Ben terheran mendengar apa yang Frank katakan. Tidak biasanya ia mendengarkan opini orang lain dengan wajah serius seperti itu. Ditambah lagi, senyuman yang sangat jarang ia perlihatkan pada orang lain—terutama anak anak— membuat Ben harus menerka maksud dari pria berambut hijau di depannya.Ben menepuk bahu Frank dengan cukup keras tanpa berniat melepaskan tangan itu. Malah sebaliknya, Ben justru mencengkeram bahu Frank dengan sedikit tenaga, membuat senyuman itu luntur dan kini digantikan oleh ringisan kesakitan yang lolos dari bibirnya yang menghitam akibat terlalu sering merokok."Kenapa kau mencengkeram bahuku, sialan? Apa salahku padamu?" Tanya Frank tak terima dengan perlakuan Ben yang tak bisa ia tebak."Kesimpulan lain apa yang kau maksud?" Tanya Ben balik dengan nada rendah dan begitu dingin seperti es.Jangan lupakan tatapan menusuk yang Ben layangkan padanya, seolah ia sudah melakukan kesalahan fatal yang tak termaafkan oleh dunia. Frank menepis tangan Ben dengan kasar h
Saat ini, Ben sudah kembali ke rumahnya-tepatnya rumah orang tuanya- ketika waktu telah menunjukkan pukul 7 malam.Pria bermata coklat itu segera melempar tas kantor yang berisi beberapa file penting ke atas meja. Setelah itu, Ben segera merebahkan dirinya di atas sofa ruang tamu untuk menghilangkan rasa penat yang kini mendera tubuhnya.Pria itu memejamkan mata, berusaha untuk mengurai rasa letih dan juga kantuk yang kini menyerang kedua matanya.Efek pekerjaan yang terlalu menuntut membuat tubuh Ben mudah untuk tumbang. Mata pria itu mengerjap, bersiap untuk menyusuri lembah mimpi.Akan tetapi, niatan itu harus tertunda saat seseorang mengguncang tubuhnya dengan perlahan. Tentu saja Ben merasa terusik. Pria itu menepis tangan yang mengguncang tubuhnya tanpa membuka mata.Akan tetapi, bukannya berhenti, guncangan itu malah semakin kuat. Ben mengerang kasar dan terpaksa bangkit dari posisinya menjadi duduk dengan tegap. Pria itu menguap sebentar lalu membuka mata.Di depannya, terdapa
Flora terdiam mendengar apa yang Ben katakan padanya. Sebenarnya, omongan Ben sangat masuk akal tentang Ben. Flora sendiri juga mengakui jika Steve tak sebaik yang ia lihat di layar kaca. Flora merasakan ada suatu rahasia yang Steve sembunyikan darinya, entah itu apa. Akan tetapi, kenapa Ben terlihat memprovokasi dirinya untuk membenci Steve? "Memang apa yang Steve lakukan hingga kau berani berkata begitu pada kakak kembarmu?" Tanya Flora dengan nada menuntut. Kepalan tangannya terurai begitu saja dan kini wanita berambut biru terang itu berkacak pinggang di hadapannya.Ben menghela napas, lalu bangkit dari posisi rebahannya, yang mana membuat Flora mengernyitkan keningnya. Ben tak mengatakan apapun pada wanita itu. Saat Ben hendak melangkah dari sana meninggalkan wanita itu untuk pergi ke kamar,, Flora dengan segera menahan tangan Ben."Ben, tunggu sebentar,"Ucapan Flora membuat Ben menghentikan niatnya. Ben berbalik dan menatap wanita yang berada di belakangnya ini dengan tatapa
Steve mendengar semua percakapan yang dibicarakan oleh Flora dan juga Ben dari ruang tamu. Ia tak sengaja mendengarnya saat akan menyeduh kopi untuk menghapal dialog film yang akan ia perankan beberapa hari lagi.Gerakannya yang akan menuangkan air panas ke dalam gelas terhenti saat dirinya mendengar perkataan Ben yang terdengar begitu nyaring di telinganya."Steve tak sebaik yang kau kira, Flora. Berhati hatilah saat berdekatan dengannya,"Perkataan itu membuat Steve kehilangan fokus hingga tak sadar jika ia tak sengaja menyiram air panas ke kulit tangannya."Akh!"Steve meringis kesakitan saat melihat tangannya yang memerah. Pria itu segera menaruh kembali ketel air yang ia pakai barusan ke atas kompor, lalu segera pergi ke wastafel untuk mengaliri tangannya yang terasa terbakar menggunakan air keran.Steve merutuki dirinya sendiri yang begitu ceroboh hanya karena perkataan adik kembarnya itu. Mata pria berambut merah muda itu berkaca kaca, merasakan panas, perih dan nyeri luar bias
"Mommy, aku memecahkan sirup Milik uncle Kai yang berada dalam botol itu karena tersandung saat akan turun dari mobil," Terry menjawab pertanyaan yang Ivy lontarkan untuk Kai. Bocah laki laki itu turun dari mobil setelah semua kekacauan yang ia buat selesai di bereskan. Terry menundukkan kepala dengan dalam, merasa bersalah dengan tindakannya yang begitu ceroboh. Ia tak berani bertatapan dengan Ivy karena takut wanita itu marah padanya."Sirup?" Tanya Ivy mengulang kembali apa yang ia dengar dari putra sulungnya dengan tatapan bingung. "Kenapa sirup yang pecah ini berwarna merah dan berbau amis?"Terry menggelengkan kepala karena ia sendiri tak tahu mengapa sirup yang ia jatuhkan berbau seperti bau amis khas darah. Melihat putranya yang tak tahu, Ivy memalingkan wajahnya pada Kai, menatap pria itu dengan tatapan bertanya tanya.Matanya menyipit dengan intens, menuntut Kai tanpa harus berkata. Ivy bisa melihat jika wajah Kai tampak pucat disertai dengan keringat sebesar biji jagun
Ben berguling kesana kemari dengan tak nyaman layaknya cacing kepanasan. Tubuhnya lelah, tapi rasa kantuknya menguap begitu saja. Ben mencoba beberapa kali memejamkan mata. Ia ingin sekali beristirahat. Akan tetapi, semuanya tak berjalan dengan keinginannya hingga membuat Ben frustrasi sendiri.Pria bermata coklat itu akhirnya bangkit dari posisi tidurnya sembari mengacak rambutnya dengan kasar. Ben merasa kesal sekarang. Karena ulah Flora, ia tak bisa melanjutkan kembali istirahatnya. Napasnya terlihat cepat dengan wajah yang sedikit memerah karena emosi."Sialan! Aku tak bisa tidur lagi gara gara jalang gila itu," Ben mengumpat dengan amarah yang membumbung tinggi di dadanya. Pria itu mengedarkan pupil mata coklatnya ke seluruh penjuru kamar yang cukup luas ini, bermaksud mencari sesuatu yang menarik yang setidaknya bisa membuat ia mengantuk. Hanya saja, "hal" itu tak dapat ia temukan selain furniture di dalam kamarnya. Tanpa sengaja, Ben melihat jaket yang tergantung di dekat lem
"Kau akan segera mengetahuinya,"Kai tersenyum kecil, lalu melirik ke arah semak semak yang berada tak jauh dari tempatnya saat ini. Setelah itu, Kai segera mengeluarkan ponsel dari dalam sakunya dan mencari nama kontak seseorang.Begitu mendapatkan apa yang ia cari, senyuman Kai terlihat semakin lebar. Ia segera menekan tombol untuk memanggil orang itu. Kai mendekatkan ponselnya ke telinga dengan senyum yang tak pernah pudar dari bibirnya.Hal ini tentu saja membuat Ben merasa bingung dengan apa yang dilakukan oleh adik sahabatnya itu. Mata coklatnya mengerjap kecil tanpa berkomentar, memberi ruang untuk Kai agar pria itu melakukan apa yang ia mau.Tak berselang lama, suara nada dering telepon terdengar begitu menggema di danau yang terasa sunyi itu. Kai mengikuti arah bunyi itu dan melihat jika semak semak di dekatnya bergerak ribut, padahal tak ada angin yang menerpa. Kai harus menahan tawanya melihat situasi yang sangat menarik ini."Uncle, apa itu?" Tanya Terry yang rupanya memp
Ben bisa melihat ada riak terkejut di wajah manis milik Ivy. Mata hijau itu terlihat membulat seolah akan keluar dari tempatnya. Mulutnya terbuka, sedikit menampilkan gigi taringnya yang mungil layaknya anak kucing. Wajahnya memucat seperti kertas yang baru saja dibuat, serta tubuhnya terlihat menegang.Ben tertawa kecil menikmati ekspresi itu. Ekspresi submissive yang begitu menggoda. Ia ingin melihat lebih dati ini. Maka dari itu, Ben kembali melontarkan pertanyaan yang bersifat pribadi dengan nadanya yang begitu menggoda, terdengar serak dan juga dominan."Ya, imbalan lain. Kau sudah izinkan untuk masuk ke dalam mobil mewahku ini. Bukankah rasanya tak sebanding jika imbalannya hanya mengucapkan terima kasih saja?"Ivy menggigit bibirnya dengan keras hingga tak terasa melukainya. wajahnya terlihat panik. Mata hijaunya bergulir ke sana kemari tak tentu arah. Otaknya berpikir dengan keras bagaimana caranya agar bisa keluar dari situasi ini."Miss Ivy, kenapa kau tak menjawab pertany