“Jadi kapan?”“Apanya?”“Beli rumah untuk kita?”“Hah?”“Kamu mau tinggal bareng Dhanis dan Tiara? Jadi obat nyamuk?”“Enggak, lah! Gila aja,”“Ayo beli rumah! Atau mau tinggal di rumah bunda? Tapi kita nikah dulu,”“Hilih modus!”“Ha ha ha,” tawa lebarnya menular kepadaku. ====================== Aku dan Mas Essa tiba di sebuah Mall di bilangan Jakarta Pusat, rencananya kami akan nonton dan makan malam bersama Bunda dan adik – adiknya Mas Essa, yang sudah lebih dulu sampai. Ini kali kedua kami jalan ke mall bareng, setelah kedatanganku ke rumah mereka dua bulan lalu.Saat tiba di lobby bioskop, kami berdua di sambut teriakan cempreng Adisti dan Arista, yang langsung menarik tanganku, agar terlepas dari genggaman tangan kakak sulung mereka. Mas Essa hanya mampu bercebik kesal, saat aku menoleh ke arahnya, mengarahkan pandangan iba sekaligus menggoda kepadanya.“Bun,” sapaku, seraya memeluk wanita yang selalu tampil cantik, di usianya yang tidak muda lagi ini.“Sayang, kok lama, sih?”
“Siap, Bun, besok sore juga mas sih siap, asal Zahra nya mau aja,”“Enggak besok sore juga, Mas! Kan perlu persiapan,” selak Bunda, menanggapi candaan Adriyan.“Gimana kalau bulan depan, pas ulang tahun Kak Zahra?” usul Adisti, yang disambut anggukan oleh Dania dan Arista.“Good Idea!” ucap Adriyan, tersenyum manis ke arah wanitanya, yang masih berada dalam pelukan ibundanya.=================POV AdriyanAku masih merasa ini adalah mimpi, mendapatkan persetujuan Zahra, untuk menikah denganku, adalah impian terbesar dalam hidupku, setelah kebahagiaan bunda dan adik – adikku. Tidak sia – sia rasanya, aku menunggunya dalam penantian panjang dan penuh ketidakpastian.Dua tahun ini aku menyalahkan diriku sendiri, karena tidak berusaha dengan keras, saat pak Aldian meminta Zahra menikah dengan anaknya. Terlebih, saat aku mengetahui Zahra tidak bahagia dengan pernikahannya, rasanya, aku menjadi pria paling jahat di muka bumi ini. Karena membiarkan wanita yang kucintai hidup menderita.Berta
Drrtt . . . drrtt . . . drrtPonsel Tiara bergetar, ada nama mas Damar di layarnya, membuatku dan Tiara saling berpandangan. Ada apa mas Damar menghubungi Tiara malam - malam begini?=================== Tiara membiarkan ponselnya terus berdering, dengan harapan akan mati dengan sendirinya, sejujurnya aku ingin Tiara mengangkatnya, ingin tau apa yang mau mas Damar bicarakan dengan Tiara, malam – malam seperti ini. Apakah ada hubungannya denganku, mengenai rumah atau justru hal yang lainnya.Setelah panggilan dari mas Damar di abaikan, selanjutnya giliran panggilan dari Jerryan, yang masuk ke dalam ponsel Tiara, kufikir Tiara akan mengabaikannya lagi, namun ternyata dirinya langsung menjawab panggilan tersebut. Tidak lupa aku meminta Tiara untuk menyalakan loadspeaker, agar aku juga dapat mendengar percakapan mereka.“Ya, selamat malam, Pak Jerryan, ada yang bisa saya bantu?” ucap Tiara mengawali pembicaraan.“Hallo, Tiara, ini saya, Damar, apa benar Safeea akan menikah dengan Adriyan
“Selama janur kuning belum melengkung, bukankah masih ada kesempatan bagiku untuk mendapatkannya?” elakku, menepis ucapannya.“Jika kau pelajari agamamu dengan baik, maka kau akan tau, Mar, jika wanita yang sudah dilamar pria lain, maka haram bagimu untuk melamarnya juga. Kau mau menyalahi ajaran Tuhanmu?” Ucap Jerryan tegas, membuat tubuhku terpaku karena ucapannya.=============== Ajaran agamaku katanya? Aku bahkan sudah lama tidak memenuhi kewajibanku, sebagai manusia beragama, aku yang hidup bebas, serta melanggar segala rambu – rambu dalam agamaku. Tidak mengindahkan seruan Tuhanku, bersikap sombong dengan apa yang kumiliki, berlagak aku mampu dan boleh melakukan apapun yang kuinginkan.Aku lupa, lupa jika aku adalah mahluk yang lemah, hidupku yang gemilang, berubah suram dengan mudah karena kuasanya. Kesombonganku tidak berarti lagi, ketika takdir-Nya sudah berlaku di dalam hidupku.“Setelah semua yang telah kamu alami saat ini, apa kamu masih enggan untuk benar – benar beruba
"Ini rumah siapa, Mas? bagus banget," tanyaku, enggan mengalihkan netraku dari rumah impianku dulu."Rumah kita, rumah ini akan kita tempati saat kita sudah menikah besok, kamu mau kan tinggal di sini?" Aku bergeming, demi mendengar penuturannya. Jadi rumah sebagus ini akan menjadi rumah kami nantinya? Benarkah?=============== Mas Essa membawaku untuk memasuki pagar rumah, yang kuncinya dia ambil dari dalam saku celananya. Ternyata benar, rumah ini miliknya, Mas Essa memiliki kuncinya.Memasuki rumah, aku dibuat kagum dengan interior, serta tata letak setiap ruangan di rumah ini. Semua terlihat pas di posisinya, aku masih terkagum – kagum dengan dapurnya, yang serba modern dan begitu lengkap. Aku terfikir, jika nanti, akan membuatkan makanan untuk Mas Essa setiap harinya, sama seperti yang dulu sering kulakukan untuk mas Damar.“Gimana, Zah? Suka, kan?”“Suka, suka banget malah, Mas. Terima kasih, ya,” seruku, seraya memeluknya singkat.“Kembali kasih, Tuan Putri. Aku senang sekal
“Kamu bercanda, Mar. Berulang kali kamu mengatakan kepadaku, jika kamu membencinya, kamu jijik jika harus berdekatan dengannya. Kamu selalu mengatakan jika kamu tidak akan pernah mencintainya,” selak Adelya, membalas sengit segala ucapanku. Aku enggan menjawab ucapanya, karena nyatanya, memang benar yang Adelya katanya. Dulu seringkali aku mengatakan hal yang Adelya barusan katakan, jika aku sangat membenci Safeea, dan tidak pernah menginginkannya ada dalam hidupku. Dan kini semua menjadi nyata, Safeea akan menikah dengan orang lain dan tidak berada dihidupku lagi.======================== “Mar, katakan padaku, apa yang bisa membuatmu berubah fikiran untuk tidak menceraikanku? Demi Tuhan, aku butuh usaha yang keras, agar bisa kabur dari rumah dan datang ke sini. Maaf jika aku membuat janin dalam kandungan Safeea meninggal, kita sama sekali tidak ada yang tau, jika dia hamil, aku minta maaf, Mar,”“Sekalipun diantara kita, tidak ada yang mengetahui mengenai kehamilannya, bukan berart
Adelya tertidur, nafasnya yang tadi memburu perlahan – lahan mulai teratur. Aku menatap iba wajah cantiknya, yang kini terlihat sembab, dengan lingkaran hitam di bawah matanya yang terlihat cekung.‘Aku memang membencimu karena perbuatanmu kepadaku, Del, namun melihatmu seperti ini, aku sungguh tidak tega. Andai ada hal yang bisa kulakukan untuk membuatmu menjadi lebih baik,’ kataku membatin, menyelesaikan memasang infus di lengan kanan Adelya.================== Aku masih berada di samping Adelya, yang kini sudah dipindahkan ke ruang rawat inap. Aku tidak ingin mengambil resiko, Adelya kembali mengamuk ketika sadar nanti, dan membuat keributan kembali di IGD, jadi kuputuskan untuk membawanya masuk ke ruang rawat inap. Agar dirinya bisa istirahat lebih nyaman tanpa gangguan.Kupandangi wajahnya yang begitu tenang, berbeda sekali dengan kondisinya tadi, saat dirinya mengamuk dan mengacaukan seisi ruang IGD. Ku yakin, besok akan ada berita besar mengenai kejadian tadi. Tadi aku sempat
Cukup lama waktu yang Dito butuhkan untuk menenangkan Adelya, hingga akhirnya dirinya berhasil membuat wanita berambut panjang itu tenang dan tertidur.Dito keluar, mencari keberadaan Safeea, yang ternyata menunggu di depan kamar, bersama kedua orang tua Adelya.“Dokter Saf, bisa kita bicara sebentar?” “Baik, Dok,” sahut Safeea, seraya mengikuti langkah Dito, menuju ke ruangannya.================ Dito mempersilahkan Safeea masuk ke dalam ruangannya, dirinya mencoba menebak, ada hubungan apa, antara dokter wanita yang banyak digilai pria ini, dengan wanita yang mengalami gangguan pada psikisnya tadi. “Dokter Safeea, bisa bantu saya mengurai benang kusut ini?” ucapnya pelan, tanpa basa basi. Safeea menarik nafasnya panjang, kemudian mengeluarkannya perlahan. Dirinya mengerti arah pembicaraan yang ditanyakan rekan seprofesinya tersebut. Dengan runut Safeea menjelaskan hubungannya dengan Adelya, sejak awal pertemuan mereka, hingga akhirnya dia menemukan Adelya, tidak berdaya di IGD t