Sudah hampir dua bulan Darren berada di ruangan serba putih. Pagi itu, Darren sedang duduk bersandar pada ranjang pesakitan. Ya, satu minggu yang lalu, keajaiban Tuhan memberikan kesempatan kedua kepada pemuda itu. Dimana Darren bisa kembali bernapas untuk menjalani lika-liku hidup. "Sekarang, Ibu boleh bertanya?" tanya Rossi yang sedang mengupas buah apel. "Tanya saja, Bu," jawab Darren yang terdengar masih sedikit lemas."Apa kamu punya musuh?"Diam. Itu yang dilakukan oleh Darren. Matanya tidak berkedip seolah-olah menerawang dan mengingat. "Tidak ada. Tapi ...""Apa?""Mungkin kejadian ini adalah sebuah karma buat Ge."Rossi mengernyit. "Karma? Maksudnya?"Darren mengatakan jika dirinya sudah melanggar janji. Janji kepada Rossi bahwasannya ia tidak akan berhubungan lagi dengan keluarga Sadewo. "Astaga! Apa yang sudah kamu lakukan?"Darren menceritakan semuanya. Tidak ada satu hal pun yang ia tutupi. Rossi terduduk lemas. Dadanya terasa sesak. Sungguh ia kecewa kepada sang pu
Tidak ada sepatah kata yang ke luar dari mulut Darren selama di perjalanan. Akan tetapi, dalam pikiran tiada henti bergelut tentang hidup dan kisah cintanya."Semakin jauh jarak memisahkan kita, Thalita. Ah, tidak! Lupakan Thalita. Kamu berhak bahagia, Darren. Dia pun sudah bahagia dengan Bagas. Ya, semoga." Batin Darren. Di depan, tampak tugu selamat datang menuju sebuah desa di mana Rossi dan Darren tinggal menyambut.Darren mematikan air conditioner, lalu membuka kaca pintu. Embusan angin berhasil menyapu rambut dan wajahnya. Desa yang masih asri jauh dari hiruk-pikuk kendaraan maupun asap pabrik. Desa di mana Darren tinggal di sana sedari kecil. Lagi, batin Darren merangkai kata demi kata. "Di sini, di desa ini kisah sebenarnya yang akan kamu jalani, Darren!"Mobil terparkir tepat di halaman rumah bernuansa putih. Seketika lamunan Darren buyar. "Loh, kenapa parkir di rumah orang," imbuh Darren. "Ini rumah kita, Gerald!" kata Rossi penuh penekanan.Darren mengernyit, lalu perla
Sudah satu minggu Darren tinggal di desa. Dirinya sudah merasa jauh lebih baik. Ia tidak sabar untuk membangun toko kue. Semua konsep sudah ia tuangkan ke dalam kertas. "Bu, apa sedang menerima pesanan?" tanya Darren di sela sarapan. "Tidak. Memangnya kenapa?""Ge mau survei desa Arini itu, loh."Rossi menghentikan suapannya, lalu berkata, "Pastikan dulu kalo kondisimu itu baik-baik saja. Bulan depan saja setelah cek up.""Kelamaan, Bu. Lagipula Ge sudah merasa sehat.""Memang rencananya kapan mau survei?""Hari ini! Aku meminta Arini mengantar atau mungkin Ibu ikut juga?"Rossi terdiam. Ada baiknya juga Darren survei dalam waktu dekat. Lebih cepat pula putranya itu akrab dengan Arini. "Yakin kamu sehat, Nak?""Sangat yakin!"Melihat keyakinan Darren, Rossi mengizinkan Darren untuk survei hari itu. Darren meminta Rossi untuk menghubungi Arini agar segera bersiap. "Nanti, ketika Ge antar Ibu ke toko, kami langsung berangkat. Gak nunggu Arini bersiap dulu. Menghemat waktu," tutur Da
Tanah sudah dibayar lunas. Nama kepemilikan pun sedang proses balik nama. Darren menyerahkan proyek pembangunan toko kepada ayah Arini, karena yang terpenting baginya adalah sesuai dengan konsep yang ia mau. "Jika uangnya kurang, Bapak hubungi saya saja," kata Darren. "Bapak rasa ini cukup, Den," ucap ayah Arini. "Bapak pastikan semua bahan bangunan menggunakan produk yang berkualitas.""Aden tenang saja. Saya akan mengawasi. Semoga hasilnya memuaskan.""Iya, semoga."Darren berencana jika pembangunan sudah sembilan puluh persen, ia akan membuka lowongan untuk warga sekitar. Konsep yang Darren usung diharapkan bisa menarik pembeli. Tidak hanya orang tua, tetapi kaula muda. Ya, Darren mengusung konsep toko berikut cafe. Dimana semua kalangan bisa menikmati aneka kue dengan harga terjangkau.Darren kembali ke desanya bersama Purwanto. ***Di toko, Rossi tengah disibukkan oleh pengunjung yang menurutnya keras kepala. "Sekali lagi saya mohon maaf, Pak. Selain karyawan saya yang terba
Tiga puluh hari sudah masa balik nama diproses. Tepat hari itu, kepemilikan tanah sudah sah menjadi milik Darren. Toko pun sudah sembilan puluh persen rampung. Banyaknya pekerja tentu saja membuat waktu pembangunan sesuai dengan target. Pencarian tenaga kerja sudah ayah Arini buka mulai dari pastry chef sampai tim keamanan. Hasil kesepakatan satu bulan yang lalu, dua hari lagi Darren dan Arini akan melangsungkan pertunangan. Darren mengesampingkan perasaannya. Cinta bisa tumbuh seiring dengan seringnya dua insan saling bertemu, saling bercengkerama, dan membiarkan hati satu sama lain menerima kehadiran masing-masing, bukan? Itu yang ada dalam pikiran Darren.Rossi yang sedari tadi mengintip di celah pintu yang memang tidak tertutup rapat, memerhatikan gerak-gerik Darren. Terdengar jelas olehnya embusan napas kasar yang ke luar dari mulut sang putra. Rossi mengendap masuk. "Ada apa, hem?" tanya Rossi sambil menepuk pundak Darren. Darren yang sedang berdiri menatap jendela pun mera
Arini memerhatikan Darren. Dirinya memastikan jika calon tunangannya itu benar-benar tidak peduli perihal Thalita. Pada kenyataannya, Darren lebih memilih membantu Abimanyu berdiri daripada meneruskan acara seperti yang Rossi mau. Pun dengan kedua orang tua Arini. Sedari awal mereka merasa ragu untuk menjadikan Darren sebagai menantunya. Mereka tahu jika Darren tidak memiliki kekasih. Akan tetapi, mereka tahu siapa Thalita karena Arini pernah bercerita. Sempat tersirat keraguan dalam hati ayah Arini mengenai perasaan Darren kepada putrinya. Namun, anak sematawayangnya itu meyakinkan bahwa Darren sudah melupakan Thalita. Melihat reaksi Darren tentang Thalita di depan mata, sudah menjawab keraguan itu. "Jangan seperti ini. Berdirilah, Tuan." Darren membantu Abimanyu berdiri serta memberikan saputangan. "Darren Gerald! Kembali berdiri di posisi semula!" titah Rossi. Darren tidak menggubris. Tergambar jelas raut cemas pada wajah pria itu. "Bisa ceritakan bagaimana kondisi Thalita saat
Rasa malu dan amarah menyergap diri Rossi. Tak segan ia meminta maaf kepada Arini dan keluarga besarnya. Menerima takdir dan memaafkan Darren, itu yang Rossi dapatkan dari keluarga besar Arini. Rossi merasa beruntung dipertemukan dengan keluarga yang sangat baik. "Bisa Ibu dan Tuan jelaskan, apa kalian saling mengenal? Dan kenapa Ibu dipanggil Nindy?" tanya Darren, sambil menatap mereka bergantian. "Ibumu yang berhak menjelaskan semuanya," kata Abimanyu. "Bu ..."Tidak ada sepatah kata yang keluar dari mulut Rossi. Ia bergegas menuju mobilnya diikuti oleh para karyawannya. Rossi mengacuhkan Darren. "Sebagian ikut bersama saya. Penuhi dulu mobil ini!" titah Rossi. Para karyawan itu saling menunjuk. Mereka berbalik segan kepada Rossi. Tin tin! Rossi membunyikan klakson pertanda mereka harus segera masuk.Lima orang karyawan memenuhi mobil Rossi. Wanita paruh baya itu segera tancap gas meninggalkan Darren. "Tuan ikut dengan saya saja," ajak Darren kepada Abimanyu. Abimanyu menga
Thalita mulai tenang. Angelina mengajaknya berbicara. Ia mengatakan jika Darren datang berkunjung. Nihil, Thalita tidak merespon dengan baik. Ia hanya menatap Angelina lalu menitikkan air mata. Angelina bergegas memanggil Darren. "Maaf, Nak Darren ... bisa temui Thalita sebentar?""Iya, bisa."Darren ke kamar. Ia berjalan perlahan. Menyadari penampilannya lain dari biasanya, Darren membuka jas, lalu menggulung kemeja sebatas sikut. Merasa tidak ada respon negatif, Darren meneruskan langkah sampai akhirnya duduk di kursi samping Thalita. "Halo, Sayang. Apa kabar?" sapa Darren. "Kakak datang untuk menjengukmu," sambungnya. Lagi, tidak ada respon dari Thalita. Wanita itu hanya menunduk dengan air mata yang terus menetes bahkan napasnya tersengal. "Sayang, sudah, jangan menangis lagi." Darren menggenggam satu tangan Thalita. Thalita merespon. Ia menatap tangannya yang Darren genggam. Sangat lama. Genggaman itu sungguh tidak asing bagi Thalita. "Ka-Kak Ge," ucap Thalita pelan. Dar