Wati memanggil Arnella yang ada di dalam kamarnya. Makan malam sudah siap tetapi Arnella belum juga ke ruang makan. Di dalam kamar Arnella duduk termenung menatap keluar jendela yang menghadap gerbang rumah besar itu. Wajah sendu belum pergi darinya.
Sejak Arnon datang dan marah besar hari itu, Arnella tidak bisa tersenyum. Matanya kuyuh, wajahnya tidak menyiratkan aura gembira yang biasanya terlihat. Bahkan ketika Ardiansyah pulang juga tidak terlalu berarti untuknya. Padahal Arnella selalu bersemangat jika suaminya datang dan mau tinggal beberapa hari bersamanya.
"Nyonya, makan malam ..."
"Aku tidak lapar, Wati. Kalian saja yang makan." Dengan cepat Arnella menyahut.
"Tapi, Nyonya ..." Wati menjadi gundah. Tidak seperti biasanya Arnella menunjukkan sikap kuat dan tegar menghadapi apapun. Dia selalu bisa berdiri dan mencari cara mengatasi kemelut yang harus dia selesaikan.
"Sedikit saja. Saya antar ke sini saja, jika Nyonya tidak ingin kelua
Agak aneh rasanya Wati menghubungi Arnon. Apakah ada sesuatu? Fea menajamkan pendengaran, ingin tahu apa yang akan Wati katakan. "Ada apa, Mbak?" tanya Fea. Dia mendekati ranjang besar di tengah kamar itu dan duduk di tepinya. "Fea, Nyonya Arnella. Dia sakit." Suara Wati sedikit gemetar. Masih ada rasa takut jika Fea akan menolak bicara setelah yang Arnella lakukan padanya. "Nyonya sakit?" Fea mengulang perkataan Wati. Kenapa dia Arnella sakit harus merepotkan Arnon. Keluarga Hendrawan punya dokter handal, dokter kelas satu di kota itu. Arnella pasti akan dapat perawatan terbaik. "Fea, Nyonya ... dia kena stroke. Dia terlalu sedih ..." "Apa, Mbak?" Fea menyahut tidak menunggu Wati selesai bicara. "Ya, setelah Tuan Muda ngamuk ke rumah siang itu, nyonya sangat sedih. Dan berhari-hari tidak ada keinginan makan. Dia makin lemah, lalu ..." "Sayang! Aku pakai kaos yang mana, nih?!" Terdengar Arnon bicara dengan keras. Dia sudah kelu
Panas rasanya telinga Arnon mendengar yang Fea katakan. Mengapa Fea bicara soal Arnella? Fea jelas tahu kalau Arnon tidak mau peduli dengan wanita itu lagi. Arnon melangkah menjauh, dia membuka pintu menuju ke balkon kamar. Fea memandang Arnon dengan rasa sangat tidak nyaman. Ini yang dia tidak mau, bertengkar dengan Arnon. Hubungan mereka baru pulih setelah masa berat yang mereka lalui karena Arnella. Arnon begitu senang melihat istrinya bisa lebar tersenyum bahkan tertawa lagi. Lalu tiba-tiba harus bersitegang dan itu gara-gara orang yang sama, Arnella. "Ya Tuhan, aku harus bagaimana?" batin Fea bergejolak. Buatnya ini juga bukan hal mudah. Setiap ingat Arnella, yang muncul di pikiran Fea, wanita itu tidak suka dengannya, dia berusaha menghancurkan pernikahannya dengan Arnon. Perlahan, Fea bangkit, berjalan mendekati Arnon yang berdiri menatap perbukitan di kegelapan, karena hari memang sudah malam. Fea memeluk pinggang Arnon
Arnella memandang nanar keluar kamar. Dia mengarahkan pandangan pada gerbang utama. Dia berharap mobil Arnon akan muncul, putranya akan datang melihat dia. Ingin sekali Arnella kembali bertemu Arnon dan mengucapkan maaf. Dia tidak mau Arnon meninggalkan dia seperti itu. "Nyonya ..." Suara Wati yang masuk ke dalam ruangan itu seolah tidak dia dengar. Pikiran Arnella terbawa pada hari saat Arnon meninggalkannya di depan rumah. Dengan marah, tetapi tangannya menggandeng Fea mesra, Arnon pergi. Hati Arnella begitu pahit rasanya. Arnon lebih cinta wanita itu, bukan dirinya, ibu yang melahirkannya. "Arnon ... pulang ..." ucapnya lirih dengan mata basah. Kemudian ingatannya beralih pada sore harinya, saat Arnella menghadiri acara keluarga salah satu rekan sosialitanya. Tidak dia sangka, Ardan ada di sana. Entah apa urusan anak sulung Ardiansyah itu. Yang jelas, ucapan pria angkuh itu menusuk Arnella. "Aku harus berterima kasih padamu, Istri ketiga Tu
Ardiansyah memukul meja dengan geram. Arnon terang-terangan sekarang menolak dan melawannya. Ardiansyah tidak mengira sama sekali. Setelah Ardan, putra sulungnya, Arnon adalah anak laki-laki yang dia miliki. Sekalipun anak-anak perempuannya juga punya ketrampilan kepeimpinan dan mampu diserahi sebuah perusahaan, tetap punya Arnon adalah sesuatu yang membanggakan. Ardiansyah mengembuskan nafas berat, berpikir keras harus bertindak apa. Arnon sama dengan dirinya, jika punya kemauan akan gigih berpegang pada itu dan akan mengejarnya hingga terwujud. Tapi melepas seorang anak, dia tidak mau mengakuinya sebagai orang tua, ini tidak masuk akal! "Apa yang ada di pikiran Arnon!?" Ardiansyah benar-benar kesal. Tidak mungkin dia akan mengijinkan Arnon mengganti nama belakangnya. Mau berulang kali dia berubah nama, darah Hendrawan tetap ada di dalam dirinya, tidak ada gunanya merubah identitas. Bagaimana dia bisa melunakkan hati Arnon itu yang Ardiansyah pikirkan.
Arnella ingin berteriak dan memaki Fea. Mau apa Fea sebenarnya datang menemuinya? Pasti hanya ingin melihat kesialan yang Arnella alami! Wajah Arnella memerah, dadanya naik turun menahan marah yang makin memuncak. Air mata mulai menitik di ujung mata, karena gejolak yang dia rasa. "Nyonya, aku bantu berbaring saja. Pesan Mbak Wati, Nyonya harus istirahat sekarang," ujar Fea. Dengan hati yang juga sedikit takut, Fea membantu Arnella bangun dari kursi roda, pindah ke ranjang. Arnella tidak menolak karena dia memang butuh bantuan. Tapi itu bukan berarti dia senang dengan sikap sok baik Fea padanya. "Kamu ..." Arnella memaksa bicara. Dengan emosi yang mulai tinggi, dia lebih kesulitan membuka mulutnya. "Ka ... mu ..." Fea memandang Arnella. Dia bisa merasakan betapa Arnella kesal dan ingin Fea segera keluar dari ruangan itu. "Ja ... nan ... kamu ... jan ... nan, mu ... nafik ..." Makin terbata-bata, tetapi Arnella memaksa juga mengutarakan apa yan
Jantung Fea berdetak makin cepat. Rasa gugup mendera tak bisa dia cegah, saat tatapan tajam menghujam ke arahnya. Ardiansyah jelas sangat terkejut melihat Fea yang datang mengantar makan siang. "Fea, kamu datang? Kamu di sini?" Tatapan itu membuat debaran di dada Fea makin tak terkendali. "Iya, Tuan. Mohon maaf, jika saya datang tanpa memberitahu lebih dulu." Fea meletakkan nampan dan menunduk dalam-dalam di depan Ardiansyah. "Mana Arnon? Dia di mana? Aku melihat ke kamar, Arnella sendirian dan dia sedang tidur," ujar Ardiansyah. Dia mengira Arnon pulang bersama Fea. "Saya minta maaf, Tuan. Arnon belum bisa pulang." Fea masih menunduk. Rasanya belum sanggup dia melihat pada mata Tuan Besar yang tajam itu. Ardiansyah mengembuskan nafas berat. Jadi Fea datang sendirian? Arnon tidak ikut pulang rupanya. "Mohon maaf, sekali lagi, Tuan. Saya menengok Nyonya Arnella. Dan jika Tuan tidak keberatan, saya akan datang setiap hari," ucap Fea deng
Belum sampai sepuluh menit tiba di rumah, terdengar suara mobil Arnon di depan. Fea yang berniat akan mandi, dengan cepat masuk ke kamar mandi. Dia tidak mau Arnon melihat dia dengan pakaian dari luar rumah. "Untung saja. Coba aku lambat sedikit, bisa beda urusannya." Fea bergumam sendiri. Beberapa menit terdengar suara Arnon memanggil, mencari Fea ada di mana. Fea sengaja mengalirkan air dengan deras agar Arnon mendengar suara dari kamar mandi. Benar saja, kemudian terdengar ketukan di pintu kamar mandi. "Sayang! Lagi mandi?" Suara Arnon memanggil lagi. Fea mematikan air, lalu menjawab, "Ya! Sebentar, Ar!" "Aku ikut!" sahut Arnon. Fea tersenyum. Fea tidak menduga Arnon minta mandi bareng, tapi setidaknya kali ini aman, Arnon tidak melihat jejak Fea keluar rumah. Bukan masalah Fea keluar, tetapi jika Arnon bertanya, Fea tidak mau terpaksa berbohong padanya. Fea membuka pintu kamar mandi dan membiarkan Arnon masuk. Suasana yang
"Fea? Kamu di sini?" Irvan yang tidak sengaja melihat ke pintu dan mendapati Fea di depan butik, segera dia mendekat. "Oh, hai ... Iya ..." Fea tersenyum sedikit kikuk. "Masuk aja. Stefi ada di dalam." Irvan membuka pintu, membiarkan Fea masuk. Irvan terus melangkah menuju ruang dalam dan Fea mengikutinya. Irvan membawa Fea ke kantor butik yang ada di lantai dua. Di dalam ruangan, Stefi sedang duduk, bersantai di sofa dengan memegang sebuah majalah di tangan. "Sayang, lihat siapa yang datang?" Irvan bicara seraya mendekati Stefi. Stefi menurunkan majalah dan menoleh pada Irvan. Seketika dia menegakkan badan melihat Fea yang berdiri tak jauh dari pintu. "Astaga! Fea?!" Senyum lebar Stefi muncul begitu saja. "Sini, duduk. Ya ampun ... tumben, ga kasih kabar dulu." Fea tersenyum, mengarahkan kakinya mendekat lalu duduk di sisi Stefi. Dengan erat Stefi memeluk Fea. "Kamu baik-baik, kan?" Stefi memandang