“Maaf, penampilanku sedikit berantakan,” ucap Renata ke Kasih karena merasa tidak bisa maksimal menghibur tamu yang datang.“Tidak masalah. Kamu jangan cemas, tidak akan ada yang menyadari kekuranganmu. Bagiku kamu menampilkan musik dengan luar biasa,” ucap Kasih memuji.Renata tidak enak hati, padahal dia yakin jika Kasih pasti tahu kalau dia gugup. Renata sendiri tidak tahu, kenapa mendadak gugup.“Re.” Stef langsung menghampiri Renata yang sedang bicara dengan Kasih.Renata menoleh ke Stef, begitu juga Kasih dan Dean. Kasih tentunya tahu kalau Stef adalah saudara Dean.“Kamu kenal Renata?” tanya Kasih keheranan.Stef menatap Renata dengan seulas senyum, kemudian kembali memandang Kasih.“Iya, Kak. Dia teman kuliahku, bahkan kami berteman sejak SMA.” Stef menjelaskan.Kasih cukup terkejut, selama ini Renata tidak pernah memberitahu dari mana asal usulnya, hingga membuat Kasih tidak menyangka jika Renata dulunya satu kota dengan Stef.Renata melipat bibirnya, bertemu dengan Stef, lam
Renata menutup mulut mendengar Dhira bicara sambil menangis, hingga membuatnya menatap Evan yang ada di depannya.“Ada apa?” tanya Evan yang melihat Renata begitu terkejut.Renata tidak menjawab pertanyaan Evan. Dia pun mencoba menenangkan putrinya terlebih dahulu.“Iya, mama akan pulang sekarang. Kamu tenang, tetap di sana bersama Dharu, ya.” Meski Renata begitu cemas, tapi dia berusaha untuk tetap tenang demi Dhira.Evan tidak sabar karena Renata tidak menjawab pertanyaannya. Dia pun kembali melontarkan pertanyaan.“Ada apa, Re?” tanya Evan. Dia mendadak cemas karena mendengar Dhira menangis dan tidak mendengar jelas apa yang dikatakan setelahnya ke Renata.Renata mencoba tenang, hingga kemudian menatap Evan sambil mengembuskan napas panjang.“Dharu mimisan dan dibawa ke rumah sakit karena badannya sangat panas. Aku harus pulang,” ucap Renata kemudian bersiap melangkah melewati Evan.Evan sangat terkejut, lantas menahan lengan Renata sampai berhenti.“Kamu mau pulang dengan apa mala
“Dharu kenapa, Bibi?” Dhira masih menangis melihat Dharu yang sekarang terbaring dengan selang infus menancap di kulit tangan. “Kok Dharu keluar darah, badan Dharu panas. Dharu ga kenapa-napa, ‘kan?” Dhira benar-benar mencemaskan kondisi kakaknya. Bibi Santi pun memeluk Dhira, kemudian menatap Dharu yang sedang menunggu ruang inap disiapkan, mereka masih di UGD. “Dharu baik-baik saja kok. Mungkin Dharu tadi kecapean, bukankah tadi Dharu main terus sama Dhira, jadi capek terus panas,” ucap Bibi Santi menjelaskan. Dhira menatap sang kakak, kemudian mengangguk pelan. “Mama sudah mau pulang, ‘kan?” tanya Dhira dengan suara pelan. “Iya, tadi ‘kan Dhira sudah bilang kalau Mama disuruh pulang, jadi sekarang pasti dalam perjalanan pulang,” jawab Bibi Santi. “Bi, Dhira ngantuk,” ucap Dhira lagi, sebelum kemudian menguap. “Ya sudah, sekarang tidur dulu. Nanti bibi gendong,” kata Bibi Santi. “Dhira mau bobok di sebelah Dharu. Kalau Dhira sakit, Dharu selalu bobok di samping Dhira buat ja
Renata berjalan cepat menuju ke ruang inap Dharu. Dia sudah menghubungi nomor yang biasa digunakan Dharu dan yang menjawab Bibi Santi.“Kamarnya di depan,” kata Evan yang sudah melihat nomor kamar yang diberitahu Bibi Santi.Renata mengangguk, kemudian mempercepat langkah dan langsung masuk begitu saja. Mereka melihat Bibi Santi yang masih terjaga sambil memangku Dhira, sedangkan Dharu sendiri berbaring dengan tangan terpasang selang infus.“Bi.”Bibi Santi menoleh dan melihat Renata datang. Dia lega karena Renata cepat pulang, padahal awalnya tidak yakin karena Renata pasti susah mendapat transportasi di malam hari.“Bibi pikir kamu akan datang besok,” ucap Bibi Santi.“Aku tidak mungkin tenang kalau pulang besok, Bi.” Renata mendekat dengan wajah cemas.Tatapan Bibi Santi tertuju ke Evan, lantas menatap Renata seolah sedang melontarkan siapa pria yang bersama Renata.“Biar aku yang gendong Dhira.” Evan mengambil Dhira dari pangkuan Bibi Santi.Wanita itu tidak mencegah, karena Renat
“Kenapa kamu bicara seperti itu, aku tidak pernah memaksamu,” ucap Evan berusaha bersikap lembut, karena bagaimanapun Dharu sedang sakit, dia pun tidak punya hak bicara keras ke anak itu.“Kamu memang bisa menyembunyikan dari Dhira dan Mama, tapi tidak denganku. Aku tidak bodoh, aku tidak akan menerimamu sebagai papaku.” Dharu memalingkan wajah ke arah lain karena enggan menatap Evan.Evan terkesiap, semakin bingung dengan ucapan Dharu.“Dharu, jika aku salah, aku minta maaf. Tapi jelaskan, kenapa kamu berkata seperti itu? Apa yang aku sembunyikan?” tanya Evan yang tidak bisa menebak maksud Dharu.Dharu menoleh ke Evan, hingga kemudian menjawab, “Aku tidak perlu menjelaskan, pokoknya aku tidak mau kamu menjadi papaku!”Evan benar-benar bingung, kenapa Dharu berkata demikian, sedangkan dia sama sekali tidak pernah memaksa agar Dharu menerimanya, meski sudah tahu kalau Dharu adalah darah dagingnya.“Aku tidak akan memintamu memanggil papa seperti Dhira, jadi kamu yang tenang dan fokus k
“Al, tolong urus sesuatu untukku,” ucap Evan yang kini sedang duduk di kursi selasar panjang di koridor rumah sakit.“Mengurus apa?” tanya Albert dari seberang panggilan.“Akan aku rincikan di pesan,” jawab Evan, kemudian mengakhiri panggilan dan mulai merincikan hal-hal yang diinginkan Evan.Setelah mengirimkan pesan, Evan pun diam menatap layar ponsel dan mendapat balasan pesan dari Albert. Asistennya itu marah-marah di pesan karena permintaan Evan yang tidak masuk akal dan begitu mendadak.[Bapak kira aku ini Doraemon yang memilki kantong ajaib, sehingga bisa mengabulkan permintaan Bapak hanya dalam sekali kedip.]Evan menahan tawa membaca pesan asistennya itu. Dia kembali mengetik pesan dan mengirimkan ke Albert.[Ya, kamu adalah Doraemon yang bisa memberikan alat-alat canggih untuk mengabulkan permintaan bodohku.]Albert masih mengirimkan pesan marah-marah, membuat Evan tertawa tapi kemudian tidak mengirim pesan lagi.“Kenapa kamu di luar?”Bibi Santi datang dan langsung menyapa
Setelah dirawat sehari dan kondisi Dharu membaik. Renata pun mengajak pulang Dharu. Dia dan Evan kembali berdebat masalah Dharu, sampai keduanya kembali diam lagi seperti sebelumnya, entah tiap kali berdebat, mereka pasti akan saling Diam. Renata kesal karena Evan tidak memberitahukan alasan kenapa Evan sangat ingin dekat dengan anak-anaknya.“Apa apartemen sebelah akan ditempati?” tanya Renata saat melihat cleaning service keluar dari unit yang berada tepat di samping unit milik Renata.“Entah, mungkin saja,” jawab Bibi Santi yang tidak tahu.Mereka pun berjalan melewati unit itu dan masuk ke unit mereka. Dharu langsung pergi ke kamar bersama Dhira, sedangkan Renata membereskan barang-barang.“Re, apa kamu dan pria itu bertengkar?” tanya Bibi Santi karena tidak melihat Evan setelah keduanya bicara.Renata terkejut mendengar pertanyaan Bibi Santi, hingg tersenyum dan menjawab, “Hanya ada perbedaan pendapat sedikit, Bi. Bukankah wajar? Lagi pula, jika dia tidak ada juga wajar saja, dia
“Mbak Rena. Bu Suci datang, katanya ada hal yang ingin disampaikan.”Renata terkejut saat salah satu bagian admininstrasi sekolah musiknya menyampaikan perihal kedatangan wanita pemilik gedung itu.“Sil, kita sudah bayar uang sewa, ‘kan?” tanya Renata takut jika kedatangan wanita bernama Suci itu untuk menanyakan uang sewa.“Sudahlah, Mbak. ‘Kan Mbak Rena yang nandatangani laporan keuangan bulan kemarin,” jawab Sesil—petugas admininstrasi.“Ya sudah, suruh masuk saja,” kata Renata, “jangan lupa buatkan minum,” imbuh Renata.Sesil mengangguk, kemudian keluar dari ruangan Renata dan mempersilakan wanita berumur empat puluhan yang sudah menunggu di depan ruangan.“Silakan, Bu.” Sesil bicara dengan ramah.“Terima kasih,” ucap Bu Suci itu sambil melangkah masuk.Renata langsung berdiri dari tempat duduknya saat melihat Bu Suci masuk. Dia langsung tersenyum hangat dan mempersilakan wanita itu untuk duduk.“Apa ada masalah, Bu? Kenapa harus repot-repot ke sini? Saya bisa datang ke rumah jika