"Fea? Kamu di sini?"
Irvan yang tidak sengaja melihat ke pintu dan mendapati Fea di depan butik, segera dia mendekat.
"Oh, hai ... Iya ..." Fea tersenyum sedikit kikuk.
"Masuk aja. Stefi ada di dalam." Irvan membuka pintu, membiarkan Fea masuk.
Irvan terus melangkah menuju ruang dalam dan Fea mengikutinya. Irvan membawa Fea ke kantor butik yang ada di lantai dua. Di dalam ruangan, Stefi sedang duduk, bersantai di sofa dengan memegang sebuah majalah di tangan.
"Sayang, lihat siapa yang datang?" Irvan bicara seraya mendekati Stefi.
Stefi menurunkan majalah dan menoleh pada Irvan. Seketika dia menegakkan badan melihat Fea yang berdiri tak jauh dari pintu.
"Astaga! Fea?!" Senyum lebar Stefi muncul begitu saja. "Sini, duduk. Ya ampun ... tumben, ga kasih kabar dulu."
Fea tersenyum, mengarahkan kakinya mendekat lalu duduk di sisi Stefi. Dengan erat Stefi memeluk Fea.
"Kamu baik-baik, kan?" Stefi memandang
Arnon melihat ke jam dinding di ruangannya. Hampir jam lima sore. Lelah juga setelah sepanjang hari dia fokus dengan semua hal yang ada di perusahaan. Lebih baik dia berhenti dan melanjutkan lagi urusannya besok. Segera dia bereskan mejanya dan bersiap meninggalkan kantor. "Permisi, Pak!" Alim ada di depan pintu, berjalan mendekat ke meja Arnon. Arnon mengangkat wajahnya melihat pria itu. "Ya, Pak?" "Pak Arnon tidak lupa malam ini ada undangan CEO ...""Astaga! Hampir saja!" Arnon menepuk jidatnya. Salah satu rekan bisnisnya mengundang karena ada acara pertunangan anaknya. Arnon tidak memperhatikan lagi dan ternyata dia harus berangkat. "Okelah. Aku akan segera bersiap. Jam tujuh malam, kan? Aku tidak akan terlambat." Arnon tersenyum lebar. Alim membalas senyum dan mengangguk. Dia meneruskan langkahnya meninggalkan ruangan. Dia akan segera menghubungi Fea minta istrinya itu juga bersiap. Dia mau mengajak Fea hadir di acara yang akan dia
Makin ke pinggir kota, jalanan makin sepi. Arnon makin mempercepat laju kendaraan. Fea mulai panik. Arnon benar-benar sedang kesal. Dan mengebut salah satu pelampiasan. "Ar, pelan-pelan! Ini bahaya!" Fea mengingatkan. Apalagi jalanan sedikit berkelok-kelok. Lampu jalan juga tidak cukup terang sepanjang perjalanan yang mereka lalui. Arnon tidak menggubris, seolah dia tidak mendengar yang Fea katakan. Dia terus saja fokus dengan setir, melaju begitu cepat, seakan-akan dia ingin segera menjauh dari semua yang ada di sekeliling dirinya. "Arnon ... Please ..." Fea mulai merasa takut dan sedikit gemetar. Arnon masih tak peduli. Fea memilih menyandarkan punggung dan menutup matanya. Lebih baik dia berdoa dan tidak melihat jalanan. Apapun yang terjadi dia pasrah saja! Entah berapa lama, tapi yang Fea rasakan begitu panjang perjalanan, akhirnya Fea merasa mobil mulai melambat. Pelan-pelan, Fea membuka mata dan melihat ke sekelil
Memandang rumah besar itu, campur aduk yang Arnon rasakan. Rumah tempat dia lahir, tumbuh, dan besar. Terlalu banyak kenangan di sana. Sebagian manis, sebagian pahit, bahkan sangat pahit. Dia kembali kali ini pun karena situasi yang tidak menyenangkan. Seandainya bisa dia memilih tidak akan menginjakkan kaki di rumah besar itu lagi. "Tuan Muda?!" Bakri yang sedang merapikan taman tidak jauh dari tempat parkir terkejut saat melihat Arnon datang bersama Fea. "Apa kabar, Pak?" tanya Arnon. Suaranya datar, tidak ada ekspresi. "Saya baik, Tuan Muda. Wah, senang sekali melihat Tuan Muda lagi." Senyum pria dengan rambut mulai putih di sana sini itu melebar. "Ayo, Sayang." Arnon meraih tangan Fea dan melangkah, mengajak istrinya masuk ke dalam rumah. Fea mengikuti Arnon, tapi sempat menoleh kepada Bakri. "Wa ... ti ..." Fea menyebut nama itu sambil tangan kanan dia letakkan di dekat telinga, memberi kode agar Bakri menghubungi Wati. Bakri mang
Arnon memandang Arnella dengan rasa iba. Hatinya terenyuh bercampur sedih. Arnon masih belum bisa berkata-kata melihat kenyataan Arnella harus mengalami stroke. Arnella duduk di ranjang, Fea ada di sisinya sedang menyuapi wanita itu. Sesekali dia tersenyum dengan bibir yang tidak lagi normal dan cantik. Fea begitu sabar berada di sisinya. Jika makanan tidak masuk dengan benar, sedikit menetes di ujung bibirnya, Fea cepat-cepat membersihkan mulut Arnella. Arnon yang sedari tadi duduk di dekat jendela, memilih keluar. Ada rasa tidak tega juga melihat pemandangan itu. Arnon menuju ke pantry dekat dapur. Di sana ada Wati dan Samir, mereka sedang menyiapkan hidangan buat makan siang. "Tuan Muda." Samir menyapa saat melihat Arnon masuk. "Beri aku minuman dingin, seperti biasa." Arnon menarik kursi di depannya, duduk di sana. "Baik, Tuan Muda." Dengan cepat Samir melakukan perintah Arnon. Setelah minuman ada di depannya, Arnon segera meneguknya hingg
Ardiansyah menatap wajah Arnella. Ada raut sedih di sana, meskipun juga ada binar gembira yang sebelumnya sama sekali tidak terlihat. Arnella memandang pada Arnon yang berdiri melihat ke arahnya. "Aku, aku ..." Arnella berusaha menata mulutnya agar bisa membuka dengan benar dan dia mampu mengungkapkan semua yang ada di hatinya. Arnon melangkah mendekat. Dia berdiri sedikit di belakang Ardiansyah yang masih berjongkok di depan kursi roda. "Aku mohon, Ar ... Kamu jangan ... pergi ... Jang ann ... berteng kar, de ngan ... papa ... mu ..." Tangan Arnella terulur pada Arnon. Dua langkah Arnon maju, lebih ke sisi kiri kursi roda, menerima tangan Arnella. Arnon memperhatikan raut wajah ibunya. Arnon tahu wajah Arnella penuh kepedihan dan penyesalan. Arnon tidak paham secara penuh yang ada di kepala Arnella, karena Arnella tak bisa mengatakan banyak hal. Tapi Arnon tahu, Arnella ingin keluarga ini baik-baik saja. "Mama in
Sejak hari Arnella minta maaf padanya, semua marah dan benci di hati Arnon menguap. Dia melihat Arnella begitu berbeda. Apalagi dia sempat bicara dengan Wati, Bakri, Samir, dan beberapa pelayan lainnya. Arnon tahu seperti apa Arnella dari sisi yang selama ini dia tidak peduli. Mamanya wanita yang kesepian dan malang. Sekalipun Tuan Besar memang cinta padanya, tetap ada satu ruang di dalam hatinya yang belum terisi. Itu yang Arnon tangkap. Arnon ingin ruang itu akan dia isi dengan kenangan manis, agar hatinya sendiri juga penuh dengan cinta yang harus dia miliki dari ibu yang melahirkannya. Setiap hari Fea terus datang menemani Arnella. Arnon dengan lega hati mengantar dan menjemputnya sebelum dan sesudah dia bekerja. Sebenarnya Fea ingin membawa mobil sendiri, tapi Arnon tidak mau. Dia ingin juga mengambil waktu bersama Arnella. Beberapa hari berlalu, Arnon lebih ceria. Kasih sayang yang dia harapkan sejak dia bocah mulai memenuhi hatinya. Dia makin bersemangat menja
"Mama ... Mama ..." Fea mengucapkan kata itu berkali-kali. Dia memandang wajahnya di cermin, sambil tersenyum kecil. Masih tak bisa dia percaya rasanya, Arnella meminta Fea memanggilnya mama. Seumur dia mengenal Arnella, panggilan melekat yang Fea selalu sebut adalah Nyonya Arnella. Bahkan setelah dia menikah dengan Arnon pun, tidak pernah dia bayangkan jika Arnella mau mendapat panggilan mama darinya. Arnon saja enggan menyebut Arnella mama. "Sayang ..." Arnon memanggil Fea. Dia baru keluar dari kamar mandi. Fea memandang Arnon dari cermin di depannya. Pria itu mendekat, berdiri di belakang Fea, sedikit menunduk dan mengecup puncak kepala istrinya. "Kenapa, Ar?" Fea masih melihat lurus dari cermin. Arnon tersenyum. Dia juga tidak percaya rasanya, Fea dan mamanya menjadi dekat. Masih lucu mendengar Fea menyebut mama pada Arnella. "Terima kasih, kamu membuat yang tidak mungkin jadi mungkin dalam hidupku." Arnon kembali mendaratkan kecupan di pu
"Arnon!" panggil wanita dengan rambut cepak itu. Arnon berhenti dan menoleh padanya. "Aku salut. Kamu seberani itu. Yakin tidak menyesal melepas perusahaan besar?" tanya Briani. Suaranya tidak lagi dingin seperti yang sebelumnya. "Aku punya semua yang aku butuhkan. Yang ada di tanganku sudah cukup. Aku tidak perlu yang lain lagi," ujar Arnon santai. "Arnon, boleh kami mengundang kamu makan malam bersama? Ajak istrimu." Bellinda yang juga sudah keluar, bersama Arliana, berdiri di sebelah Briani. Arnon menatap ketiga kakak tirinya. "Well, kenapa tidak? Katakan saja kapan dan di mana. Aku pasti datang."Arliana tersenyum lebar. "Thank you, Arnon. Kamu memang adik yang baik. Maaf, kita tidak sering bertemu selama ini." Suaranya imut dan lucu. Dari sikapnya terlihat Arliana bertingkah seperti anak baru SMA. Padahal usianya dua tahun di atas Arnon. "Ya, it is okay." Arnon tersenyum. Kembali dia melangkah. Hatinya makin l