[Mas Hisyam sudah sampai tadi, sekarang tengah istirahat.] Membaca pesan dari nomor Hisyam itu tentu menimbulkan banyak pertanyaan."Mas Hisyam?" Artinya yang membalas itu ... Ah! Aku harus berfikir positif. Mungkin yang membalas adiknya atau sepupunya. Aku menenangkan diri, lebih baik aku tanyakan nanti kalau dia sudah bangun."Ayo, Sih!" Aku megajak Asih untuk segera masuk. Aku hari ini memilih untuk menggunakan kruk dari pada kursi roda. Terlihat lebih mandiri."Selamat pagi, Bu," sapa para pegawai begitu lewat. Sebagian sudah pada tahu jika aku CEO. Dari para karyawan yang bekerja selama Ayah menjabat dulu, kebanyakan mereka terlihat gigih dan ulet. Sangat berbeda dengan karyawan yang bekerja sekitar satu atau dua tahunan. Mereka yang kerja setelah kedudukan Mas Wahyu berkuasa. Rata-rata egois dan kadang suka asal-asalan.Tiba di ruanganku, tak lama Faizal masuk. Membawakan susu sesuai permintaanku. Iseng aku ingin mengerjainya sekaligus menguji kesetiannya pada kantor ini.Aku be
"Ini sedang di kamar, Syam. Kamu tidak sedang berbohong kan?" tanyaku langsung. Aku tak mau jadi beban dan terus kepikiran."Maksud kamu apa, Fi. Aku bohong apa?" Dia justru balik bertanya."Maaf, Syam. Aku sempat meraguakanmu." Jawabku jujur.Hening, tak ada sepatah kata yang terucap."Ya sudah dulu ya, Syam. Aku mau mandi!" Akhirnya aku memilih mengakhiri telfon."Ya sudah buruan sana mandi! Biar baunya wangi sampai sini.""Gombal!" Aku langsung mematikan telfon. Menutup album dan menyimpannya kembali pada lemari.Aku bersiap mandi dan menjalankan salat magrib. Aku duduk diatas sajadah sampai isya. Agar tak perlu wudhu lagi dan langsung melaksanakan salat isya setelah wirid dan ngaji.Pintu di ketuk. Asih bilang ingin memberitahu sesuatu. Tentu aku gegas membukanya walau dengan tertatih."Ada apa, Sih?" tanyaku padanya yang terlihat sedikit bingung."Ini, Bu Bos. Faizal nanyain rumah Pak Indra. Katanya dia datang ke RS dan sudah di bawa pulang!" Aku tersentak. Bagaimana ini, kalau d
Sepertinya merenungi diri atas apa yang kita alami percuma. Perlu untuk lebih hati-hati dan bijak dalam mengambil sebuah keputusan. Keputusan untuk dekat dengan Hisyam memang terlalu terburu-buru. Aku memang gegabah hanya karena mendengar keinginan ayah yang kurasa sedikit aneh. Ya ... Aneh. Seorang Indra Aji pangera pemilik AFI Mandiri, menjodohkan putri satu-satunya dengan seorang OB? Aneh bukan? Alasan apa yang mendasari semua itu? Apa hanya karena Faizal tekun beribadah, tanggung jawab dan sopan santun?Difikir tetap tak ada titik temu, tapi ... Sudahlah. Aku makin pusing jika memikirkan semua hal itu.Lebih baik aku tidur, dan setelahnya bangun untuk salat malam. Aku ingin Allah memberi petunjuk tentang pilihan Ayah itu.~~~~Gegas aku memasuki ruang rapat. Hari ini, Bayu sudah menjadwalkan beberapa pertemuan aku dengan klien membahas proyek yang memang sedang kita susun.Aku duduk membuka laptop. Mensejajarkan pada semua yang hadir.Setelah kujelaskan rincian dan niat kedepan
PoV LindaAku Linda Meliana. Yatim sejak kecil. Anak terakhir dari tiga bersaudara. Ayahku meninggal kecelakaan saat aku berusia lima tahun.Sejak umur tujuh tahun, aku ikut dengan Om Indra. Adik Ayah yang telah sukses dan memiliki perusahaan. Seperti kata Ibu, jika Om Indra akan menyayangiku selayaknya anak sendiri karena Om Indra hanya punya satu anak. Afi.Entah kenapa, walau hidup dengan mereka, tetap hati ini merasa jika mereka memperlakukan sedikit tak adil atau hanya perasaanku saja?Tapi ... Rasa itu sudah seperti mendarah daging, apalagi saat peresmian perusahaan. Om Indra hanya membawa nama Afi untuk namanya. Padahal, aku berharap jika namaku juga disematkan disana.Afi seperti sangat beruntung, berbeda denganku yang seperti hanya sebagai pelengkap. Terlebih saat Ibu Afi meninggal. Aku makin yakin jika aku akan tersingkir. Bahkan Om Indra pun sudah banyak berubah.Menginjak remaja aku semakin merasa kesepian. Hanya uang saja yang tak pernah kurang, bahkan biaya kuliah saja s
Linda meninggalkan rumah sebelum selesai membacakan semua yang tertulis. Aku sendiri di buat bingung oleh Ayah. Bagaimana dia membuat keputusan seperti itu? Kalau begini kan makin runyam. Sebenarnya Faizal di suruh menikah dengan aku atau Linda?Aku tak lagi fokus mendengar apa yang sedang dibacakan. Pikiranku lebih memilih jauh melayang. Menari dan memikirkan apa yang akan terjadi kedepannya."Kiranya sudah saya bacakan semua, Pak, Mbak. Surat ini belum masuk dalam surat wasiat. Ini masih bisa berubah karena beliau Pak Indra masih hidup dan dia bisa merubahnya sesuai keinginan." Notaris itu pengakhiri ucapnya sambil menatap ayah. Setelah itu ia pamit untuk pergi. Karena ia bilang masih banyak yang harus di kerjakan.Betul juga masih bisa berubah. Bahkan disini notaris tak menghadirkan pengacara. Artinya ...? Ah ... Sudahlah. Setidaknya aku sudah tahu apa yang menjadi incaran Linda. Dia pasti sekarang tengah bingung memutuskan sesuatu. Akankah dia mau menikah dengan Faizal? Laki-lak
Kenapa Faizal begitu? Kok aku merasa dia menghindar. Padahal aku memanggilnya untuk membantuku menghitung OB yang bekerja di sini."Apa saya kejar, Bu Bos?" tanya Asih yang tentu juga heran."Tidak usah, Sih. Biarkan saja.""Sedang aneh Faizal hari ini, Bu." Kembali Asih berpendapat."Yang namanya manusia, memang kadang memiliki hal yang aneh. Biarkan saja. Manusaiwi.""Mungkin sedang PMS, Bu, hahhaha ...." Asih terbahak-bahak.Aku hanya tersenyum. Kemudian memanggil OB lain yang kebetulan lewat. "Tolong bagikan kesemuanya ya!" Perintahku. "Kalau kurang boleh ambil lagi.""Terima kasih, Bu Bos. Saya pamit dulu antar semua ini."Aku menggangguk. Setelah itu memilih untuk kembali bekerja. Fokus pada urusan kantor yang lumayan membuat kepala ini terasa pening.Saat pulang kerumah, ternyata sudah ada Bulik Tuti. Dia menyambutku dengan ramah."Bulik, kapan datang?" tanyaku yang langsung memeluknya."Tadi siang, Nduk. Linda ngga ada di sini?" tanyanya kemudian."Tadi si dia kekantor. Tapi,
"Surat pencabutan tuntutan dari kepolisian?" Aku bergumam setelah membaca tulisan disana. Surat itu dilengkapi beberapa nama, dari penggugat bernama Permadi, dan tergugat Ayah. Kubaca segsama tentang apa arti surat itu. Surat yang kutaksir hampir dua puluh tahunan.Tertulis jelas jika itu surat gugatan atas sebuah kecelakaan. Disana juga ada nama ayah Linda beserta surat kematiannya dan satu lagi nama Ruri yang juga ada keterangan kematian. Ini artinya surat itu, adalah surat saat kecelakaan dulu. Aku mengembalikan foto seorang perempuan dan anaknya kedalam map. Memandangi wajah perempuan itu sekilas, kemudian menutup map dan kembali menatap tumpukan map yang berantakan.Hufh ...Aku keluar saat berjalan dengan map yang lumayan buanyak dan menabrak sesuatu. Hingga map ditangan ikut terjatuh berhamburan."Reno!" Pekikku saat kutahu aku telah menabraknya. "Punya mata ngga sih!" Aku sedikit nyolot. Nyatanya aku yang sedang kesusuahan membawa berkas dia malah yang ngga bawa apa-apa men
"Han-hantuuuu!" Aku dan Asih berkata bersama. Asih maju kedepan dan aku juga maju kedepan hingga akhirnya kami saling tubruk."Auuu!" Pekikku. Aku memegangi kening sedangkan Asih memegangi bibirnya. Memang Asih lebih tinggi dari pada aku. Cukup jauh perbedaanya. Dia memiliki tinggi badan yang lumayan sekitar 167 sedangkan aku hany 155. Asih berkulit gelap namun memiliki wajah yang manis dengan wajah oriental."Kamu ini gimana si, Sih?" gerutuku."Abis Bu Bos juga ngapain maju? Kan kamarnya disana!" Asih menunjuk kearah pintu kamar.Tak lama pintu kamar ayah terbuka. Reno dan Bulik Tuti keluar dengan sedikit heran. Aku kelimpungan. Malu jika aku ceritakan.Kulihat Bulik yang masih memegangi tissu untuk mengelap matanya. Artinya tadi yang menangis itu Bulik?"Tadi yang menangis itu, Bulik?" tanyaku saat Bulik mendekat. Aku yang masih terduduk bersama Asih langsung bergegas berdiri."Iya, Nduk. Bulik sedih sekali mendengar penuturan Mas Indra tentang semua yang Linda lakukan. Bulik menye