Pikiran Arjun sama denganku, dunia ini tidak ramah. Cepat atau lambat kami akan mati, ntah itu diracun oleh Tante Fera atau kelaparan. Aku pernah menonton berita di TV, bibi membunuh ponakannya sendiri karena dendam. Mengubur ponakan hidup-hidup.
Aku merasa hidupku akan berakhir, tetapi tidak mau menyerah. Inilah sebabnya aku menyuruh Arjun pergi dari rumah, biar aku sendiri yang melawan mereka. Rupaya Arjun lebih memilih mati bersamaku dari pada hidup sendiri. Usianya masih 16 tahun, november nanti baru 17 tahun.Dia sulit bangkit dari trauma setelah kematian keluarga kami.Jika aku mati, Arjun tidak akan bisa bertahan. Meskipun raganya hidup, tetapi hatinya akan mati. Dia tidak mau hal itu."Kalau kamu sudah baikan, ayo cari jalan buat kabur lagi. Jangan mati di sini, malu kalau kita bertemu orang tua kita dengan keadaan menyedihkan.""Apa mungkin bisa?"Aku diam, tidak tahu harus menjawab apa. Gudang ini sangat pengap. Tidak tahu caranya keluar. Dua hari lagi pengacara datang, meskipun tidak ramah dan lebih memihak Tante Fera, tetapi tidak mungkin menemui kami.Di saat itu kami akan kabur atau menelpon polisi, mencari celah untuk bertahan. Tak apa meninggalkan semua harta, asal kami berdua selamat. Jika polisi datang, aku bisa membawa Arjun ke rumah sakit atau aku yang pura-pura sakit. Aku harap kami bisa segera kabur dari cengkraman Tante Fera."Hentikan!"Bruk! Prang! Suara terdengar kacau di luar sana. Arjun perlahan duduk, dia juga pasti mendengar teriakan di luar.Brak! Pintu gudang dibuka, terlihat wajah Tante Fera pucat. Napasnya terengah-engah."Cepat keluar dan usir orang itu!" Teriaknya.Aku tidak mengerti sama sekali, siapa yang datang sampai membuat heboh? Di belakang, ada Om Nurman. Sama pucatnya. Dia masuk dan menarik tangan Arjun keluar."Cepat keluar!" Teriak Tante Fera lagi.Perlahan aku berdiri menggunakan tongkat, Tante Fera tidak sabar dan menarikku hingga aku hanya bisa menyeret tongkat. Berjalan dengan satu kaki yang kesakitan.Arjun lemah tak berdaya habis dipukuli, dia cuma bisa pasrah ketika diseret Om Nurman yang badannya jauh lebih besar.Kami ke ruang tengah, Arjun dijatuhkan ke lantai hingga bunyi keras tulangnya menyentuh lantai."Akhirnya kau keluar," ucap seorang pria.Pria berbadan tinggi itu mengenakan jaket hitam, menyunggingkan senyum ke arah kami. Mata kami sempat bertemu. Di tangannya ada kepala Aldo yang sudah babak belur, sepertinya sekali gerakan maka leher Aldo akan patah. Pantas saja Tante Fera dan Om Nurman panik."Tolong kami," ucap Arjun, dia berdiri dan segera berlari ke arah pria itu.Sepertinya mereka saling mengenal, aku bingung. Tidak tahu harus bagaimana. Sementara Arjun begitu memohon kepada pria itu, apakah pria misterius itu datang untuk menolong kami?"Ayo pergi dari sini," ucapnya. Melempar Aldo hingga tersungkur ke lantai. Bisa dipastikan tubuhnya babak belur. Tante Fera memekik, segera berlari ke arah Aldo yang sudah tidak berdaya.Padahal Aldo adalah atlet tinju, pernah menjuarai turnamen nasional. Pernah juga mewakili Indonesia di kancah internasional, tetapi semudah itu dikalahkan?"Ayo Kak Yua, kita pergi." Arjun memegang tanganku.Mataku melihat ke arah pria misterius itu, dia menghentikan langkahnya dan berbalik menatapku. Saat itu tidak ada rasa apapun terhadapnya. Hanya seperkian detik, tiba-tiba jantungku berdebar tanpa alasan.Kupikir itu adalah debaran karena Allah memberikan peringatan tidak boleh memandang pria yang bukan mahram, tetapi tanpa aku sadari bahwa pria itu yang akan mengikatku dalam janji suci.Ketika dulu Mamanya memaksa menikahi Yua, Roan sempat menolak. Berteman dengan Farel sebagai penerus Candra Grup sudah cukup. Tidak perlu sampai menikahi anak kedua Candra Grup. Bagi Roan, pernikahan bukan hanya sebatas tentang relasi dan koneksi, tetapi harus mencintai seuumur hidup. Mamanya membujuk dengan sekuat tenaga supaya ia mau mengenal Yua, katanya gadis itu haus akan cinta dan naif, banyak manfaat menikah dengan Yua karena keluarganya terpandang dan bisa menguatkan posisi Roan sebagai Direktur utama Nathanael Grup. "Dia cuma gadis biasa, tidak menarik." Kesan pertama yang Roan lihat. Tetap tidak mau berhubungan dengan Yua. Pertemanan dengan Farel semakin akrab, dia jadi sering main ke rumah Farel dan bertemu Yua. Semakin lama Roan tahu bahwa Yua spesial. Selalu menundukkan pandangan dan taat dalam beribadah. "Kenapa nggak ke club seperti teman-temanmu, sekarang kamu 'kan sudah kuliah?" tanya Roan suatu waktu. Yua masih menunduk, dia membawa Al-Qur'an dalam dekapan. Hija
"Eh, yang benar aja. Dia masih kuliah, aku masih sibuk kuliah dan tahun depan baru lulus S2." Roan tidak mau terburu-buru, dia belum siap. "Tunangan aja dulu, nikahnya tahun depan.""Kalau pacaran dulu, trus tahun depan tunangan gimana? Terus nikahnya kalau Yua udah lulus kuliah. Kita masih muda banget buat hubungan serius. Umurku baru 22 tahun," jawab Roan. Umur Yua baru 18 tahun, baru masuk kuliah. Mana bisa bertunangan dan menikah. Terlalu buru-buru tidak baik, masih labil dan juga... dia belum yakin bisa menjadi suami. Yua juga masih terlalu muda untuk melahirkan anaknya, dia takut tidak baik untuk Yua. "Kalau gitu Yua bakal diambil orang, selama ini yang nembak Yua itu banyak. Lamaran buat Yua juga pasti sebentar lagi rame karna dia udah kuliah. Kalau nggak kamu keep duluan pakai pertunangan, udah pasti diduluin orang." Ucapan Farel membuat Roan galau, dia bimbang dan bingung. Ingin menghilangkan wajah Yua dari pikirannya. Namun, malah semakin melekat. Ditambah kecemasan te
Ada satu penyesalan yang tidak bisa Roan hindari, rasa bersalah yang membuat dia sulit tidur dan enggan menemui Yua. Andai waktu itu dia mau mengantar Farel dan Yua ke acara kelulusan Arjun, tentu Farel akan selamat dan Yua tidak cacat. Semua terjadi karenanya Penyesalan itu membuat hatinya begitu sakit, dia butuh waktu untuk sembuh dan melupakan Farel. Juga memberikan waktu untuk Yua bangkit. "Maaf karena aku tidak mengantar kalian," ucap Roan. Tepat setelah pemakaman dan menemui Yua di rumah sakit. Gadis cantik itu terpejam, masih tak sadarkan diri setelah operasi. Roan ingin minta maaf secara langsung ketika Yua sudah sadar. Namun, dia tidak bisa. Bibirnya kelu. Tahu bahwa Yua tidak akan menyalahkannya sama sekali. Roan juga tahu bahwa Yua sangat mencintainya, apapun yang dia lakukan Yua akan selalu cinta. Bahkan ketika dia menghindar dan bersikap dingin, Yua tetap perhatian padanya.Satu hal yang membuat keadaan sulit, yakni Mamanya minta pertunangan dibatalkan. Katanya Yua t
Sesampainya di rumah Arjun, ia bertemu gadis berkacamata. Memandangnya dengan kagum. Sorot mata wanita centil, Jexeon hafal, hidup lama di dunia hitam membuatnya mengetahui banyak hal tentang tipe manusia. Dan wanita di hadapannya adalah tipe wanita murahan.Tipe wanita seperti itu hanya mengincar uang dan ketampanan, tidak peduli apakah harga dirinya masih ada atau tidak. "Kamu cari siapa?" tanyanya. Melepas kacamata dan menyisir rambut dengan jemari."Panggil Arjun dan Kakaknya," jawab Jexeon tanpa basa-basi. "Oh, mereka nggak ada." Wanita itu mengalihkan pandangan ke arah lain dengan bibir manyun. Sekilas saja Jexeon tahu bahwa wanita itu berbohong, dia berjalan masuk ke dalam, melihat sekeliling dan mencari sendiri keberadaan Arjun. "Stop! Apa yang kamu lakukan?!" Gadis itu mencoba menghalangi Jexeon memasuki satu persatu kamar, namun segera ditepis, Jexeon tidak peduli sama sekali. "Kalau kamu kayak gini, aku bakal panggil polisi!" Ancam gadis itu. Tetap dipedulikan oleh Je
Lampu kota Jakarta menyala terang, seharian dikurung di gudang membuatku tidak sadar bahwa sudah malam. Beruntung tadi pagi datang bulan, jadi tidak perlu salat. Azan magrib terdengar. Mobil masih melaju kencang di jalan tol, andai memakai jalan biasa di jam pulang kerja seperti ini pasti terjebak macet. Aku melihat ke depan, pria berwajah dingin mengenakan jaket hitam masih tanpa ekspresi. Dari tadi tidak bersuara sedikitpun, hanya Arjun yang mengoceh tentang banyak hal. Dilihat dari sorot mata Arjun, sepertinya mereka kenal dekat. Tampangnya sangar, membuatku takut bertanya kenapa dia menyelamatkan kami? Siapa dia? Apa hubungannya dengan Arjun? Sekali lagi aku hanya bisa diam, tidak berani bertanya. Namun, siapapun pria misterius itu, dia orang sudah menyelamatkan kami. Satu hal yang pasti, dia orang baik. Paspor sudah di tangan, aku berniat mengajak Arjun keluar negeri sampai dia dewasa. Nanti kami bisa pulang ke Indonesia dan mengambil alih harta warisan dan aset yang dipegang
Mobil berhenti di rumah sederhana di kawasan pondok indah, memang tidak sebesar rumahku. Namun cukup nyaman, gerbangnya tinggi sehingga sulit ditembus. Kemungkinan kami akan aman di rumah ini. Tante Fera tidak akan menemukan kami dengan mudah. "Masuklah," ucap pria berjaket hitam sembari melempar kunci ke Arjun. Kami turun dari mobil dan melihat rumah yang lampunya belum menyala, sementara pria berjaket hitam pergi meninggalkan kami dengan mobilnya. Sikapnya sangat dingin membuat kami bingung. "Kamu lapar nggak, Jun?" tanyaku. Dari pagi kami belum makan. Pertanyaanku sungguh basa-basi sekali. "Lapar, Kak. Nanti aku beli makanan setelah taruh barang kita di dalam." Aku mengangguk, kami berjalan ke rumah. Membuka pintu dengan kunci dan menyalakan lampu. Ternyata rumah ini cukup bersih dan terawat. Anehnya kenapa pria berjaket hitam pergi? Apakah dia tidak tinggal di sini?"Jun, siapa pria tadi?""Namanya Jexeon," jawabnya. Melihat sekeliling. Mencari kamar. "Kamu kenal dari mana?"
Aku melihat mendung yang kini bertahta di langit Jakarta, tampak gagah tanpa goyah. Siap mengguyur wilayah di bawahnya. Sama seperti penantianku yang sudah sampai batasnya, berakhir tanpa bisa dicegah. Cincin tidak lagi melingkar di jari manis. Aku memejamkan mata dan merasakan angin dingin yang berembus. Banyak hal yang terjadi di hidupku, dari mulai kehilangan orang tua, kakak, paman dan sekarang tunangan. Ditambah kaki kiri yang digantikan tongkat. Tinggal Arjun yang aku punya, adik yang sangat aku sayangi melebihi nyawaku sendiri. Aku ingin menjaga harta satu-satunya itu. Jika Allah ingin mengujiku lagi dengan mengambil Arjun, maka aku tidak akan sanggup. Mungkin saja aku akan memilih pergi menyusul semua orang yang aku sayangi, pikiran yang berkali-kali aku tepis. Selalu berdoa semoga imanku kuat dan tidak goyang sampai melakukan dosa besar itu."Kok nangis, aku 'kan kuat?" Aku menghapus air mataku yang tiba-tiba menetes, bicara pada diri sendiri. "Anaknya Ayah dan Bunda, adik
Jodoh bukan tentang siapa cepat dia dapat, tidak bisa asal pilih karena pernikahan akan berlangsung selamanya. Tapi sekarang aku tidak bisa pilih-pilih. Asalkan seperti doaku tadi, kupikir tidak masalah siapapun dia. "Orang yang menerima kekuranganku," ucapku menunjukkan tongkat. Pasalnya Roan memutuskan pertunangan kami karena aku cacat. Sebenarnya aku bersyukur karena cacat sebelum menikah, jika tidak pasti aku akan diceraikan kalau setelah menikah fisikku berubah. "Hanya itu?" tanyanya lagi."Terus orang itu harus mau menjagaku dan Arjun dengan baik." "Kalau begitu aku." "Apa?" Aku tidak mengerti dengan ucapannya, dia beralih di depanku. Berdiri di antara hujan dan tempat berteduh."Menikahlah denganku," ucap pria yang ada di hadapanku. Tatapannya serius. Dia, pria yang baru aku kenal kemarin. Menghalangi hujan dengan punggungnya, membuat jaket hitam itu basah kuyup. Kepalanya menunduk, menatap mataku yang mendongak. Menyisakan jarak beberapa centi. Kaki kananku mundur, di