanya Aska menatap intens ke arah Nada.Nada yang mendengar itu seketika buyar lamunannya. Dia mengalihkan pandangan dengan menyelipkan anak rambutnya di belakang telinga. "Tidak perlulah seperti itu, Kak," ujar Nada merasa tak enak.Kening Aska terlipat, pria itu merasa bingung dengan kata-kata yang diucapkan oleh Nada. "Maksudnya?" tanyanya sekali lgi."Saya tahu kalau Kak Aska kasihan sama saya. Tapi, tidak perlulah Kakak sampai melakukan itu karena rasa kasihan itu. Tidak perlu sampai harus menikahi saya." Dia berujar dengan kekehan keil.Aska menatap Nada dengan sedikit rasa kecewa. "Jadi, kamu mengira apa yang saya lakukan selama ini ke kamu karena ra
Wajah Reno menunjukkan ekspresi yang sedang frustrasi. Pria itu baru saja menceritakan kejadian di rumah kedua orang tuanya mengenai Tari pada Nada. Kini, dua orang itu berada dalam keadaan kebingungan karena masalah yang menimpa Tari."Ini semua salah aku, Kak. Ini semua salah aku. Kalau saja aku tidak membuat ulah, mungkin Tari tidak akan berada di situasi seperti ini." Satu tetes air mata jatuh membasahi pipi Nada. Perempuan itu sama khawatirnya dengan Reno akan keselamatan Tari yang akan dinikahkan dengan rentenir muda bernama Rizal itu.Reno menepuk punggung tangan Nada. "Hei. Jangan seperti itu. Kamu tidak salah. Memang Bapak saja yang mempunyai sifat egois sejak dulu. Dia selalu ingin mengatur kehidupan anak-anaknya tanpa memikirkan perasaan kita," jelas Reno.Aska yang sejak tadi hanya diam menatap keduanya, di balik benak sana dia memikirkan sesuatu. Ini bukan ranahnya ikut campur. Akan tetapi, melihat kondisi Nada yang seperti ini, itu tidak akan
Yang namanya hidup di kampung, pastinya hal sekecil apa pun akan terdengar oleh tetangga. Contohnya dengan acara pertunangan Tari dan juga Rizal. Tentu saja semua orang langsung terkejut dengan berita itu. Dan pastinya, akan menjadi bahan omongan ibu-ibu yang suka sekali bergosip.Seperti saat ini contohnya ketika beberapa ibu-ibu berkumpul di sebuah gerobak sayur yang Duda mereka hentikan. "Kalau kayak gini kasihan si Tarinya, ya. Dia dijadiin tumbal sama bapaknya gara-gara kelakuan kakaknya," ujar ibu-ibu yang memakai pakaian daster berwarna ungu. Siapa lagi kalau bukan Bu Susi?"Masa sih, Bu seperti itu? Masa Pak Baron setega itu numbalin Tari?" Salah satu ibu-ibu tidak percaya."Ye. Bu. Tahu sendiri Tari kalau ketemu Rizal kek mana. Bawaannya mau ngamuk terus. Masa tiba-tiba sekarang dia mau nikah sama Rizal." Bu Susi tersenyum. Dia mengibaskan tangan di depan wajah."Nggak mungkin sekali. Apa namanya kalau bukan ditumbalin?" ujarnya melanjutk
Bu Mila mengantarkan makanan untuk Tari pagi ini, itu saja sudah harus menggunakan izin suami sebab kunci kamar milik Tari, Pak baron yang memegang. Pria itu merampas kasar piring makanan yang ada di tangan Bu Mila dan memberikannya pada Tari tepat di depan pintu."Makan. Jangan sampai kamu kekurangan gizi saat kamu bertunangan besok," ujar Pak Baron dengan pandangan tajam. Pria itu pun lekas menutup pintu kamar Tari dan menguncinya kembali. Seperti biasa, kunci itu akan dia bawa agar aman dan istrinya itu tidak bisa melepaskan putrinya.Sebelum pintu tertutup, pandagan Bu Mila tanpa sengaja bertabrakan dengan Tari. Dia melihat jelas ekspresi memohon dari putrinya itu. Tanpa sadar dia memegang dadanya karena ikut merasakan sakit yang dirasa Tari. Namun, sayangnya dia tak bisa melakukan apa-apa.Suara obrolan membat Bu Mila berjalan menuju ruang tamu. Dia bisa mengenali kala suara itu sudah jelas. Rizal. Bu Mila pun memilih untuk masuk kembali. Namun, panda