Pagi menjelang. Thalita sudah membaik. Hanya saja masih terlihat lemas dan wajah pucat pasi masih tergambar jelas. "Sarapan dulu, Nyonya," tawar Inah, sambil menyimpan semangkuk bubur di atas nampan. "Iya, terima kasih, Bi. Oh, iya, apa Bagas sudah berangkat ke kantor?"Inah menepuk kening. "Sepertinya belum bangun, deh, Nyonya.""Loh, memangnya dia tidur di mana?"Inah tampak ragu untuk menjelaskan. Namun, akhirnya Inah bercerita tentang semua yang sudah terjadi. Thalita bergeming. Inah menggenggam tangan Thalita. "Jujur, Bibi senang dengan hadirnya Nak Darren di sini."Thalita menatap Inah. "Bibi sudah tau dia siapa?""Iya, dia sendiri yang bercerita karena misinya di sini yang tak lain ingin melindungi Nyonya. Andai saja suami Nyonya itu dia."Thalita tersenyum samar. "Tapi, takdir berkata lain, Bi."Inah menyudahi pembicaraan karena melihat Thalita murung. ART itu memilih membujuk Thalita untuk makan. Inah bernapas lega karena sang majikan menerima suapan darinya. Brak! Daun
"Stop!" teriak Helena, saat turun dari mobil. Ya, rupanya keluarga Sadewo dan Abimanyu turut ke rumah Bagas. "Hentikan, Kak!" Helena kembali berteriak karena Bagas tetap brutal. Sadewo dan Abimanyu melerai. "Pergi kau dari sini! Dasar pengganggu!" teriak Bagas. Tanpa bicara, Darren masuk ke paviliun hendak membereskan pakaiannya dan barang lainnya. "Uhuk! Sialan! Tunggu saja saat itu tiba, Bagas. Aku pastikan Thalita jatuh ke tanganku!"Pakaian dan barang lainnya sudah masuk dalam koper. Darren menaiki motornya di saksikan oleh Sadewo dan lainnya. "Ada ap-" Rupanya Thalita dipapah oleh Inah melihat situasi di luar karena mendengar kegaduhan. Thalita tercengang melihat kondisi Darren. Tidak ia pungkiri bahwa hatinya terasa sakit. Ingin rasanya ia menangis. "Sayang, kamu sakit apa, Nak?" tanya Abimanyu, menghampiri memecah perhatian Thalita. "Lita baik-baik saja, Pa," jawab Thalita santai.Darren melihat interaksi ayah dan anak itu, lalu berkata, "Tuan Abimanyu, jika Anda tida
Setelah menyelesaikan administrasi, Rossi dengan setia menunggu di luar ruang operasi. Tidak ada sanak saudara yang menemani karena memang ia hanya hidup berdua dengan Darren. Lantunan doa tak henti Rossi panjatkan. "Maaf, Nyonya, ini barang milik Tuan Darren," kata salah seorang perawat. Rossi menerima dua koper dan ponsel, lalu berkata, "Terima kasih."Tanpa dikomando, derai air mata membasahi pipi. Rossi mengusap air matanya saat melihat lampu ruang operasi mati. Wanita paruh baya itu berdiri di dekat pintu menunggu dokter ke luar.Tidak berselang lama, seorang dokter ke luar dengan memberikan keterangan pasiennya. "Bagaimana putra saya, Dok?" tanya Rossi. "Operasinya lancar. Hanya saja ...""Kenapa, Dok?""Pasien mengalami koma."Tubuh Rossi lemas dan ambruk ke lantai. Sang dokter dibantu oleh seorang suster memapah Rossi duduk di kursi. Dokter itu mengatakan jika Darren masih dalam pengawasan dan ia akan berusaha semaksimal mungkin untuk kesembuhan Darren. Rossi mulai tenan
Tiba di rumah, Thalita dipapah menuju kamarnya. "Di mana yang sakit sayang?" tanya Angelina. Menggeleng. Itulah jawaban Thalita. "Ya, sudah, kamu istirahat dulu saja, ya. Mama temani tidur di sini nanti."Lagi, Thalita hanya mengangguk, lalu merebahkan diri di kasur bergulung selimut tebal kesayangannya. Angelina meninggalkan kamar putrinya. Ia hendak ke kamarnya untuk mengganti pakaian."Bagaimana Thalita?" tanya Abimanyu. Angelina diam seribu bahasa. Abimanyu tidak menyerah. Ia mengikuti ke mana istrinya pergi. "Mama masih marah?"Angelina lagi-lagi diam. Ia mempercepat kegiatannya mulai berganti pakaian, kemudian menghapus make-up. "Aku bicara denganmu, Angelina!"Angelina menatap tajam suaminya, lalu berkata, "Masih mau memaksakan kehendakmu? Masih mau tidak menghargai pendapat istri? Masih mau mempertahankan harta dibanding darah dagingmu sendiri? Kamu itu egois!"Abimanyu terdiam. "Sudah aku katakan kemarin, bukan? Lebih baik tidak mempunyai suami sepertimu!"Angelina p
Keesokan harinya, Abimanyu melaporkan Bagas ke kantor polisi. Ia akan menggunakan bukti visum untuk memperkuat. "Baik, saya akan memerintahkan tim penyidik untuk meminta pihak rumah sakit melakukan visum terhadap putri Anda.""Terima kasih, Pak," ucap Abimanyu. Ia pun menjelaskan keadaan Thalita semalam dan mengatakan bahwa posisi Thalita sudah berada di rumah sakit karena kondisinya itu. "Oh, di rumah sakit mana?" tanya polisi. Abimanyu mengatakan jika Thalita masuk di salah satu rumah sakit terbesar di ibu kota. "Baik. Tim kami akan secepatnya merapat."Abimanyu pamit undur diri. ***Di rumah sakit, Thalita memaksa untuk pulang karena menurutnya dirinya dalam keadaan baik-baik saja. "Tidak, Nak. Mama ingin kamu melewati serangkaian pemeriksaan," kata Angelina. "Tapi, Ma ...""Tidak ada tapi-tapian!"Thalita tidak bisa berbuat apa-apa. Dirinya pasrah mengikuti kehendak Angelina."Dulu, kamu bilang akan belajar mencintai Bagas. Apa sekarang cinta itu sudah datang kembali?" tan
Di kantor polisi, Sadewo serta Olivia mendampingi Bagas. Pun dengan pengacara Bagas. Status Bagas sudah menjadi tersangka. Dari hasil visum sudah jelas bisa disimpulkan. Kepada pihak berwajib, Bagas menjawab semua pertanyaan tanpa berkelit. Sungguh enggan baginya hidup di balik jeruji. Membayangkannya saja tidak mau. Orang tua Bagas meminta waktu untuk berbicara dengan putranya. "Astaga! Mami tidak peduli kamu gonta-ganti wanita. Tapi, melakukan kekerasan terhadap wanita, jelas Mami mengutuknya! Apa kamu tidak sadar, hah? Kamu punya adik perempuan. Bagaimana jika itu menimpa adikmu?"Bagas mengusap wajahnya kasar. "Ya, gak tau, Mi. Yang jelas ada kepuasan sendiri buat aku ketika Thalita merasa kesakitan."Sadewo menggeleng. "Sakit! Kau itu sakit, anak bodoh!""Tidak bisakah kau membuat bangga Papi, hah?! Kenapa sikapmu berbanding terbalik dengan Papi, Anak siapa kau sebenarnya?" lanjut Sadewo kesal. Olivia terkejut dengan ucapan Sadewo. Ia pun turut angkat bicara. "Papi ini ngomong
Sudah hampir dua bulan Darren berada di ruangan serba putih. Pagi itu, Darren sedang duduk bersandar pada ranjang pesakitan. Ya, satu minggu yang lalu, keajaiban Tuhan memberikan kesempatan kedua kepada pemuda itu. Dimana Darren bisa kembali bernapas untuk menjalani lika-liku hidup. "Sekarang, Ibu boleh bertanya?" tanya Rossi yang sedang mengupas buah apel. "Tanya saja, Bu," jawab Darren yang terdengar masih sedikit lemas."Apa kamu punya musuh?"Diam. Itu yang dilakukan oleh Darren. Matanya tidak berkedip seolah-olah menerawang dan mengingat. "Tidak ada. Tapi ...""Apa?""Mungkin kejadian ini adalah sebuah karma buat Ge."Rossi mengernyit. "Karma? Maksudnya?"Darren mengatakan jika dirinya sudah melanggar janji. Janji kepada Rossi bahwasannya ia tidak akan berhubungan lagi dengan keluarga Sadewo. "Astaga! Apa yang sudah kamu lakukan?"Darren menceritakan semuanya. Tidak ada satu hal pun yang ia tutupi. Rossi terduduk lemas. Dadanya terasa sesak. Sungguh ia kecewa kepada sang pu
Tidak ada sepatah kata yang ke luar dari mulut Darren selama di perjalanan. Akan tetapi, dalam pikiran tiada henti bergelut tentang hidup dan kisah cintanya."Semakin jauh jarak memisahkan kita, Thalita. Ah, tidak! Lupakan Thalita. Kamu berhak bahagia, Darren. Dia pun sudah bahagia dengan Bagas. Ya, semoga." Batin Darren. Di depan, tampak tugu selamat datang menuju sebuah desa di mana Rossi dan Darren tinggal menyambut.Darren mematikan air conditioner, lalu membuka kaca pintu. Embusan angin berhasil menyapu rambut dan wajahnya. Desa yang masih asri jauh dari hiruk-pikuk kendaraan maupun asap pabrik. Desa di mana Darren tinggal di sana sedari kecil. Lagi, batin Darren merangkai kata demi kata. "Di sini, di desa ini kisah sebenarnya yang akan kamu jalani, Darren!"Mobil terparkir tepat di halaman rumah bernuansa putih. Seketika lamunan Darren buyar. "Loh, kenapa parkir di rumah orang," imbuh Darren. "Ini rumah kita, Gerald!" kata Rossi penuh penekanan.Darren mengernyit, lalu perla