Pagi pun tiba. Sinar mentari hangat mampu menusuk kulit Darren yang saat itu sedang membersihkan rumput. Matanya merasakan perih karena semalam tidak tidur. Pun sakit di tangan mulai ia rasakan. Plak! Tepukan di pundak membuat Darren menoleh. "Istirahat saja. Ini biar Kakek yang bereskan."Darren tersenyum tipis. "Kakek saja yang istirahat. "Kau meragukan tenagaku, Anak Muda?!"Keduanya saling melempar senyum dan membersihkan rumput bersama. Di tengah kegiatan, Darren bercerita perihal dirinya meninju tembok. "Aku berharap orang kaya itu menepati janjinya, Kek," kata Darren. "Berdo'a saja. Kalaupun bukan orang kaya itu, siapa tau Tuhan menggerakkan hati orang lain untuk membantumu. Tidak ada yang tidak mungkin."Darren merasa tenang setelah mendengar ucapan sang kakek. Setelah kegiatan selesai, semua narapidana kembali ke sel untuk beristirahat sejenak sebelum mengikuti bimbingan selanjutnya. "Darren, kau dibebaskan!" seru seorang sipir sambil membuka kunci gembok. Darren, kak
Tiba di gang menuju kosan, Darren turun terlebih dahulu sedangkan Helena memarkirkan mobilnya di PT. Aji Jaya grup. Setelah lima belas menit Darren menunggu, Helena datang. Keduanya menapaki gang sempit di bawah terik matahari.Helena meraih kedua tangan Darren. "Gini, dong, Sayang. Aku, kan, kepanasan," kata Helena manja, sambil meletakkan tangan Darren di atas kepalanya. "Astaga!" gumam Darren. Mau tidak mau, Darren menuruti keinginan Helena. Tiba di kosan, Darren dan Helena disuguhi dengan tebalnya debu yang menempel di kursi bahkan lantai. "Uhuk! Uhuk!" Helena terbatuk. "Ya, ampun. Kita bersihkan sama-sama. Gimana?" tawar Helena. Tentu saja Darren tidak menolak ajakan itu. Keduanya membagi tugas dimana Helena menyapu dan Darren mengepel. Namun, ada sesuatu hal yang tidak Darren sukai, yakni Helena melepas foto Thalita yang terbingkai cantik di dinding. "Ingat! Sekarang aku pacarmu!" Helena membuang foto Thalita ke dalam tempat sampah. Darren hanya mengangguk dan lagi-la
Sudah satu minggu Darren berdiam diri di kosan. Rasa bosan dan kesal berhasil menyelimuti. Ingin mencari pekerjaan, tetapi harus yang berhubungan dengan Thalita, pikirnya. Tok tok tok! "Sayang, kau ada di dalam?!" "Astaga! Wanita itu tidak juga menyerah," ucap Darren, saat tahu siapa yang datang. Ya, dialah Helena. Itu adalah hari ke tujuh Helena mencari Darren. Darren yang memang sengaja tidak ingin diganggu sama sekali tidak membukakan pintu untuk wanita itu. Darren bermonolog, "Apa aku meminta pekerjaan saja kepadanya, ya? Tapi, apa?" Helena mengetuk kaca jendela, lalu berteriak, "Sayaaang!"Darren tersenyum licik. Terbersit dalam otaknya tentang apa yang akan ia lakukan. Berdiri di depan cermin, mengacak rambutnya sedikit, memasang wajah memelas dan lekas membuka pintu. "Say-"Helena tidak melanjutkan ucapannya ketika melihat mimik Darren. "Astaga, Sayang. Kau sakit?" tanya Helena panik sambil mengecek suhu tubuh Darren dengan menempelkan punggung tangannya pada kening si
Hari itu adalah hari pertama Darren bekerja. Lebih beruntung lagi ia diperbolehkan untuk tinggal di sana. Darren menempati paviliun. Tidak hanya sebagai tukang kebun, Darren dipekerjakan untuk mencuci mobil Bagas serta membantu Inah mengangkat barang berat. Tidak masalah, yang terpenting bisa memantau Thalita, pikirnya. Darren memulai hari dengan mencuci mobil Bagas. Setelah satu jam berkutat, pekerjaan itu akhirnya selesai. "Kerjamu bagus, rapi dan bersih," puji Bagas, kemudian masuk ke dalam mobilnya dan tancap gas.Darren melihat Thalita sedang menyiram bunga mawar. Gegas ia menghampiri. "Biar saya saja, Nyonya," kata Darren. Thalita menoleh ke arah suara dan melihat kanan-kiri memastikan tidak ada orang lain di sana. "Kamu siapa sebenarnya?"Darren tersentak, tetapi mencoba untuk bersikap tenang. "Maksud Anda apa, Nyonya?"Bukannya menjawab, Thalita justru balik bertanya, "Tolong jawab jujur. Kamu siapa?"Darren tersenyum. "Nama saya Doni, Nyonya."Tanpa kata, Darren menyamb
Siang berganti malam. Waktunya Darren beristirahat dari segala aktivitas.Segala rencana sedang Darren susun. Mulai dari mengikuti Bagas ke mana pun ia pergi sampai mengawasi Thalita di dalam rumah. Agar semuanya berjalan lancar, Darren sudah memutuskan akan meminta bantuan Inah. Pun dengan demikian ia harus membuka siapa jatidirinya. "Tapi, untuk membuntuti ke mana Bagas pergi tentu saja butuh akomodasi. Motor? Gak punya. Mobil? Apalagi. Duuuhhh!"Darren meraih ponsel yang ia simpan di atas kasur. Seingatnya masih ada tabungan dan masih cukup untuk membeli sebuah sepeda motor."A-apa ini?" Mata Darren membulat sempurna ketika melihat nominal tabungan yang tertera. Pasti ada yang salah, pikirnya. Ya, saldo yang tertera di sana mencapai hampir satu milliar. Gegas Darren mengecek mutasi rekening. Degh! "Tidak mungkin! Apa maksud semua ini?"Di sana sangat jelas tertulis nama pengirim 'Sadewo' dengan isi note 'Tanda maaf'. Darren mengangkat kedua pundaknya. Merasa ngeri. Ia takut t
Malam sudah berganti pagi. Darren sudah meninggalkan rumah Bagas sedari subuh. Menaiki ojek online, pria itu kembali ke kosan yang ia tempati dahulu. Di sana masih tersimpan sebagian pakaian dan barang-barang miliknya yang lain. Pun dengan masa sewa yang masih tersisa beberapa bulan lagi, itu yang membuat ia enggan untuk membawa semua barangnya ke rumah Bagas. Darren menyusun jadwalnya hari itu. Pergi ke bank, membeli motor serta beberapa CCTV portable, menemui Sadewo dan mengintai Bagas. Jam yang melingkar di tangan sudah menunjuk angka delapan. Gegas Darren mengenakan kaos yang di dobel dengan jaket, dilengkapi dengan topi, masker dan kaca mata. Sesuai rencana awal, Darren berangkat ke bank. Setelah melakukan transaksi di bank, Darren bergegas ke showroom motor. Tidak perlu waktu lama, satu unit motor matic sudah menjadi hak milik. Ada sisa waktu satu jam tiga puluh menit lagi untuk dirinya menemui Sadewo. Di perjalanan menuju PT. Aji Jaya Grup, Darren singgah di sebuah toko. Pe
Benar, dengan apa yang dikatakan seorang office girl itu. Bagas ke luar dari hotel dua jam kemudian. Pun dengan ponsel sudah dalam genggaman Darren kembali. Lagi, Darren mengikuti ke mana Bagas pergi. Beruntung, ternyata Bagas kembali ke kantor dan dengan demikian, Darren bisa memasang CCTV di rumah Bagas dengan tenang. Darren kembali ke kosan. Ia menyalin rekaman pada laptop. Lekas, perangkat lunak itu disimpan ke dalam lemari. Setelah dirasa aman, Darren merapikan barang yang ia beli untuk dibawa ke rumah Bagas. Berdiri di depan cermin menatap wajah asli membuat Darren betah. Ya, bagaimana tidak? Memakai kumis dan jenggot membuat wajahnya lengket karena lem. Belum lagi dengan taburan make-up di sekitar mata. Darren menghela napas. "Baiklah, Darren si ganteng, akan berubah menjadi Doni si ... ya, tetep ganteng'lah."Celoteh yang ke luar dari mulut Darren menjadi teman sendiri selama merias wajah. Ponsel Darren berbunyi. "Helena," gumamnya saat melihat nama yang tertera di layar
Thalita meminta kepada Darren untuk tidak mencampuri urusan rumah tangganya. Ia tidak mau Darren terlibat masalah yang lebih dalam lagi. Sudah cukup satu kali Thalita melakukan kesalahan dengan melibatkan Darren yang mengakibatkan masuknya Darren ke dalam penjara. "Jika Bagas berubah, Kakak mundur!" tegas Darren. "Bagas memang seperti itu, Kak.""Itu gimana? Gila? Tidak waras?"Thalita hanya bisa diam. Pikirannya berkecamuk. Ketika melakukan dengan orang lain, Bagas menikmati bahkan terkesan memuaskan pasangan, tetapi dengannya jangankan memuaskan yang ada hanya menyakiti. Tidak hanya hati yang sakit karena dipaksa menikah, tetapi raga ikut menjadi korban. "Tapi, aku bahagia.""Bohong!""Terarah Kakak!" Thalita memilih pergi. "Kakak akan tetap di sini sampai Kakak melihatmu benar-benar bahagia!" teriak Darren karena Thalita sudah menjauh.Senang. Thalita tidak memungkiri itu. Pun tidak menampik jika dirinya merasa aman dengan hadirnya Darren. Thalita bermonolog, "Terima kasih, Ka