“Masalah apa lagi yang mau kau buat.” Kudengar suara itu dari ruang tamuku, jangan-jangan ada lagi masalah baru sepulang kami dari rumah Hana tadi siang.Segera aku menyusul pusat suara itu, dan kulihat bang Haris sedang bertelponan tapi entah dengan siapa.“Bang, baru telponanan dengan siapa?” tanyaku sedikit ragu. Kulihat suamiku masih mengepalkan tangan kanannya. Tampak dia sangat kesal dengan orang di telepon barusan. “Duduk dulu, yuk, biar kamu lebih tenang. Bentar aku ambilkan teh hangat, ya.” Sesaat kuambilkan teh hangat untuk Bang Haris supaya dia lebih tenang dan meredalah emosinya. “Ini tehnya, Bang.” Kusuguhkan teh yang masih panas namun sedikit hangat itu untuknya.“Makasih, ya, Dek.”“Gimana? Udah enakan?”“Udah.”Kugenggam tangan suamiku dengan tangan kananku dan sedikit kutepuk-tepuk punggung tangannya dengan tangan kiriku.“Aku gak habis pikir lihat Hana dan Jefri.” Bang Haris mulai angkat bicara. Kutatap sorot matanya tanda aku serius mendengarkannya bercerita. “Hana
“Hana!” balas Bang Haris dengan teriakan yang lebih lantang. “Apa maksudmu ucapkan perkataan itu!”“Aku udah capek sama semua penderitaan ini, jangan abang tambah lagi bebanku dengan menitipkan ibu sama aku!” Hana meronta-ronta seperti orang kerasukan.“Aku bukannya gak mau ngajak ibu ikut tinggal bersamaku, tapi ibu yang gak mau ikut aku!” sergah Bang Haris.“Aku gak mau tahu, ajak ibu pindah dari sini, aku gak mau dia jadi penambah bebanku di rumah ini!”Segera kuberjalan menuju kamar di mana ibu mertuaku berada. Tak kuindahkan lagi perkataan serta omelan adik iparku. Sepanjang kami berada di rumahnya, ia terus mengomel dan mengeluarkan ujaran kebencian. Aku seakan menutup telinga kiri dan kananku. Mengabaikan semua perkataannya.“Bang, semua perlengkapan ibu udah kubawa, kita pergi sekarang aja, ya,” ajakku tanpa menghiraukan Hana yang masih ngedumel.Masih terdengar jelas di telingaku ucapan pedas dari mulut Hana, tapi aku seolah menganggapnya tidak ada.“Heh, Kak, Bang! Kalian de
“Abang mau bicara apa?”“Makasih, ya, udah kembali teduhkan hati anak kita untuk menerima ibuku di rumah ini. Aku gak tahu harus berkata yang bagaimana lagi ke kamu. Kesabaranmu, ketulusanmu, kesetiaanmu dan semua hal baik tentangmu, mungkin gak mampu kubalas satu persatu.” Mata itu tampak berkaca-kaca menatapku yang berdiri di depannya.“Bang, aku ini istrimu, sudah sepantasnya selalu ada di saat apapun keadaan yang kamu alami. Aku memilih mencintaimu sejak dulu, hari ini, dan nanti. Tapi biar bagaimanapun, aku bukanlah makhluk yang sempurna, Bang.”“Bagiku kaulah yang paling sempurna, Dek.”“Enggak, Bang. Kamu salah bila menganggapku sesempurna itu. Aku juga pasti punya titik terendah yang mungkin dapat membuatku merasa lelah suatu hari nanti. Hingga tanpa kamu sadari, aku melakukan hal yang tak pernah kamu duga.”“Apa maksudmu, Dek?”“Aku juga hanya manusia biasa, Bang. Apalagi aku adalah seorang wanita yang mana segala sesuatunya berlandaskan hati. Beda dengan kalian yang menganda
“Ratih ... Ratih! Buka pintunya! Aku mau masuk.” Suara itu terdengar nyaring memanggilku dari balik pintu rumah sewa yang kami tempati kurang dari satu tahun pernikahanku.“Iya, Bu, maaf, ya, aku baru pulang dari Puskesmas, badanku sedikit lelah melayani banyak pasien di sana,” jawabku seadanya.Wanita tua yang tak lain adalah ibu mertuaku masuk dan melangkahkan kakinya ke dalam rumah. Bagaikan debt collector yang tugasnya menagih hutang para nasabah, begitulah tiap kali ia datang berkunjung ke rumah kami.“Di mana suamimu?” tanyanya ketus tanpa menoleh padaku sedikitpun, melirik ke setiap sudut ruangan.“Bang Haris masih ngajar, Bu, belum pulang.”“Terus habis pulang kerja gini, kau bermalas-malasan di rumah? Gak ngerti apa kalau suamimu itu cuman guru biasa! Harusnya kau pahamlah dan bantu suamimu, jualan, atau jadi tukang cuci atau pembantu rumah tangga yang bisa ngasilkan uang.”Aku hanya bisa terdiam tiap kali kalimat pedas itu terdengar lewat runguku. Padahal, aku dan suamiku ti
“Bagi harta warisan sama rata?” Maksudnya apa, Bu? Membagi harta warisan sama rata, dengan siapa?”Ibu mertuaku syok mengetahui siapa yang datang, dia berusaha berkilah agar anak lelakinya itu tak mencapnya buruk.“Haris, kok, ka-kamu pulang sekarang? Emang hari ini gak ngajar, ya?”“Ngajar, Bu. Tapi ponselku ketinggalan.Tak disangka, bang Haris kembali pulang untuk mengambil ponselnya yang tertinggal, tepat di saat ibunya menghardikku. "Tadi aku dengar, ibu bilang pembagian harta warisan sama rata, bisa jelaskan sama aku maksudnya apa, Bu?” tanya bang Haris sekali lagi.“Enggak, enggak apa-apa, kok. Udah dulu, ya, ibu mau pulang aja. Lagian, kan, kalian mau berangkat kerja. Ternyata waktu ibu gak tepat untuk berkunjung ke sini. Ibu mau bantu adikmu jualan aja, ya. Assalamualaikum,” ucapnya lalu pergi.Begitulah sikap mertuaku tiap dia hampir ketahuan oleh bang Haris. Hingga bang Haris menyangka bahwa akulah dalang yang mengadu domba antara ia dengan ibunya.“Tadi ibu ngomong apa aja,
“Itu ... itu!”“Pak! Pak!” teriak Haris pada bapaknya yang seketika itu jatuh pingsan. Tanpa buang waktu, Juriono dibawa ke rumah sakit untuk segera mendapatkan pertolongan.“Bagaimana keadaan bapak saya, Dok?”“Mohon maaf, Pak, karena kondisi fisik bapak sudah lemah, fisiknya sudah tak kuat untuk menerima berita-berita yang mengejutkan. Bapak anda terkena strok, Pak, kami turut prihatin, permisi," ungkap dokter yang menangani bapaknya.Painem yang turut mengantar suaminya ke rumah sakit, terlihat bahagia atas kondisinya saat ini. Painem senang sebab tak ada lagi orang yang berusaha menghalangi semua rencana buruknya.***Haris telah mengurus semua biaya administrasi selama bapaknya dirawat. Namun sebelumnya, Haris sudah menelponku dan memberitahukan semua yang terjadi hingga bapaknya masuk rumah sakit. Betapa aku sedih mendengar kondisi bapak mertuaku yang terkena strok.***Sepulangnya mereka ke rumah, Haris mengusulkan saran untuk pemulihan bapaknya.“Bu, apa gak sebaiknya Hana tin
“Bapak ....!” teriak suamiku dari dalam kamarDengan langkah tertatih, kuhampiri pusat suara bang Haris memanggil bapak dan apa yang kulihat juga membuatku berteriak yang sama.“Pak, kok, bisa jadi kekgini, sih, Pak?” “I ... ib ... u mu.” Berat bagi bapak mengucapkan sepatah katapun.“Ayo, Pak, ayo naik ke tempat tidur. Dek, tolong ambilkan segelas air putih di belakang, ya,” titah bang Haris padaku.“Baik, Bang.” Kuambilkan segelas air putih dan kuberikan pada suamiku. “Terimakasih, ya, Dek.” Bang Haris mengambil gelas itu dari tanganku dan memberikannya untuk bapak. “Pak, kok, bapak bisa jatuh di bawah kayak tadi? Terus ibu ke mana, Pak?”Hanya gelengan kepala yang bisa kami terima atas pertanyaan itu. Sangat sulit baginya untuk mengucapkan bahkan sepatah katapun. Tiba-tiba terdengar suara hentakan pintu yang sangat keras dari luar.GUBRAK!“Hei lelaki tua sekarat! Capek kali hidupku ini kau buat, enak-enakan aja kerjamu di rumah sedangkan aku nyari uang tuk ngurusi hidup kau yan
“Bang, aku ke dalam kamar dulu, ya,” jawabku menunduk guna menutupi air mata yang hendak berlinang.“Dek ....” Bang Haris tampak ingin menghiburku namun tak kuhiraukan. Aku terus berjalan tertatih menggendong bayi yang masih berusia dua hari.***Hari demi hari kujalani hidup seatap bersama seorang ibu mertua yang tak pernah suka denganku. Tak terasa sudah lima tahun kami tinggal bersama ibu dan bapak mertua. “Pak, hari ini bapak mau makan apa? Nanti biar kumasakkan, ini sekalian aku mau belanja ke pajak.”Bapak adalah mertuaku yang baik, meski sakit begini, dia tak pernah menyusahkanku dan juga suamiku. Hanya gelengan kepala yang kuterima dari bapak saat kutanya mau dimasakkan apa. Itu artinya, bapak tidak mau milih, apapun yang kubuat, pasti dimakannya.“Ya, udah, Pak, kalau gitu, aku ke pajak dulu, ya.” Kusalim tangan bapak mertuaku dan melangkah pergi ke luar rumah.“Dek, kamu mau ke pajak?”“Iya, Bang.”“Ya, udah, yuk, bareng aku aja. Nih, juga mau berangkat ngajar.”Akupun mena