Jarum jam masih menunjuk pada angka lima. Bagas sudah terbangun. Gegas ia membersihkan diri. Di bawah kucuran shower, Bagas tersenyum puas mengingat kejadian semalam. Entah mengapa, ia merasa puas jika menyiksa Thalita terlebih dahulu. Dirinya merasakan sensasi lain. Tiga puluh menit berselang, ritual mandi selesai.Bagas membuka lemari miliknya. Sedikit tercengang, karena beberapa pakaian Marisa masih berada di sana. Gegas tangannya meraih dan membawanya ke luar. "Bi, tolong buang pakaian ini! titah Bagas kepada Inah --asisten rumah tangga. "Baik, Tuan." Inah pun berlalu. "Tunggu!" cegah Bagas, membuat Inah kembali menghadap. "Di kamar ada istri saya. Tolong layani dia dengan baik. Dan yang terpenting adalah jangan biarkan dia ke luar rumah!"Mendengar kata istri membuat Inah bengong. Bagas mengerti dengan sikap Inah. Pun Bagas mengatakan jika nanti akan ada paket yang ditujukan untuknya. "Berikan kepada istri saya!""Iya, siap, Tuan."Bagas pergi meninggalkan rumah. Tepat pu
Helena dan Sadewo baru saja tiba di sebuah kafe. Mereka menempati ruang VIP. Dua cangkir minuman menemani obrolan mereka. "Cepat ceritakan!" desak Sadewo. "Tapi, Papi janji dulu. Jangan sampe bilang tau dari Lena, ya?""Iya, kamu tenang saja.""Jadi, gini, loh, Pi. Dari mulai kasus foto mesum di kantor sampai terjadinya kecelakaan proyek hotel, itu adalah ulah Kak Bagas," ungkap Helena. "Tidak mungkin! Lagipula, apa tujuannya?"Helena mengatakan, itu semua karena rasa benci Bagas kepada Darren. Darren yang memang sudah merebut Thalita, pun disebut ikut campur urusan pribadi Bagas. "Tapi, sebagai perempuan, Lena juga pasti akan melakukan hal yang sama dengan Thalita, Pi. Cari pacar baru."Sadewo bergeming. Inilah jawaban atas kegelisahannya. Ia memenjarakan orang yang tidak bersalah. "Papi ke kantor polisi dulu," kata Sadewo. "Loh, Pi, pesanannya gimana?!"Sadewo tidak memedulikan teriakan Helena. Pria paruh baya yang masih terlihat gagah itu bergegas menuju parkiran. ***Tiba d
Tiga bulan sudah berlalu.Hari demi hari Darren lalui dengan hampa. Janji Sadewo waktu lalu ternyata tidak terjadi. Padahal, ia sungguh berharap karena teringat akan Rossi. Jangan tanyakan urusan cinta, karena Darren sulit melupakan Thalita. Apalagi, hampir setiap malam ia memimpikan Thalita yang seakan-akan meminta pertolongannya. Untung saja kesibukan di lapas membuat Darren melupakan sejenak masalah yang tengah ia hadapi. "Darren, ada tamu untukmu!"Darren menghela napas, kemudian ke luar dari sel. Mata Darren membulat sempurna melihat siapa yang berkunjung. "Tha-Thalita," sapanya. Thalita berdiri menyambut kedatangan Darren. Matanya berkaca, lalu berkata, "Kakak apa kabar?""Baik," sahut Darren. Keduanya duduk saling berhadapan. Pandangan mereka tidak lepas satu sama lain. Ada rasa rindu yang tidak dapat dibantahkan. Thalita memalingkan muka. "Maafkan aku, Kak," ucap Thalita, dengan bulir bening yang berhasil menetes. Darren tersenyum. "Tidak ada yang salah. Kenapa harus me
Pagi pun tiba. Sinar mentari hangat mampu menusuk kulit Darren yang saat itu sedang membersihkan rumput. Matanya merasakan perih karena semalam tidak tidur. Pun sakit di tangan mulai ia rasakan. Plak! Tepukan di pundak membuat Darren menoleh. "Istirahat saja. Ini biar Kakek yang bereskan."Darren tersenyum tipis. "Kakek saja yang istirahat. "Kau meragukan tenagaku, Anak Muda?!"Keduanya saling melempar senyum dan membersihkan rumput bersama. Di tengah kegiatan, Darren bercerita perihal dirinya meninju tembok. "Aku berharap orang kaya itu menepati janjinya, Kek," kata Darren. "Berdo'a saja. Kalaupun bukan orang kaya itu, siapa tau Tuhan menggerakkan hati orang lain untuk membantumu. Tidak ada yang tidak mungkin."Darren merasa tenang setelah mendengar ucapan sang kakek. Setelah kegiatan selesai, semua narapidana kembali ke sel untuk beristirahat sejenak sebelum mengikuti bimbingan selanjutnya. "Darren, kau dibebaskan!" seru seorang sipir sambil membuka kunci gembok. Darren, kak
Tiba di gang menuju kosan, Darren turun terlebih dahulu sedangkan Helena memarkirkan mobilnya di PT. Aji Jaya grup. Setelah lima belas menit Darren menunggu, Helena datang. Keduanya menapaki gang sempit di bawah terik matahari.Helena meraih kedua tangan Darren. "Gini, dong, Sayang. Aku, kan, kepanasan," kata Helena manja, sambil meletakkan tangan Darren di atas kepalanya. "Astaga!" gumam Darren. Mau tidak mau, Darren menuruti keinginan Helena. Tiba di kosan, Darren dan Helena disuguhi dengan tebalnya debu yang menempel di kursi bahkan lantai. "Uhuk! Uhuk!" Helena terbatuk. "Ya, ampun. Kita bersihkan sama-sama. Gimana?" tawar Helena. Tentu saja Darren tidak menolak ajakan itu. Keduanya membagi tugas dimana Helena menyapu dan Darren mengepel. Namun, ada sesuatu hal yang tidak Darren sukai, yakni Helena melepas foto Thalita yang terbingkai cantik di dinding. "Ingat! Sekarang aku pacarmu!" Helena membuang foto Thalita ke dalam tempat sampah. Darren hanya mengangguk dan lagi-la
Sudah satu minggu Darren berdiam diri di kosan. Rasa bosan dan kesal berhasil menyelimuti. Ingin mencari pekerjaan, tetapi harus yang berhubungan dengan Thalita, pikirnya. Tok tok tok! "Sayang, kau ada di dalam?!" "Astaga! Wanita itu tidak juga menyerah," ucap Darren, saat tahu siapa yang datang. Ya, dialah Helena. Itu adalah hari ke tujuh Helena mencari Darren. Darren yang memang sengaja tidak ingin diganggu sama sekali tidak membukakan pintu untuk wanita itu. Darren bermonolog, "Apa aku meminta pekerjaan saja kepadanya, ya? Tapi, apa?" Helena mengetuk kaca jendela, lalu berteriak, "Sayaaang!"Darren tersenyum licik. Terbersit dalam otaknya tentang apa yang akan ia lakukan. Berdiri di depan cermin, mengacak rambutnya sedikit, memasang wajah memelas dan lekas membuka pintu. "Say-"Helena tidak melanjutkan ucapannya ketika melihat mimik Darren. "Astaga, Sayang. Kau sakit?" tanya Helena panik sambil mengecek suhu tubuh Darren dengan menempelkan punggung tangannya pada kening si
Hari itu adalah hari pertama Darren bekerja. Lebih beruntung lagi ia diperbolehkan untuk tinggal di sana. Darren menempati paviliun. Tidak hanya sebagai tukang kebun, Darren dipekerjakan untuk mencuci mobil Bagas serta membantu Inah mengangkat barang berat. Tidak masalah, yang terpenting bisa memantau Thalita, pikirnya. Darren memulai hari dengan mencuci mobil Bagas. Setelah satu jam berkutat, pekerjaan itu akhirnya selesai. "Kerjamu bagus, rapi dan bersih," puji Bagas, kemudian masuk ke dalam mobilnya dan tancap gas.Darren melihat Thalita sedang menyiram bunga mawar. Gegas ia menghampiri. "Biar saya saja, Nyonya," kata Darren. Thalita menoleh ke arah suara dan melihat kanan-kiri memastikan tidak ada orang lain di sana. "Kamu siapa sebenarnya?"Darren tersentak, tetapi mencoba untuk bersikap tenang. "Maksud Anda apa, Nyonya?"Bukannya menjawab, Thalita justru balik bertanya, "Tolong jawab jujur. Kamu siapa?"Darren tersenyum. "Nama saya Doni, Nyonya."Tanpa kata, Darren menyamb
Siang berganti malam. Waktunya Darren beristirahat dari segala aktivitas.Segala rencana sedang Darren susun. Mulai dari mengikuti Bagas ke mana pun ia pergi sampai mengawasi Thalita di dalam rumah. Agar semuanya berjalan lancar, Darren sudah memutuskan akan meminta bantuan Inah. Pun dengan demikian ia harus membuka siapa jatidirinya. "Tapi, untuk membuntuti ke mana Bagas pergi tentu saja butuh akomodasi. Motor? Gak punya. Mobil? Apalagi. Duuuhhh!"Darren meraih ponsel yang ia simpan di atas kasur. Seingatnya masih ada tabungan dan masih cukup untuk membeli sebuah sepeda motor."A-apa ini?" Mata Darren membulat sempurna ketika melihat nominal tabungan yang tertera. Pasti ada yang salah, pikirnya. Ya, saldo yang tertera di sana mencapai hampir satu milliar. Gegas Darren mengecek mutasi rekening. Degh! "Tidak mungkin! Apa maksud semua ini?"Di sana sangat jelas tertulis nama pengirim 'Sadewo' dengan isi note 'Tanda maaf'. Darren mengangkat kedua pundaknya. Merasa ngeri. Ia takut t