Tekan bintang 5 nya ya? Dan tulis komentar yang membangun. Makasyiieehhh
"Kebanyakan walau tidak semua. Kenangan pahit di masa lalu sedikit banyak akan membawa dampak untuk masa depan. Apa lagi kehadiran mantan istri yang kembali mengusik." "Ayah, aku... mencintai... seorang duda." Ayah terkejut dengan pengakuanku. "Siapa dia nak? Kenapa kamu bisa mencintainya?" Aku menggeleng. "Aku nggak tahu kenapa bisa begitu mencintainya ayah. Tapi yang pasti, aku lelah menjalani hubungan ini." "Drey, dalam hubungan itu perlu komunikasi dua belah pihak. Kalau kalian ada masalah itu dibicarakan bukan saling menyalahkan. Lalu duda itu, bercerai atau bagaimana?" Aku menatap ayah gelisah. "Cerai yah." Ayah menatapku terkejut lalu menggeleng. "Lupakan dia Drey. Jangan mencintainya nak. Lihat ayahmu ini." Aku hanya bisa menunduk. "Drey, kamu anak perawan, kamu pantas dapat perjaka. Apa lagi kamu anak kebanggaan mama dan ayah. Kami sebagai orang tua ingin yang terbaik buat kamu nak." Andai ayah tahu kalau aku tidak bisa melepaskan Kian begitu saja karena kesucianku
Dia mengangguk dengan senyum tipis. "Maaf." Aku kembali berhenti melangkah karena panggilannya. "Audrey." Aku hanya menatap lurus ke tembok. "Setidaknya beri aku waktu untuk meminta maaf dengan tulus." Aku menghela nafas lelah karena berhubungan kembali dengan pria sialan ini. "Setidaknya, berikan doa terbaikmu untuk putraku. Aku sadar pernah terlalu dalam melukaimu." Mendengar kata 'anak' membuat empatiku terketuk. Aku paling tidak bisa dihadapkan dengan anak-anak yang harus menanggung kenyataan pahit kehidupan yang tidak selayaknya ia dapatkan akibat keegoisan orang tuanya. Karena itu hanya akan membuatku teringat pada diriku sendiri saat ditinggal papa demi wanita lain. Aku menoleh ke arahnya. "Baiklah." Affar kemudian mengajakku duduk di sofa yang ada di lobby kantor. Sofa tempat dimana kami bertemu untuk pertama kalinya. Dulu sekali. Kami duduk saling menjaga jarak meski kantor sudah sepi dan hanya beberapa yang lembur. "Bagaimana kabarnya?" Aku menunduk memainkan j
Otakku masih bekerja lamban ketika Affar ingin mengenalkanku pada anaknya. Tanpa aba-aba ia menarik tanganku menuju mobil. Samsul segera membuka pintu mobil lalu menampilkan seorang balita laki-laki yang usianya sekitar satu tahunan dalam pangkuan baby sitter. Dia terlihat sehabis menangis, dengan sedikit sisa ingus yang terlihat di atas mulut, mata sembab, dan ekspresi wajah sendu. Mulutnya terlihat manyun menahan tangis. Ketika Affar mengulurkan tangannya, Devan kecil langsung meraih tangan Affar lalu berceletoh khas anak balita tengah merajuk. Mulutnya makin manyun menggemaskan dengan pipiku gembul yang ingin sekali kumakan. Lalu kepalanya disandarkan di pundak Affar. "Dev, kenalin nih tante Audrey." Ucap lembut Affar sambil mengusap sayang rambut lebat Devan. Aku tersenyum tulus ke arah Devan lalu mengusap lembut sisa air mata dan ingusnya tanpa merasa jijik. "Hai ganteng. Kok nangis sih? Kan jagoan." Devan masih manyun dengan menatapku aneh. Aku tersenyum lalu mengusap kepal
Kian menatapku dengan sorot mata yang sulit diartikan, namun aku sudah yakin jika hubungan kami sudah sangat tidak sehat. Aku hanya ingin kepastian lalu menentukan langkah terakhir. "Aku janji. It's the last." Kian diam sambil menatapku dalam. "Baiklah." "Aku ikut mobil kamu. Kemanapun tujuannya." Detik-detik nasib hubungan kami akan jelas setelah ini, dan aku akan mengikhlaskan apapun hasilnya. Aku percaya perkataan Amelia untuk tidak memaksa Kian menjalani hubungan karena keterpaksaan. Ketika mobil Kian melaju membelah jalanan, aku hanya diam sambil memandang keluar jendela. 'Gue nggak akan memohon apapun. Bahkan demi hubungan ini. Jika ini yang terbaik, gue siap pergi.' Aku menangkap pantulan bayangan Kian dari kaca jendela. Saat mobil berhenti karena lampu merah, pria itu terlihat sibuk dengan ponselnya. Sesekali tersenyum tipis. Apa yang dia baca? Apa aku tidak lebih penting baginya setelah jiwa raga kuberikan untuknya? Bohong jika aku tidak cemburu dengan siapa Kian se
Aku melirik Samsul sambil menggendong Devan yang masih sesenggukan. Sungguh pertanyaannya amat tidak membuat hatiku tersentuh. Melainkan aku menganggap ia sama kurang ajarnya seperti Affar, majikannya. "Apa kamu bilang? Jadi ibu sambungnya Devan?" Samsul yang merasakan kemarahanku langsung gelagapan. "Maaf Mbak Audrey. Tolong jangan sampaikan ini pada Pak Affar. Murni saya bertanya karena kasihan pada Mas Devan." "Kamu hanya kasihan pada Devan tapi nggak mikir gimana perasaanku waktu Affar bersikap seenaknya padaku." Balasku tak kalah sengit. "Maaf mbak. Maaf. Saya cuma sopir." Samsul menunduk takut. Jika mengingat kesalahan Affar di masa lalu mungkin pembicaraan tentang ras sakit hatiku tidak akan ada habisnya. Dimanja, lalu dimanfaatkan sebagai pemuas nafsu, setelah itu dibuang. Perempuan manapun tidak akan sudi kembali apapun alasannya. Aku merubah posisi berdiri menghadap Samsul sepenuhnya. Sedang Devan malah makin mengeratkan pelukan di leherku. "Mungkin kamu harus tahu,
Nyatanya iklan es krim yang terpampang di baliho perempatan dimana mobil Pak Niko berhenti menunggu antrian lampu merah, sangat menggugah selera. Apa lagi yang rasa coklat. Akhirnya aku memberanikan diri agar Pak Niko menurunkan aku di gerai minimarket. Karena begitu baik, beliau bersedia mengantarku kembali ke kantor karena kebetulan satu arah. Mengikuti ajakan makan siang berdua dengan Pak Niko, walau bersama asistennya, rasanya tidak etis. Walau beliau yang menawarkan. Sesampainya di kubikel, aku segera melahap es krim itu sendirian. Bahkan aku melarang Anjar ikut mencicipi. "Gendut baru tahu rasa lo." "Lo beli sendiri lah Njar." "Dasar pelit." *** Baru bekerja setengah hari, sakit kepala yang mendera masih saja langgeng bersarang. Ini karena stres belakangan ini sejak aku dan Kian berpisah hingga semalam bermimpi buruk. "Bangsat beneran tuh duda!" Geramku sambil memijat pelipis. Bahkan aku melewatkan traktiran makan siang gratis dari salah satu rekan kerja yang tengah
Aku bolak balik membuka ponsel tapi tidak ada tanda-tanda Kian membaca pesanku. Online saja beberapa jam yang lalu. Panggilanku pun tidak diangkat. "Ya Tuhan aku harus gimana?" Aku tidak tahu bagaimana ribetnya terjebak skandal kasus mega proyek namun yang jelas gosip dan desas desusnya cukup menyita atensi seluruh karyawan. Sedang aku yang sudah tidak bisa menunggu lebih lama akhirnya mengambil jalur pintas. Mengesampingkan apa yang Kian alami saat ini. Aku tidak tahu apa yang ia sibukkan secara detail jadi aku memberanikan diri merangsek masuk dengan cara memberanikan diri datang ke rumah kelahiran Kian. Nekat? Iya, aku tidak ada pilihan lain. Keadaan yang memaksa ku bertindak demikian. Tanpa sepengetahuan Kian karena menurutku percuma, ia tidak akan merespon dengan cepat. Hanya berbekal ingatan pernah ke rumah kelahirannya, aku dalam perjalanan menuju kesana menggunakan taksi. Beragam kalimat terbaik telah kusiapkan sepanjang perjalanan sebelum sampai sana. Aku tahu ini pasti
Aku mengucapkannya dengan jelas, dengan menatap mata ibu Kian. Tanpa keraguan dan tanpa kebohongan. Haruskah aku menyembunyikan hasil perbuatan kami berdua dari keluarga? Tidak! Setidaknya aku ingin Kian bertanggung jawab dan mulai mencintai darah dagingnya juga. Perasaan lega menyeruak dalam hati setelah mengatakan apa yang menjadi bebanku beberapa hari ini. Bagai petir disiang bolong, ibu Kian hampir tidak percaya dengan ucapanku. Beliau diam sambil memandangku penuh keterkejutan. Apakah setelah ini ia masih menyuruhku pergi? Padahal aku sedang hamil cucu pertamanya? "Apa tante masih tega menyuruh saya pergi? Pergi tanpa jawaban siapa itu Amanda?" "Apa bayi ini juga tidak berhak mendapat setitik kasih sayang dari nenek dan ayahnya?" "Atau haruskah dia hanya mengenal saya sebagai satu-satunya orang tuanya?" "Disini saya datang, mengemis cinta dan tanggung jawab dari Kian. Tidak peduli dengan harga diri saya sendiri tante." Air mataku luruh dengan dramatis dan itu tidak luput