"Kian, kenapa kita ke dalam pantry?" Aku menatap matanya yang menyiratkan makna lain. Ada yang berbeda ketika aku baru menyadari jika deru nafasnya berhembus lebih cepat. "Kian kita ---" Lalu dengan sekali gerakan, Kian mencium bibirku puas dan aku membiarkannya. Tanganku malah meremas kemeja batiknya yang makin menambah kegilaannya. Oh God! Paralio-ku sangat nakal sekali. Fantasi bercintanya sangat liar, berbanding terbalik dengan kewibawaannya saat berjalan tegap di kantor. 'Jadi ini maksudnya? Main celingukan dan sembunyi-sembunyi?' Batinku bertanya. Sadar dengan rasa lipstickku, Kian menghentikan ciuman kami lalu beralih ke leherku dengan tubuh saling menempel. Dadanya bergerak naik turun sarat akan gairah. Dan keras keperkasaannya makin memperkuat dugaanku. "Awh... Kian! Jangan di cupang." Tanganku bergerak menjauhkan wajahnya tapi dia segera mengunci kedua tanganku di balik tubuhku dengan satu tangan kanannya. "Lo nikmati aja Sha." Kian gila?! Menyuruhku menikmati cum
Aku tersentak ketika Kian bertanya apakah aku memiliki lelaki lain. "Kamu bicara apa sih Kian?" Kian menjauhkan tubuhku darinya. "Kenapa lo nolak make love sama gue? Jelas-jelas gue cowok lo. Kan itu artinya lo punya cowok lain." Aku menggeleng. "Nggak kok. Kata siapa?" Kian menghela nafas lalu berdiri. Menghidupkan shower sejenak mengguyur seluruh tubuhnya lalu melilitkan handuk di pinggangnya. "Kian?" Kian tidak peduli dengan panggilanku lalu keluar kamar mandi. Dengan cepat aku pun ikut mengguyur tubuh di bawah shower lalu memakai bathrobe. Mengabaikan rambutku yang masih setengah basah, aku berjalan cepat menghampiri Kian yang tengah menghisap sebatang nikotin di balkon kamar. Sejujurnya, aku tidak suka melihat Kian merokok. Dengan sikap yakin aku melangkah mendekatinya lalu meraih rokoknya. Tapi sayang, Kian menepis tanganku lebih dulu. "Kian, kamu salah paham." Kian menghembuskan asap rokoknya perlahan. Aku tahu jika Kian merokok itu artinya dia sedang kesal. "O
Memakai kembali gaun yang semalam menjadi penutup tubuhku kala menghadiri resepsi. Memoles wajah dengan sedikit make up lalu menghela nafas lelah. Penampilanku dari pantulan cermin terlihat tidak membahagiakan sama sekali. Lalu pandanganku beralih ke lima lembar seratus ribuan yang Kian tinggalkan di bawah ponselku. Pun, tidak ada pesan darinya sama sekali. Toh aku juga tidak berniat menghubunginya kembali. "Sudah selesai." Aku menengadahkan kepala untuk menghalau air mata yang hampir tumpah kembali. Dengan langkah pasti, aku keluar hotel lalu mengangsurkan lima ratus ribu itu pada seorang OB perempuan yang tengah membersihkan kaca lobby. Dia berterima kasih dengan penuh ketulusan sembari mendoakanku agar dekat dengan jodoh dan lancar rizkinya. "Tolong doakan saya selalu kuat menghadapi segala permasalahan ya bu." Itu pesanku padanya lalu berjalan menuju taksi yang sudah menungguku. Di dalam taksi, air mataku kembali luruh karena begitu terluka dengan perbuatan Kian yang se
Kian mengusap wajahnya berkali-kali dan menghela nafas."Sorry Sha. Gue emosi. Maksudnya, gue selama ini udah berusaha hubungin lo tapi nihil. Lo menghindar terus. Gue capek Sha! Belum lagi kerjaan di kantor dan bisnis gue. Gue bisa gila ditekan sana sini. Ditambah lo juga ikut-ikutan nekan gue."Aku menoleh dengan ekspresi tidak terima. "Aku nggak nekan kamu kok. Aku cuma berusaha bikin diriku bahagia. Tapi kalau kamu mikir aku nekan kamu, sorry kamu salah besar Kian.""Maksud lo?"Aku menahan air mata yang hampir luruh. "Kalau kamu laki-laki pengertian, harusnya kamu sadar diri Kian. Setelah kamu puas bercinta denganku di hotel, kamu pergi ninggalin aku begitu aja. Kamu pikir aku pelacur?!"Kian terdiam dengan raut melunak. Sedang mataku sudah berkaca-kaca tidak tahan dengan perdebatan ini."Kamu nggak bisa jawab kan?!"Aku tertawa sumbang lalu menyeka air mata. Konyol sekali rasanya!"Aku pikir pria dewasa lebih pengertian tapi penilaianku salah. Kamu lebih parah dari anak SMA yang
"Maaf Sha. Rado sakit." Mataku mulai menitikkan air mata. Mengapa harus Rado kembali yang mengambil perhatian Kian dariku. Memangnya apa yang membuat Rado begitu menginginkan perhatian penuh Kian? "Seandainya aku dan Rado sama-sama sakit, siapa yang akan kamu pilih Kian?" Keheningan sesaat itu membuatku yakin jika hubunganku dengan Kian harus disudahi. Aku bersumpah akan mengikuti saran Amelia untuk meninggalkan Kian. Ini janjiku! "Sha, lo kenapa begini? Rado itu adik gue. Dia lagi sakit. Gue kakaknya masak ninggalin dia di rumah sakit sementara kita berdua have fun?!" Suara Kian terdengar lebih emosional. "Aku cuma nanya Kian. Kenapa kamu jadi bentak aku?" Kian menghela nafas. "Sha please jangan bikin runyam. Lo harusnya bisa ngerti keadaan gue. Mana bisa gue jalan-jalan sama lo tapi adik gue sakit?" Ouw shit!!! Dia memikirkan dirinya sendiri dan melupakan bahwa aku, kekasihnya, juga seorang manusia yang dianugerahi hati oleh Tuhan. "Aku juga sakit Kian! Aku sakit! Walau bu
"Al, apa gue kelihatan nggak layak dicintai?" Ucapku dengan tatapan menerawang. "Layak sekali. Andai lo tahu." Nada suaranya serius, inilah yang kubutuhkan, bukan Alfonso yang cengengesan. Karena sejauh ini, usahaku mengejar Kian tidaklah singkat. Jatuh bangun dengan beragam masalah telah kulalui. Bukan tanpa ujung, tapi bukankah ujian hidup itu tidak bisa selesai dalam satu waktu? Melainkan Tuhan ingin melihat sejauh mana aku bisa mengatasinya. Aku tersenyum miris. "Tapi gue bego Al." "Sha." Alfonso memegang pundakku. "Lo berhak bahagia. Cinta nggak harus melulu tentang dia. Kalau dia nggak bisa ngerti dan ada buat lo, itu artinya lo harus mundur." "How do you know?" Aku menatapnya. "Your eyes tell me everything." "He left me Al. Again." Lalu aku menangis menumpahkan segala kekesalan di hati. "Saat gue udah berharap banyak ke dia, dia memperlakukan gue seakan gue nggak layak buat dihargai." Alfonso meraih tubuhku lalu didekap penuh kehangatan. "It's okay, it's okay." Lalu
"Tapi apa Mel?" "Tapi lo janji harus tegar. Gue nggak mau cerita kalau lo jadinya melow." "Gue janji." "Gue lihat Kian di rumah sakit waktu gue lagi nemenin temen kos yang lagi opname." Tempat kerja Amelia berada di kota kelahiran Kian. Aku hampir melupakan fakta itu. "Gue kira dia njenguk siapa, lalu gue iseng cari tahu, ternyata itu adiknya." "Namanya siapa?" Tanyaku memastikan. "Calarado Zimario Mahardika." Aku melebarkan mata tidak percaya ketika Amelia mengucapkan nama lengkap itu, seolah aku dilempar pada kejadian beberapa waktu lalu saat menemukan kuitansi atas nama itu. Tidak salah lagi!! 'Apakah Rado mengalami gangguan jiwa sampai harus berobat pada psikiater?' "Kenapa Drey?" "Lalu, apa lagi yang lo tahu Mel? Dia sakit apa kata dokter?" "Cuma tipes doang." Itu artinya Kian tidak berbohong jika Rado opname saat kami hendak ke pantai. Jadi itu sungguhan. "Tipes ya?" Amelia mengangguk. "Dan satu lagi, gue lihat Kian. Dia duduk sama cewek di depan kamar rawat in
"Kebanyakan walau tidak semua. Kenangan pahit di masa lalu sedikit banyak akan membawa dampak untuk masa depan. Apa lagi kehadiran mantan istri yang kembali mengusik." "Ayah, aku... mencintai... seorang duda." Ayah terkejut dengan pengakuanku. "Siapa dia nak? Kenapa kamu bisa mencintainya?" Aku menggeleng. "Aku nggak tahu kenapa bisa begitu mencintainya ayah. Tapi yang pasti, aku lelah menjalani hubungan ini." "Drey, dalam hubungan itu perlu komunikasi dua belah pihak. Kalau kalian ada masalah itu dibicarakan bukan saling menyalahkan. Lalu duda itu, bercerai atau bagaimana?" Aku menatap ayah gelisah. "Cerai yah." Ayah menatapku terkejut lalu menggeleng. "Lupakan dia Drey. Jangan mencintainya nak. Lihat ayahmu ini." Aku hanya bisa menunduk. "Drey, kamu anak perawan, kamu pantas dapat perjaka. Apa lagi kamu anak kebanggaan mama dan ayah. Kami sebagai orang tua ingin yang terbaik buat kamu nak." Andai ayah tahu kalau aku tidak bisa melepaskan Kian begitu saja karena kesucianku