Tanah sudah dibayar lunas. Nama kepemilikan pun sedang proses balik nama. Darren menyerahkan proyek pembangunan toko kepada ayah Arini, karena yang terpenting baginya adalah sesuai dengan konsep yang ia mau. "Jika uangnya kurang, Bapak hubungi saya saja," kata Darren. "Bapak rasa ini cukup, Den," ucap ayah Arini. "Bapak pastikan semua bahan bangunan menggunakan produk yang berkualitas.""Aden tenang saja. Saya akan mengawasi. Semoga hasilnya memuaskan.""Iya, semoga."Darren berencana jika pembangunan sudah sembilan puluh persen, ia akan membuka lowongan untuk warga sekitar. Konsep yang Darren usung diharapkan bisa menarik pembeli. Tidak hanya orang tua, tetapi kaula muda. Ya, Darren mengusung konsep toko berikut cafe. Dimana semua kalangan bisa menikmati aneka kue dengan harga terjangkau.Darren kembali ke desanya bersama Purwanto. ***Di toko, Rossi tengah disibukkan oleh pengunjung yang menurutnya keras kepala. "Sekali lagi saya mohon maaf, Pak. Selain karyawan saya yang terba
Tiga puluh hari sudah masa balik nama diproses. Tepat hari itu, kepemilikan tanah sudah sah menjadi milik Darren. Toko pun sudah sembilan puluh persen rampung. Banyaknya pekerja tentu saja membuat waktu pembangunan sesuai dengan target. Pencarian tenaga kerja sudah ayah Arini buka mulai dari pastry chef sampai tim keamanan. Hasil kesepakatan satu bulan yang lalu, dua hari lagi Darren dan Arini akan melangsungkan pertunangan. Darren mengesampingkan perasaannya. Cinta bisa tumbuh seiring dengan seringnya dua insan saling bertemu, saling bercengkerama, dan membiarkan hati satu sama lain menerima kehadiran masing-masing, bukan? Itu yang ada dalam pikiran Darren.Rossi yang sedari tadi mengintip di celah pintu yang memang tidak tertutup rapat, memerhatikan gerak-gerik Darren. Terdengar jelas olehnya embusan napas kasar yang ke luar dari mulut sang putra. Rossi mengendap masuk. "Ada apa, hem?" tanya Rossi sambil menepuk pundak Darren. Darren yang sedang berdiri menatap jendela pun mera
Arini memerhatikan Darren. Dirinya memastikan jika calon tunangannya itu benar-benar tidak peduli perihal Thalita. Pada kenyataannya, Darren lebih memilih membantu Abimanyu berdiri daripada meneruskan acara seperti yang Rossi mau. Pun dengan kedua orang tua Arini. Sedari awal mereka merasa ragu untuk menjadikan Darren sebagai menantunya. Mereka tahu jika Darren tidak memiliki kekasih. Akan tetapi, mereka tahu siapa Thalita karena Arini pernah bercerita. Sempat tersirat keraguan dalam hati ayah Arini mengenai perasaan Darren kepada putrinya. Namun, anak sematawayangnya itu meyakinkan bahwa Darren sudah melupakan Thalita. Melihat reaksi Darren tentang Thalita di depan mata, sudah menjawab keraguan itu. "Jangan seperti ini. Berdirilah, Tuan." Darren membantu Abimanyu berdiri serta memberikan saputangan. "Darren Gerald! Kembali berdiri di posisi semula!" titah Rossi. Darren tidak menggubris. Tergambar jelas raut cemas pada wajah pria itu. "Bisa ceritakan bagaimana kondisi Thalita saat
Rasa malu dan amarah menyergap diri Rossi. Tak segan ia meminta maaf kepada Arini dan keluarga besarnya. Menerima takdir dan memaafkan Darren, itu yang Rossi dapatkan dari keluarga besar Arini. Rossi merasa beruntung dipertemukan dengan keluarga yang sangat baik. "Bisa Ibu dan Tuan jelaskan, apa kalian saling mengenal? Dan kenapa Ibu dipanggil Nindy?" tanya Darren, sambil menatap mereka bergantian. "Ibumu yang berhak menjelaskan semuanya," kata Abimanyu. "Bu ..."Tidak ada sepatah kata yang keluar dari mulut Rossi. Ia bergegas menuju mobilnya diikuti oleh para karyawannya. Rossi mengacuhkan Darren. "Sebagian ikut bersama saya. Penuhi dulu mobil ini!" titah Rossi. Para karyawan itu saling menunjuk. Mereka berbalik segan kepada Rossi. Tin tin! Rossi membunyikan klakson pertanda mereka harus segera masuk.Lima orang karyawan memenuhi mobil Rossi. Wanita paruh baya itu segera tancap gas meninggalkan Darren. "Tuan ikut dengan saya saja," ajak Darren kepada Abimanyu. Abimanyu menga
Thalita mulai tenang. Angelina mengajaknya berbicara. Ia mengatakan jika Darren datang berkunjung. Nihil, Thalita tidak merespon dengan baik. Ia hanya menatap Angelina lalu menitikkan air mata. Angelina bergegas memanggil Darren. "Maaf, Nak Darren ... bisa temui Thalita sebentar?""Iya, bisa."Darren ke kamar. Ia berjalan perlahan. Menyadari penampilannya lain dari biasanya, Darren membuka jas, lalu menggulung kemeja sebatas sikut. Merasa tidak ada respon negatif, Darren meneruskan langkah sampai akhirnya duduk di kursi samping Thalita. "Halo, Sayang. Apa kabar?" sapa Darren. "Kakak datang untuk menjengukmu," sambungnya. Lagi, tidak ada respon dari Thalita. Wanita itu hanya menunduk dengan air mata yang terus menetes bahkan napasnya tersengal. "Sayang, sudah, jangan menangis lagi." Darren menggenggam satu tangan Thalita. Thalita merespon. Ia menatap tangannya yang Darren genggam. Sangat lama. Genggaman itu sungguh tidak asing bagi Thalita. "Ka-Kak Ge," ucap Thalita pelan. Dar
Sudah satu minggu Darren tinggal di Jakarta. Rossi sama sekali tidak bertanya kabar dan sebagainya. Pun sebaliknya. Wanita paruh baya itu justru tampil beda dari biasanya. Ia mengenakan pakaian lebih rapi dan merias diri. Lebih tepatnya, ia berpenampilan seperti dahulu, berkelas. "Pagi, Bu," sapa seseorang kepada Rossi. "Iya, pagi," balas Rossi tanpa menoleh. Ia fokus dengan buku yang sedang ia periksa."Ibu tampak cantik sekali."Rossi terdiam. Suara itu sangat tidak asing baginya. Ia pun mendongak. "Astaga, Arini! Apa kabar, Nak?" Rossi berdiri dan mendekati Arini. "Baik, Bu. Sangat baik."Keduanya berpelukan sambil bertanya kabar. Dua wanita berbeda generasi itu memilih berbincang di sofa yang ada pojok ruangan. "Rini masih jadi karyawan toko ini, kan?"Rossi tersenyum. "Tentu, tapi ... apa orang tuamu mengizinkan?"Orang Tua Arini justru meminta sang putri untuk bertanggungjawab terhadap pekerjaannya karena memang tidak ada ucapan dari Arini untuk mengundurkan diri kepada Ros
Tiba di rumah, Darren merebahkan diri sejenak. Ia akan kembali ke Jakarta untuk menemui Abimanyu perihal pertemuannya dengan keluarga Bagas. Ponsel Darren berbunyi pertanda satu panggilan masuk. Darren mengernyit karena nomor yang tidak ia kenali menghubungi. Maklum, ia hanya menyimpan nomor Rossi dan Thalita saja. Tidak ada yang tahu dengan nomor ponselnya selain mereka. Jarinya hendak menggeser gambar ponsel berwarna merah. Namun, ia urungkan. Digesernya gambar warnah hijau dan menjawab panggilan. "Halo," sapanya. "Akhirnya diangkat juga," kata seorang perempuan. "Maaf, ini siapa?"Rupanya Angelina. Ia tahu nomor Darren dari ponsel Thalita. Wanita paruh baya itu menghubunginya karena Thalita terus memanggil nama Darren. "Maaf, merepotkan. Bisakah bicara kepada Thalita? Apa saja. Yang penting Thalita bisa tenang.""Bisa, Tante. Dekatkan saja ponselnya."Darren meminta Thalita untuk beristirahat. Meskipun dirinya jauh, tetapi dekat di hati. Jika merasa sepi, lihatlah foto dirin
Mendengar cerita ibunya, membuat Darren merasa senang sekaligus kecewa. Senang karena sebenarnya masih memiliki ayah. Kecewa karena ternyata sang ayah lebih memilih wanita lain. Darren memaklumi saat dahulu ibunya mengatakan jika ia tidak memiliki ayah kalaulah itu alasannya. "Jadi, nama Ibu adalah Nindy?" tanya Darren. "Iya, nama Ibu Nindy. Tapi, Ibu lebih senang dengan nama Ibu yang sekarang. Karena selama menjadi Rossi hidup Ibu sangat bahagia. Hanya hidup berdua denganmu tanpa ada yang mengganggu. Ibu selalu bersama berharap kamu tidak dipertemukan dengan keluarga ini. Tapi, Tuhan berkata lain."Darren menatap Sadewo. "Jadi, Tuan ini adalah ayahku?""Tidak! Nindy sudah berbohong!" seru Olivia. "Benar!" timpal Abimanyu. Olivia menatap tajam Abimanyu, tetapi Abimanyu tidak peduli. Tidak ingin dipersalahkan, akhirnya Abimanyu membongkar kebusukan Olivia. "Foto dan video itu adalah editan. Olivia meminta seseorang untuk melakukan itu demi memilikimu, Dewo. Semula aku tidak tau. T