“Ris ... Ha ... ris ....” “Bapak!” Haris menghampiri Juriono yang memanggilnya dari bilik kamar. “Bapak mau makan? Biar kusuapi, ya, Pak.” Juriono hanya menggelengkan kepalanya, “Ha ... ris, per ... gilah, ba ... pak restuimu untuk se ... ko ... lah la ... gi.” Juriono benar-benar kesulitan mengucapkan kalimat itu, namun ucapan itu benar-benar membuat Haris menitikkan air mata dan menguatkan tekatnya untuk terus melaksanakan niat awalnya. “Baiklah, Pak. Terimakasih, ya. Doakan aku, ya, Pak.” Juriono mengangguk. “Kalau gitu aku pergi, ya, Pak. Assalamualaikum.” Haris pergi meninggalkan rumah itu tanpa menoleh lagi ke arah orang-orang yang tadi menghinanya. “Dasar, anak misk*n, menantu pun misk*n, ot*knya pun ikutan misk*n, bukannya cari uang, malah kuliah-kuliah gak jelas kayak ngono!” cibir Painem. “Oh, iya, kalian tadi datang ke sini tujuannya apa?” “Gini, Bu, aku mau kawinkan Endi dengan Renata, pacarnya itu.” “Loh, tapi, kan, Endi masih masa pengobatan. Emangnya dia udah sembu
“Endi mau nikah?” Bang Haris tersentak dengan pernyataan ibu mertuaku.“Bu, Endi itu, kan, tanggung jawab Jefri, kenapa mesti Hana yang memikirkan semua. Dan aku gak habis pikir, ibu sanggup minta biaya itu dari kami. Harusnya itu bukan ....”“Alaaah! Aku gak butuh ceramahmu, Ris! Kau itu jangan terpengaruh sama binimu ini!” Belum selesai Bang Haris bicara, ibu langsung memotongnya dengan ejekan yang sangat menyudutkanku. “Pokoknya aku gak mau tau, kau harus kasih separuh dari harta warisan itu untuk adikmu. Dia butuh uang untuk biaya pesta anaknya.” Ibu pergi meninggalkan rumah sambil ngedumel, ‘ngapainlah dengerin bini misk*n koyo ngono, mantu melar*t, alaaah!’ Masih terdengar jelas di telingaku.***Sepulang ibu dari rumah kami, malamya bang Haris mengajakku berunding prihal sawah yang ada di seberang rumah kami. Sebenarnya sawah itu adalah hak warisan atas nama bang Haris. Meski bukan kami yang menggarapnya, namun itu kami sewakan kepada sanak saudara yang rumahnya tidak begitu ja
“Dek, dulu sebelum kita menikah, aku dan Endi benar-benar dekat, bahkan Endi sudah kuanggap kayak anak kandungku sendiri.”Dahulu di saat Hana melahirkan dan membesarkan anak pertamanya, aku selalu siap untuk membantu dalam segala kebutuhannya. Apapun yang dia minta, pasti selalu kuusahakan. Begitupun ketika Endi masuk sekolah. Selama masa sekolahnya, seluruh guru menganggap akulah bapaknya, bukan Jefri.“Kang, tolongin akulah, antar Endi ke sekolah, bapaknya entah ke mana tadi, gak nampak aku,” pinta Hana.Padahal saat itu aku sudah mau berangkat ngajar. Terpaksa kuputar balik motorku untuk antarkan Endi terlebih dahulu, soalnya arah kami berlawanan. Jaraknya itu bukan dekat, lumayan jauh juga untuk bisa sampai ke sekolahnya. Waktu itu, Hana dan Jefri masih tinggal di rumah bapak.Tiba di sekolah, Endi salamin aku, dan gurunya malah bilang bahwa sekitar jam sepuluh nanti ada rapat orang tua. Mau tak mau, aku harus pulang dulu untuk menemui Hana supaya dia panggil Jefri untuk mengik
“Bang, tiba-tiba aku kangen ibuku. Hari ini kita berkunjung ke rumah ibu, yuk!” ajakku di saat kami sudah jauh dari rumah ibu mertuaku.“Ayo, Dek. Kita juga udah lama gak ke rumah ibu, kan.”“Tapi kita jemput Masno dulu, ya, Bang,” pintaku. Bang Haris mengangguk. Kami pun pulang tuk menjemput Masno. Karena jarak antara rumahku dan rumah bapak mertua tak begitu jauh, aku tak khawatir bila harus meninggalkan Masno sendirian di rumah. Toh, lingkungan Puskesmas selalu ramai dengan orang, karena Puskesmas ini telah ada rawat inapnya.Sesampainya kami di rumah, kuketuk pintu dan kulihat dari balik jendela, Masno sedang menonton tv di televisi hitam putih, satu-satunya tv yang kami punya.“Assalamualaikum, Masno, kamu lagi nonton, Nak?”“Waalaikum salam, Bu. Ibu dan bapak udah pulang?” Segera ia berlari membukakan pintu dan menyalim tangan kami. Itu yang selalu kuajarkan pada anakku agar menghormati kedua orang tua.“Nak, kamu mau ikut, gak? Kita mau nengok nenek batak,” ajakku.“Mau, Bu,” j
“Kan, udah nenek bilang, jangan dekati lagi barang haram itu, kenapa kau masih bandel dibilangin. Kalau mau uang, bilang sama nenek, biar nenek kasih sama kau, tapi tolong jangan kau dekatin lagi barang-barang haram itu!” Painem terus menasihati cucu kesayangannya itu.“Udah sempat kau pakek barang itu, En?” tanya Hana tegas.“Belum, Bu!” jawabnya tanpa menoleh pada ibu dan neneknya.“Kalau gitu, ayo kita ke rumah calon istrimu, apa kata keluarganya nanti kalau kita gak datang.” Hana bergegas membereskan benda yang berserakan di kamar anaknya itu.TILILILITTILILILITTILILILIT“Halo.” Nomor asing tengah menghubungi ponsel Haris.“Halo, Wak, ini aku Lita.”“Oh, iya, Lita apa kabarmu, Nak?”“Alhamdulillah baik, Wak. Mami juga sehat, kan?”“Alhamdulillah, kami sehat semua, Lit.”“Wak, wawak lagi di mana? Bisa minta tolong?”“Minta tolong apa, Lit?”“Tolong antarkan ponsel wawak ke ibuku, aku kangen.”Ratih yang heran dengan siapa suaminya telponan, pun, bertanya dengan berbisik, “siapa
“Alaaah ... ngapain aku peduli sama menantu dan besan misk*n koyo ngono, cuih!” Painem terus menggerutu, Haris segera ke luar dan mengejar istri serta ibu mertuanya.“Bu.” Tak kusangka bang Haris bersimpuh di bawah kaki ibuku.“Maafkan atas sikap ibuku terhadap ibu dan Ratih barusan, ya.” Bang Haris nangis memohon maaf terhadanya.“Berdiri, Nakku, berdiri!” pinta ibuku. “Jangan kayak gitu, udahlah, ibu dan Ratih gak apa-apa. Me bage, Nakku?” (kan, gitu, Nakku)“Bang, kami pulang ke rumah sekarang, ya.” Kutarik tangan ibuku juga Masno dan berlalu dari hadapan bang Haris.***Setibanya kami di rumah, ibu dan aku masih saling diam. Tak ingin kumemulai pembicaraan tentang kejadian yang di rumah bapak mertuaku tadi.“Ratih, jujur kam sama ibu, bahagiakah pernikahanndu saat ini?”Sejenak ku diam tak bergeming, mengingat dulu kedua orang tuaku sempat melarangku menikah dengan bang Haris. Namun aku yang bersikeras untuk tetap menikah dengannya. Bagaikan menjilat ludah sendiri, aku malu bila h
“Aku ragu, kalau aku sebenarnya bukan anak kandung ibu dan bapak.”“Apa!” Sontak kuterkejut mendengar pengakuan suamiku yang sepertinya benar-benar putus asa dengan apa yang sedang dialaminya. “Bang, kenapa kamu bisa berucap demikian?”“Dengan semua yang kualami, menandakan kalau aku bukan anak kandung mereka, Dek. Bapak, mungkin karena bapak memang tipe orang penyanyang.” Tangis itu tetap mengalir dari sudut netranya.“Bang, sekarang abang istirahat aja, ya. Besok, kita antar ibu pulang ke rumah mak udaku di Pancur air.” Sengaja kualihkan arah pembicaraan kami agar ia segera menghentikan kepiluannya. Di pembaringannya, masih kulihat ia termenung, namun lambat laun, kedua netranya mulai menutup perlahan dilanda rasa lelah, kantuk, dan kecewa.***Pagi itu, seperti biasa, kusiapkan segala kebutuhan Masno untuk dia sekolah. Anakku sekolah kelas satu SD. Sengaja kusekolahkan di dekat komplek perumahan Puskesmas ini agar ketika jam pulang sekolah, aku bisa menjemputnya meskipun di saat a
“Tunggu!”“Bang Jaya?” sapaku heran melihatnya berjalan dari arah sana.“Haris, kam pulang aja, sana! Ratih dan ibu nanti abang yang antar,” ujarnya pada bang Haris.“Bang, hari ini abang ada jam kuliah, kan? Abang duluan aja, gak apa-apa, nanti aku belanja sama ibu aja.”“Oh, ya, udah, mari, Bang, Bu.” Bang Haris berlalu menggunakan motor jadulnya.“Bu, hari ini nginap di rumahku aja, ya,” tawar abangku.“Tapi, Nakku, nanti gak kerepotan rasa istrindu?”“Enggak, Bu. Lagipula, cucu-cucundu udah kangen semua sama kam.” Sejenak ibu terdiam dan menatapku bimbang. Kuanggukkan kepalaku sebagai tanda tuk menyuruh ibu nginap di rumah bang Jaya.“Ya, udahlah, kalau gitu. Septi, lain kali ajalah aku nginap di rumahndu, ya. Diajak Jaya pula aku nginap di rumahnya.”“Oh, uwai nyah adi bage,” (Oh, ya, udahlah kalau gitu) sahut mak udaku dari dalam rumah menuju teras. “Jadi, sekarang kalian pulang?”“Iya, Mak uda, ada hal penting yang mau kubicarakan sama Ratih,” jawab bang Jaya.“Oh, iya, udah. H