Share

5. Sebuah pertemuan

Andrea kembali teringat saat ia kembali mual saat berada di bandara. Tubuhnya lemas karena ia sendiri belum makan selain satu lembar roti di rumah Sarah. Tak sadar sudah lama berada di kamar mandi, ia ternyata telah ketinggalan pesawatnya.

Untuk penerbangan selanjutnya ia harus menunggu sekitar tiga jam. Berada di bandara pun tidak begitu aman menurutnya. Pulang ke rumah Sarah pun bukan pilihan.

Dengan tubuh lemas ia terpaksa berjalan ke arah food court yang ada di bandara. Ia perlu mengisi tenaganya. 

Saat sedang menikmati makanannya, seorang pria dengan setelan jas berwarna navy datang menghampirinya. Andrea langsung tegang, ia berpikir mungkin saja pria ini adalah orang suruhan Elov. Ingin lari tetapi pria itu justru menanyakan ibunya.

“Anda mengenal Ibu saya?” 

Pria itu mengangguk. Matanya melirik ke arah koper Andrea. “Kamu akan pergi?”

Andrea mengangguk lemah. Pria itu sepertinya paham apa yang terjadi dengannya. “Pergilah ke negara di mana ibumu berasal. Dia memiliki satu rumah sederhana yang sudah lama aku jaga. Jika membutuhkan sesuatu, jangan sungkan untuk menghubungiku.”

Sebuah senyuman terbit di bibir Andrea. Mungkin ini sudah jalannya. Di saat seperti ini ia bertemu dengan malaikat penolongnya. Semua berkat ibunya.

‘Sekarang kita punya tujuan, Nak. Aku tahu, kehadiranmu di rahimku tidak akan pernah sia-sia. Kamu bukan aib, aku mencintaimu,’ ucap Andrea dalam hati.

****

“Lulu, jangan berlarian, Nak!” 

Gadis kecil berusia lima tahun dengan manik mata sebiru langit cerah itu terus saja berlarian, ia dan anak lelaki kecil dengan mata biru keabu-abuan terus saja saling meledek.

“Levin, kamu jagain adik kamu. Jangan ikut berlarian sepertinya. Kita sedang berada di tempat ramai, tolong tenang sebentar,” tegur wanita dengan rambut panjang sebahu, sengaja dibuat ikal di bagian ujungnya hingga menambah kesan manisnya. 

Andrea menghela napas. Satu senyuman ia lengkungkan melihat polah kedua anak kembarnya yang persis seperti pria itu. Lima tahun yang lalu, berjuang seorang diri tanpa satu pun keluarga yang mendampinginya ia berhasil melahirkan dan membesarkan kedua anaknya tanpa kekurangan satu pun.

Ponselnya terus saja berdering sedangkan ia sedang mengantre untuk mendapatkan popcorn. Mau tidak mau ia harus menjawab panggilan tersebut dengan harapan anak lelakinya akan menjaga sang adik.

Luvina terus berlari, ia berpikir Levin masih meladeninya tetapi ternyata Levin tidak berada di dekatnya karena tadi saudara kembarnya itu tak sengaja melihat beberapa orang berpakaian rapi dan serba hitam. Ia berdecak kagum sampai lupa pada adiknya.

Menyadari sang kakak tidak berada di dekatnya membuat Luvina ketakutan. Ia mulai panik dan tak sengaja menabrak seseorang yang sedang sibuk bicara di telepon.

“Maaf, Tuan. Lulu tidak sengaja,” ucapnya hampir menangis.

Pria itu membuka kacamatanya lalu berjongkok melihat sosok kecil yang sedang meringis di kakinya. 

“Are you okay?” 

Luvina mengangguk lalu menggeleng. “Aku kehilangan Mama dan kakakku. Aku takut, Paman.”

Elov mengusap kepala Luvina dan tiba-tiba saja ia merasakan desiran aneh di hatinya. Ia tidak mengerti tetapi menyentuh anak kecil ini membuat tubuhnya bereaksi aneh.

“Baiklah, ayo kita cari mereka. Kamu tadi datang dari arah mana?” 

Luvina menunjuk tempat di mana tadi ia bersama kakaknya. Elov membawanya ke dalam gendongan sambil terus mencari jawaban atas apa yang tengah ia rasakan.

Andrea baru saja mengakhiri panggilan teleponnya, ia menghampiri Levin yang terlihat gugup. “Di mana adikmu?” 

Kepala Levin tertunduk dalam, persis seperti Andrea saat dalam keadaan takut. “Maaf Mama, aku tidak menjaga adik dengan benar. Dia hilang!”

Mata Andrea terbuka lebar. Dadanya terasa sesak, bagaimana bisa anaknya hilang. Dia masih sangat kecil dan harus mencarinya ke mana. Ia juga tidak bisa menyalahkan putranya karena Levin masih terlalu kecil untuk diberi tugas tersebut.

“Sekarang kamu tenang, kita cari Lulu bersama-sama,” ucap Andrea, ia memberikan senyuman untuk putranya yang ia tahu pasti sedang merasa bersalah.

Tangan mungil itu menggenggam tangan hangat Andrea. Keduanya berjalan sesuai arah yang ditunjuk Levin. Seharusnya Luvina belum terlalu jauh dengan kaki kecilnya itu.

Dari arah berlawanan Luvina yang merasa nyaman berada di dalam gendongan Elov juga terus memindai seluruh tempat, berharap bisa melihat sosok ibunya atau kakaknya.

“Ma, itu Lulu …!” pekik Levin. Bocah lelaki itu melepaskan genggamannya dari Andrea kemudian ia berlari ke arah Luvina. 

Tubuh Andrea kaku. Bagaikan disambar petir di siang bolong, saat ini ia melihat putrinya berada dalam gendongan Elov Graff, ayahnya.

Matanya tak sengaja beradu tatap dengan Elov, konsentrasi Andrea buyar, ingatan malam itu kembali berputar bak film di benaknya. Sekarang, mana mungkin ia bisa menghindar. Ia hanya bisa berharap semoga Elov tidak mengenalinya dan juga kedua anaknya.

Luvina turun dari gendongan Elov, ia berlari memeluk Levin. “Maaf Kak, aku nakal,” bisiknya.

Levin melepaskan pelukan. “Lain kali jangan seperti ini, Mama dan aku sangat cemas,” ucapnya begitu bijak.

Elov terpaku. Dua anak kecil di hadapannya ini membuat ia terdiam, apalagi bocah lelaki yang sangat sangat mirip dengan dirinya. Elov tidak bisa berbohong, bocah lelaki itu jelas meniru wajahnya diperkuat dengan warna bola mata mereka yang sama persis. Warna langka yang tidak sembarang orang dapat memilikinya.

Menyadari Elov mulai mengenali kedua anaknya, Andrea bergegas mendekat. Ia harus melindungi kedua anaknya, ia tidak mau Elov sampai mengenali mereka dan berujung dihabisi. 

Rasa trauma itu masih begitu melekat.

Mengapa juga kedua anaknya itu mengambil semua yang ada pada Elov sedangkan ia yang mengandung dan melahirkan mereka hanya mendapat hikmahnya saja? Belum lagi Levin, anak itu duplikat Elov Graff, siapapun akan langsung mengatakan jika mereka adalah pasangan Ayah dan Anak.

“Mama …,” panggil Luvina. Ia bergegas masuk ke dalam dekapan Andrea.

“Lulu, kamu baik-baik saja, Nak?” tanya Andrea, ia memilih mendekap erat tubuh Luvina untuk menyembunyikan ketakutannya.

“Um.” Luvina mengangguk, ia kemudian melepaskan pelukannya. “Paman itu telah menolongku, Ma,” tunjuknya pada Elov.

Manik mata Andrea bertemu dengan manik mata indah milik Elov. Andai ia tidak tahu sepak terjang lelaki itu, Andrea pasti akan kembali memuji ketampanannya. 

“Te-terima kasih, Tuan. Maaf sudah merepotkan Anda,” ucap Andrea, ia ingin segera pergi dari hadapan Elov.

Elov pun terkesiap. “Ah, oh ya. Tidak apa-apa. Dia anak yang manis, Nyonya,” jawab Elov tergagap, ia mengalihkan pandangannya pada bocah lelaki yang terus saja mencuri perhatiannya.

“Lulu, ucapkan terima kasih pada Paman itu sebelum kita pergi.”

Walau ia ketakutan luar biasa, tetapi Andrea tetap menanamkan kebiasaan baik pada kedua anaknya dengan tidak melupakan ucapan terima kasih pada siapapun yang sudah membantu mereka.

Luvina berjalan mendekat ke arah Elov, dengan satu tangannya ia memberi kode pada lelaki itu untuk berjongkok menyesuaikan tinggi badan mereka. Elov yang tidak biasa diperintah ini justru dibuat takluk oleh gadis kecil yang tak tahu jika di belakangnya sang ibu sedang ketar-ketir.

Satu kecupan di pipi Elov Luvina hadiahkan sebagai ucapan terima kasih. Elov memegangi pipinya yang terasa hangat dan lagi-lagi desiran aneh itu mengganggu hatinya.

“Terima kasih, Paman. Lulu pamit dulu ya,” ucapnya kemudian ia berbalik dan menggenggam tangan Andrea bersama Levin.

Demi menjaga sopan santun, Andrea tetap mengangguk sebelum meninggalkan Elov yang masih berjongkok sambil menatap tiga punggung yang perlahan menjauhinya.

‘Siapa mereka? Mengapa kedua bocah itu begitu mirip denganku. Apakah mereka adalah ….’

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status