Dewa tampak bingung. Akhirnya, dia ikut melihat ke tempat tidur. Seketika dia menepuk jidatnya. "Astaga. Itu punya Furi. Kayaknya dia lupa taruh di keranjang. Sumpah, aku gak ngelakuin apa-apa, Sayang." Dia langsung menjulurkan jarinya menyerupai huruf V.Tangis Nindi perlahan reda. "Kamu beneran gak bohong, kan?""Iya, Sayang. Aku gak bohong." Dewa seketika memangkas jarak dan langsung memeluk Nindi."Kamu yang sabar. Semua ini cuma masalah waktu aja." Dewa makin mendekap wanita itu.Melihat pemandangan menyakitkan itu, aku hanya diam seraya mencebik. Namun, dalam hati berpikir keras cara untuk menyingkirkan Nindi dan menaklukkan hati Dewa."Ya udah kalau gitu aku balik dulu." Nindi melerai pelukan Dewa."Oke, tunggu aku malam ini. Kita habiskan malam dan bersenang-senang."Hatiku kembali bergetar mendengar penuturan Dewa barusan. Apakah mereka akan bertemu malam ini? Jika benar, tak akan kubiarkan hal itu terjadi."Bener, ya. Jangan bohong lagi."Dewa mengangkat jari jempolnya. Kemu
"Halo, kenapa Mbak? Dewa udah tidur," ucapku pelan.Nindi malah balik marah dan tak percaya dengan ucapanku. "Kamu pasti bohong. Mana Dewa? Cepetan kasih teleponnya sama dia.""Kenapa? Udah gak sabar mau tidur sama dia, ya?" ledekku sambil tertawa."Kurang ajar kamu. Cepetan kasih sama Dewa," desak Nindi."Dewa beneran udah tidur. Kita habis aja---" Aku sengaja menggantung ucapanku begitu saja."Habis apa? Pasti kamu mau ngerjain aku lagi, kan?" Nindi langsung menutup telepon suara, lalu mengganti dengan panggilan video.Wah, dengan senang hati kuterima video call darinya. "Kenapa? Belum percaya, ya?" Kubuka selimut hingga menunjukkan sedikit bagian dadaku. Kemudian, kuarahkan kamera pada Dewa yang sedang tertidur. "Aku gak bohong, kan?""Gak! Gak mungkin Dewa ngelakuin hal menjijikkan itu. Aku gak percaya sama kamu." Nindi langsung memutus sambungan telepon.Setelahnya, aku terbahak-bahak. Namun, spontan kubekap mulutku sendiri karena khawatir Dewa terbangun. Seketika aku tersadar. A
"Kita sarapan di luar aja," jawabnya masih dengan suara serak, bahkan dia belum bangun dari tempat tidur.Seketika aku mengernyit. "Terus, makanan ini buat siapa?" Mataku menuju ke meja."Biarin aja di situ. Kita makan aja di luar. Sekalian jalan-jalan ke mana gitu."Aku sambil berpikir, tumben Dewa mengajakku keluar. Ah, pasti ada sesuatu di balik rencananya itu. Apa lagi kalau bukan ingin bertemu Nindi. Ck."Ya udah." Langsung saja kusetujui karena malas berdebat dengannya lagi.Kemudian, aku segera menuju kamar mandi. Selama di dalam, otakku tak henti berpikir. Seandainya Dewa mengajakku keluar hanya karena ingin bertemu Nindi, diriku harus menyiapkan sesuatu. Tenang, Furi. Kita ikuti saja permainan Dewa seperti apa.Setelah mandi, kulihat Dewa sedang menelepon. Melihatku datang, dia langsung menjauh. Kuduga dia menghubungi Nindi."Ya udah, tunggu aku di sana. Jam sepuluh aku meluncur." Dewa langsung mengakhiri panggilan. Kemudian, dia menuju tempatku berdiri. "Kamu semalam ngomong
"Jadi pergi gak nih?" Kuarahkan pandangan pada Dewa.Tampak dia sedang mengacak rambutnya. Sepertinya Dewa sangat kesal hingga pertanyaanku pun tidak dia hiraukan. Dia justru terfokus pada ponsel yang berada di genggamannya.Seketika aku termangu, hanya diam menatap wajah tampan Dewa. Seandainya saja pernikahan kami didasari cinta, pasti hidupku bakal sempurna. Namun, kenyataannya berbeda. Pemilik wajah tegas itu sangat tidak mengharapkan kehadiranku dan justru terang-terangan menjalin hubungan dengan wanita yang dia sebut cinta pertamanya di depanku. Sakit? Tentu sakit, tapi apa boleh buat. Aku cukup sadar diri. Diriku hanyalah ratu tanpa mahkota."Ya udah kalo gak jadi pergi." Kuayunkan tas hendak meletakkannya di atas meja.Namun, seketika Dewa menyambar tanganku dan membawa keluar. Usai mengunci pintu, tangan Dewa masih menyeretku hingga aku kesulitan untuk mengimbangi langkahnya yang panjang."Lepasin! Apa-apaan, sih, main geret-geret aja. Dikira aku ini maling?" Kuhempaskan tang
"Kamu niat pergi gak? Kalau mau asyik teleponan, ya mending tinggal aja." Dewa berbicara, tapi arah matanya tertuju pada layar ponselku."Kamu ngobrol sama cowok?" lanjutnya sambil memandangku lekat."Kenapa? Kamu cemburu?" Aku membalikkan pertanyaannya. Kemudian, kuambil kembali ponselku."Jangan GR. Aku gak bakal cemburu sama kamu." Dewa langsung beranjak menuju mobil dan segera masuk kendaraan tersebut.Sejenak aku mematung karena melihat Dewa masuk mobil tersebut. Biasanya kami diantar sopir, kenapa sekarang dia yang menyetir sendiri?"Kenapa diam di situ? Gak mau naik?" Dewa langsung menyalakan mesin mobil.Gegas aku naik dan duduk tepat di sampingnya. Kemudian, kuperbaiki posisi duduk sambil memangku tas kecil. "Kenapa kamu yang nyetir sendiri? Emang gak ada sopirnya?""Kenapa? Kamu ragu kalau aku yang nyetir? Tenang aja, aku gak bakal bawa kamu nyasar." Dewa menjawab sambil fokus melajukan mobil. Kemudian, dia mengambil ponsel yang diletakkan di dashboard.Seketika aku mendengk
"Siap, Ibu. Terus, kapan mau pemotretannya, Bu? Maksudnya mumpung kami ada di sini." Akhirnya Dewa ikut menyetujui. Kemungkinan itu hanya berpura-pura."Oke, Om. Sekarang boleh? Daripada saya harus bayar selebgram, ini kan ada tantenya. Jegeg." Bu Danton terus mengelus-elus pundak.Aku hanya mematung. Kulihat ke arah Dewa dia tampak sangat kesal, tapi berpura-berpura tersenyum di depan dantonnya. Kemudian, Bu Danton memanggil salah satu karyawannya. Mereka datang dengan membawa kamera. Setelahnya, kami melakukan pemotretan."Wah, Tante kayak model. Katanya Om tadi gak ada bakat jadi model? Ini namanya mah bakat terpendam, Om?" Bu Danton melirik ke arah Dewa."Oh, siap, Bu. Kayaknya seperti itu, Bu," jawab Dewa pelan.Aku hanya tertawa dalam hati melihat tingkah Dewa yang sangat lucu. Dia belum tahu siapa aku. Wanita yang dia hina dan hendak dia buang, kuyakin suatu saat dia akan menyesali semuanya.Usai pemotretan, kami kembali duduk bersama dan berbincang lagi. Tampak Dewa sudah tak
"Kamu udah pesan makan?" tanya Dewa.Aku mengangguk. "Udah. Kalian juga mau makan?" "Ya iyalah, emangnya kamu aja yang laper? Aku juga laper lah, apalagi habis belanja tadi. Yang, kakiku pegel banget, nih." Nindi bergelayut manja di lengan Dewa.Dewa menoleh ke Nindi. "Nanti kamu ke spa aja biar enakan badanmu.""Aku gak mau, Yang. Aku maunya kamu yang pijitin." Nindi masih bermanja-manja dengan suamiku.Melihat tingkahnya, rasanya aku ingin menimpuknya dengan tempat tisu di hadapanku ini. Tapi, itu semua tak akan menyelesaikan masalah. Justru Dewa akan ilfeel padaku. Satu-satunya cara melenyapkan wanita tak tahu diri itu, ya secara halus.Dewa langsung memesan makanan. Tak lama, pesananku datang. Tanpa memedulikan mereka aku segera melahap menu di hadapanku itu.Setelah makananku habis, pesanan Dewa dan Nindi datang. Karena tak tahan melihat kemesraan mereka, aku beralasan ke toilet karena berada di sini hanya seperti obat nyamuk. Kebetulan juga aku ingin buang air kecil, sejak tadi
"Kamu kenapa, sih, Sayang? Tiba-tiba, kok malah deketin perempuan kampungan itu?" protes Nindi kesal.Dewa sontak meletakkan jari telunjuk di bibirnya seraya memberi kode agar Nindi tak bersuara. Wanita itu hanya melenguh dan mengalihkan pandangannya ke tempat lain."Angkat gak ini?" Aku masih menimang ponsel seraya memandangi layar yang menyala karena panggilan dari Mami."Ngapain deket-deket aku? Kamu takut? Sana, duduk sama pacarmu aja," lanjutku sambil mendorong tubuh Dewa.Terpaksa lelaki berwajah tegas itu menuruti permintaanku dan kembali ke tempatnya semula. Mukanya tampak kusut. Sepertinya dia kesal dengan ucapanku. Namun, aku tak peduli. Segera kuusap tombol hijau ke atas dan panggilan dari Mami otomatis tersambung."Hai, Mami," sapaku sambil tersenyum lebar.Tampak Mami di seberang mengangkat tangannya balas menyapaku. Beliau juga seperti sedang memegang sesuatu."Mami lagi ngapain?" Mataku seketika mengarah pada Dewa dan Nindi.Suamiku itu tampak diam seperti kucing tersir