Renata berjalan cepat menuju ke ruang inap Dharu. Dia sudah menghubungi nomor yang biasa digunakan Dharu dan yang menjawab Bibi Santi.“Kamarnya di depan,” kata Evan yang sudah melihat nomor kamar yang diberitahu Bibi Santi.Renata mengangguk, kemudian mempercepat langkah dan langsung masuk begitu saja. Mereka melihat Bibi Santi yang masih terjaga sambil memangku Dhira, sedangkan Dharu sendiri berbaring dengan tangan terpasang selang infus.“Bi.”Bibi Santi menoleh dan melihat Renata datang. Dia lega karena Renata cepat pulang, padahal awalnya tidak yakin karena Renata pasti susah mendapat transportasi di malam hari.“Bibi pikir kamu akan datang besok,” ucap Bibi Santi.“Aku tidak mungkin tenang kalau pulang besok, Bi.” Renata mendekat dengan wajah cemas.Tatapan Bibi Santi tertuju ke Evan, lantas menatap Renata seolah sedang melontarkan siapa pria yang bersama Renata.“Biar aku yang gendong Dhira.” Evan mengambil Dhira dari pangkuan Bibi Santi.Wanita itu tidak mencegah, karena Renat
“Kenapa kamu bicara seperti itu, aku tidak pernah memaksamu,” ucap Evan berusaha bersikap lembut, karena bagaimanapun Dharu sedang sakit, dia pun tidak punya hak bicara keras ke anak itu.“Kamu memang bisa menyembunyikan dari Dhira dan Mama, tapi tidak denganku. Aku tidak bodoh, aku tidak akan menerimamu sebagai papaku.” Dharu memalingkan wajah ke arah lain karena enggan menatap Evan.Evan terkesiap, semakin bingung dengan ucapan Dharu.“Dharu, jika aku salah, aku minta maaf. Tapi jelaskan, kenapa kamu berkata seperti itu? Apa yang aku sembunyikan?” tanya Evan yang tidak bisa menebak maksud Dharu.Dharu menoleh ke Evan, hingga kemudian menjawab, “Aku tidak perlu menjelaskan, pokoknya aku tidak mau kamu menjadi papaku!”Evan benar-benar bingung, kenapa Dharu berkata demikian, sedangkan dia sama sekali tidak pernah memaksa agar Dharu menerimanya, meski sudah tahu kalau Dharu adalah darah dagingnya.“Aku tidak akan memintamu memanggil papa seperti Dhira, jadi kamu yang tenang dan fokus k
“Al, tolong urus sesuatu untukku,” ucap Evan yang kini sedang duduk di kursi selasar panjang di koridor rumah sakit.“Mengurus apa?” tanya Albert dari seberang panggilan.“Akan aku rincikan di pesan,” jawab Evan, kemudian mengakhiri panggilan dan mulai merincikan hal-hal yang diinginkan Evan.Setelah mengirimkan pesan, Evan pun diam menatap layar ponsel dan mendapat balasan pesan dari Albert. Asistennya itu marah-marah di pesan karena permintaan Evan yang tidak masuk akal dan begitu mendadak.[Bapak kira aku ini Doraemon yang memilki kantong ajaib, sehingga bisa mengabulkan permintaan Bapak hanya dalam sekali kedip.]Evan menahan tawa membaca pesan asistennya itu. Dia kembali mengetik pesan dan mengirimkan ke Albert.[Ya, kamu adalah Doraemon yang bisa memberikan alat-alat canggih untuk mengabulkan permintaan bodohku.]Albert masih mengirimkan pesan marah-marah, membuat Evan tertawa tapi kemudian tidak mengirim pesan lagi.“Kenapa kamu di luar?”Bibi Santi datang dan langsung menyapa
Setelah dirawat sehari dan kondisi Dharu membaik. Renata pun mengajak pulang Dharu. Dia dan Evan kembali berdebat masalah Dharu, sampai keduanya kembali diam lagi seperti sebelumnya, entah tiap kali berdebat, mereka pasti akan saling Diam. Renata kesal karena Evan tidak memberitahukan alasan kenapa Evan sangat ingin dekat dengan anak-anaknya.“Apa apartemen sebelah akan ditempati?” tanya Renata saat melihat cleaning service keluar dari unit yang berada tepat di samping unit milik Renata.“Entah, mungkin saja,” jawab Bibi Santi yang tidak tahu.Mereka pun berjalan melewati unit itu dan masuk ke unit mereka. Dharu langsung pergi ke kamar bersama Dhira, sedangkan Renata membereskan barang-barang.“Re, apa kamu dan pria itu bertengkar?” tanya Bibi Santi karena tidak melihat Evan setelah keduanya bicara.Renata terkejut mendengar pertanyaan Bibi Santi, hingg tersenyum dan menjawab, “Hanya ada perbedaan pendapat sedikit, Bi. Bukankah wajar? Lagi pula, jika dia tidak ada juga wajar saja, dia
“Mbak Rena. Bu Suci datang, katanya ada hal yang ingin disampaikan.”Renata terkejut saat salah satu bagian admininstrasi sekolah musiknya menyampaikan perihal kedatangan wanita pemilik gedung itu.“Sil, kita sudah bayar uang sewa, ‘kan?” tanya Renata takut jika kedatangan wanita bernama Suci itu untuk menanyakan uang sewa.“Sudahlah, Mbak. ‘Kan Mbak Rena yang nandatangani laporan keuangan bulan kemarin,” jawab Sesil—petugas admininstrasi.“Ya sudah, suruh masuk saja,” kata Renata, “jangan lupa buatkan minum,” imbuh Renata.Sesil mengangguk, kemudian keluar dari ruangan Renata dan mempersilakan wanita berumur empat puluhan yang sudah menunggu di depan ruangan.“Silakan, Bu.” Sesil bicara dengan ramah.“Terima kasih,” ucap Bu Suci itu sambil melangkah masuk.Renata langsung berdiri dari tempat duduknya saat melihat Bu Suci masuk. Dia langsung tersenyum hangat dan mempersilakan wanita itu untuk duduk.“Apa ada masalah, Bu? Kenapa harus repot-repot ke sini? Saya bisa datang ke rumah jika
“Dasar kamu pelakor! Kamu racuni pikiran suamiku dengan apa, hah! Sampai-sampai bisa terpikat dengan wanita sepertimu!” amuk wanita berpakaian elegan dan berumur lebih tua dari Renata.Renata begitu syok saat keluar dari ruangan dan langsung mendapat makian itu. Bu Suci yang ada di sana juga bingung dan sedang menelaah apa yang terjadi.“Maaf, Bu. Ada apa ini?” tanya Renata bingung karena wanita itu datang dan marah-marah.“Jadi kamu yang bernama Renata, hah!” hardik wanita itu.“Ya, benar.” Renata menjawab dengan sedikit was-was.Wanita itu terlihat murka dan langsung mendekat ke Renata, hingga melayangkan pukulan begitu keras ke pipi Renata.Renata begitu syok. Sesil dan Bu Suci juga terlihat sangat terkejut. Sesil pun menarik tangan wanita yang memukul Renata agar menjauh dari atasannya itu, sedangkan Bu Suci langsung berdiri di depan Renata.“Maaf, Bu. Kalau ada masalah bicarakan baik-baik, jangan asal nampar!” Bu Suci mencoba membela Renata.“Tanyakan ke wanita sialan itu! Dia su
“Apa maksudmu dengan ingin mengganti uang investasi yang sudah kami terima?” tanya Renata sambil menatap Evan.Renata tidak mempermasalahkan soal Evan menyebutnya istri, karena sadar jika pengakuan Evan hanya untuk menolongnya dari tuduhan.“Bukankah sudah terlihat jelas, kalau pria itu tidak berinvestasi, tapi sedang mencoba mendekatimu, dengan dalih berinvestasi.” Evan menjawab pertanyaan Renata dengan sangat santai. Dia duduk menyilangkan kaki, tapi tatapannya tidak tertuju ke Renata.Renata terkejut mendengar Evan mengatakan itu, kenapa pemikiran orang selalu tertuju ke sana, tidak bisakah orang-orang itu melihat dari sudut pandang lain.“Jelas-jelas sudah ada surat perjanjian yang menyebutkan kalau dia itu berinvestasi, tapi bagaimana bisa kamu berkata kalau dia mencoba mendekatiku?” Renata dan Evan kembali berdebat hanya karena tidak satu pemikiran.Evan langsung menurunkan kaki mendengar ucapan Renata, hingga kemudian menatap ibu dari anak kembarnya.“Apa kamu suka dia berinves
Renata masih begitu syok. Dia mencoba mencerna apa yang terjadi. Hingga Albert masuk ke ruangan itu, sedangkan Bu Suci tampak berdiri di ambang pintu sambil tersenyum lebar ke Renata.“Pak, berkas-berkasnya sudah diurus untuk pengalihan nama,” ujar Albert ke Evan.Renata semakin melongo, menatap Albert dan Evan bergantian, sedangkan Albert langsung menatap Renata begitu sudah bicara dengan Evan, hingga pria itu menganggukkan kepala seolah memberi hormat kepada Renata.“Urus semua sampai selesai, aku tidak mau ada kesalahan,” ujar Evan ke Albert setelah melihat berkas yang ditunjukkan Albert.“Tunggu!” Renata mengganggu pembicaraan Albert dan Evan.Albert dan Evan pun menoleh dan menatap Renata bersamaan.“Maksudmu, kamu membeli gedung ini?” tanya Renata memastikan.“Ya,” jawab Evan santai.“Bu Suci.” Renata kini mengalihkan pandangan ke Bu Suci. “Dia yang beli gedungnya?” tanya Renata ke Bu Suci sambil menunjuk ke Evan.Kini Evan dan Albert pun menatap Bu Suci, seolah meminta wanita i