Ardiansyah menatap wajah Arnella. Ada raut sedih di sana, meskipun juga ada binar gembira yang sebelumnya sama sekali tidak terlihat. Arnella memandang pada Arnon yang berdiri melihat ke arahnya.
"Aku, aku ..." Arnella berusaha menata mulutnya agar bisa membuka dengan benar dan dia mampu mengungkapkan semua yang ada di hatinya.
Arnon melangkah mendekat. Dia berdiri sedikit di belakang Ardiansyah yang masih berjongkok di depan kursi roda.
"Aku mohon, Ar ... Kamu jangan ... pergi ... Jang ann ... berteng kar, de ngan ... papa ... mu ..." Tangan Arnella terulur pada Arnon.
Dua langkah Arnon maju, lebih ke sisi kiri kursi roda, menerima tangan Arnella. Arnon memperhatikan raut wajah ibunya. Arnon tahu wajah Arnella penuh kepedihan dan penyesalan. Arnon tidak paham secara penuh yang ada di kepala Arnella, karena Arnella tak bisa mengatakan banyak hal. Tapi Arnon tahu, Arnella ingin keluarga ini baik-baik saja.
"Mama in
Sejak hari Arnella minta maaf padanya, semua marah dan benci di hati Arnon menguap. Dia melihat Arnella begitu berbeda. Apalagi dia sempat bicara dengan Wati, Bakri, Samir, dan beberapa pelayan lainnya. Arnon tahu seperti apa Arnella dari sisi yang selama ini dia tidak peduli. Mamanya wanita yang kesepian dan malang. Sekalipun Tuan Besar memang cinta padanya, tetap ada satu ruang di dalam hatinya yang belum terisi. Itu yang Arnon tangkap. Arnon ingin ruang itu akan dia isi dengan kenangan manis, agar hatinya sendiri juga penuh dengan cinta yang harus dia miliki dari ibu yang melahirkannya. Setiap hari Fea terus datang menemani Arnella. Arnon dengan lega hati mengantar dan menjemputnya sebelum dan sesudah dia bekerja. Sebenarnya Fea ingin membawa mobil sendiri, tapi Arnon tidak mau. Dia ingin juga mengambil waktu bersama Arnella. Beberapa hari berlalu, Arnon lebih ceria. Kasih sayang yang dia harapkan sejak dia bocah mulai memenuhi hatinya. Dia makin bersemangat menja
"Mama ... Mama ..." Fea mengucapkan kata itu berkali-kali. Dia memandang wajahnya di cermin, sambil tersenyum kecil. Masih tak bisa dia percaya rasanya, Arnella meminta Fea memanggilnya mama. Seumur dia mengenal Arnella, panggilan melekat yang Fea selalu sebut adalah Nyonya Arnella. Bahkan setelah dia menikah dengan Arnon pun, tidak pernah dia bayangkan jika Arnella mau mendapat panggilan mama darinya. Arnon saja enggan menyebut Arnella mama. "Sayang ..." Arnon memanggil Fea. Dia baru keluar dari kamar mandi. Fea memandang Arnon dari cermin di depannya. Pria itu mendekat, berdiri di belakang Fea, sedikit menunduk dan mengecup puncak kepala istrinya. "Kenapa, Ar?" Fea masih melihat lurus dari cermin. Arnon tersenyum. Dia juga tidak percaya rasanya, Fea dan mamanya menjadi dekat. Masih lucu mendengar Fea menyebut mama pada Arnella. "Terima kasih, kamu membuat yang tidak mungkin jadi mungkin dalam hidupku." Arnon kembali mendaratkan kecupan di pu
"Arnon!" panggil wanita dengan rambut cepak itu. Arnon berhenti dan menoleh padanya. "Aku salut. Kamu seberani itu. Yakin tidak menyesal melepas perusahaan besar?" tanya Briani. Suaranya tidak lagi dingin seperti yang sebelumnya. "Aku punya semua yang aku butuhkan. Yang ada di tanganku sudah cukup. Aku tidak perlu yang lain lagi," ujar Arnon santai. "Arnon, boleh kami mengundang kamu makan malam bersama? Ajak istrimu." Bellinda yang juga sudah keluar, bersama Arliana, berdiri di sebelah Briani. Arnon menatap ketiga kakak tirinya. "Well, kenapa tidak? Katakan saja kapan dan di mana. Aku pasti datang."Arliana tersenyum lebar. "Thank you, Arnon. Kamu memang adik yang baik. Maaf, kita tidak sering bertemu selama ini." Suaranya imut dan lucu. Dari sikapnya terlihat Arliana bertingkah seperti anak baru SMA. Padahal usianya dua tahun di atas Arnon. "Ya, it is okay." Arnon tersenyum. Kembali dia melangkah. Hatinya makin l
Arnon seketika memegang tangan Fea. Dia tahu, Fea masih sensitif jika bicara soal kehamilannya yang lalu. Drama yang membuat dia harus kehilangan bakal bayinya yang membuat Fea masih cukup berat mengingatnya. Pertanyaan Arliana tentu membuat Fea tidak nyaman."Ah, itu ..." Fea tersenyum kecut. "Aku kehilangan bayiku, karena ... tidak bisa menjaganya. Ya ... begitu ..."Fea tidak mau mengatakan lebih jauh. Dia tidak mungkin juga menceritakan kisah perih yang diawali rekayasa Arnella."Oh, sorry ..." Arliana yang duduk di depan Fea, menatapnya dengan rasa simpati.Yang lain memandang Fea dan bisa melihat ada raut sedih sedikit mencuat dari wajahnya."Jangan kuatir, tidak lama kamu akan segera mendapatkan penggantinya. Aku juga pernah mengalami. Sangat berat, tapi lihat, aku punya dua bocah menggemaskan sekarang." Bellinda menghibur Fea. Dia mengusap kepala dua anaknya yang masih asyik dengan hidangan di depan mereka.Fea tersenyum. "Ya, terima
Hari-hari berlalu. Boleh dikatakan semua berjalan normal. Arnon bekerja, Fea di rumah dan melakukan ini itu yang dia suka. Sesekali dia mengunjungi Rania dan Stefi. Anak Rania sudah hampir satu tahun. Lucu dan menggemaskan. Stefi, perutnya mulai buncit. Dia makin manja saja pada Irvan. Senang melihat mereka begitu bahagia. Satu yang Fea terus minta, Tuhan taruh bayi dalam rahimnya, pengganti bakal anaknya yang tidak selamat. Setiap hari Fea meminta dalam doa. Arnon memang tidak mempermasalahkan mereka akan segera punya anak atau tidak, tetapi Fea sangat berharap dia segera punya teman di rumah. "Ih, lucu sekali. Imut dan cantik. Lihat, Ar!" Fea menunjuk pada bocah yang baru bisa berjalan di taman di samping mall saat mereka sore itu. Arnon mengikuti arah tangan Fea. Senyum Arnon melebar. Dia tahu, Fea sangat ingin cepat kembali mengandung. Setiap Fea bicara tentang anak, hati Arnon sedikit pilu. Dia penyebab bayi mereka batal lahir. Kemarahan meluap yang tak
Fea menemani Arnella hingga wanita itu bisa tidur. Dalam tidur pun dia gelisah. Fea bisa merasakan Arnella sangat sedih dengan situasi itu. Kabar masih simpang siur tentang kecelakaan. Fea menunggu kabar dari Arnon. Apakah keluarga Hendrawan selamat? Sepanjang malam Fea berulang kali terjaga. Dia tidur di kamar sebelah kamar Arnella. Setiap terbangun, Fea duduk dan berdoa. Dia meminta kejadian ini akan membawa sesuatu yang baik untuk kelangsungan keluarga Hendrawan. Hampir pagi, Fea tidak berniat lagi untuk tidur. Dia memilih keluar kamar, menuju ke pantry membuat minuman hangat. Sebaiknya dia menenangkan diri. Fea mencoba menghubungi Arnon lagi, mungkin ada perkembangan. Saat Fea menyalakan ponselnya, Fea terkejut. Beberapa pesan masuk justru dari saudara-saudara tiri Arnon. Mereka memberi info, kabar yang mulai ramai di media tentang kecelakaan itu. Tujuh puluh persen korban meninggal. Dua puluh persen korban luka parah, sisanya seakan mujizat hanya mengala
Dua minggu berlalu. Kondisi Ardan belum ada perkembangan. Ardiansyah begitu terpuruk. Dia sangat kehilangan. Istri, anak, dan menantu. Lalu putra sulungnya koma, entah hingga kapan dia akan sadar. Atau bahkan, mungkinkah dia bertahan? Ardiansyah seperti tidak bisa berpikir dan bekerja. Mau tidak mau, Briani dan Bellinda yang kalang kabut mengurus semua. Bersama suami mereka, dan para pimpinan lainnya segera mereka mengadakan pertemuan darurat, mengatur ini dan itu agar perusahaan tidak timpang, masih bisa berjalan dengan kekosongan pemimpin utama. Briani beberapa kali menghubungi Arnon, minta adiknya itu ikut dalam pertemuan dan membicarakan apa yang perlu. Tapi Arnon terus mengelak. Briani cukup kesal sebenarnya pada Arnon, tetapi dia juga tidak berhasil membujuk Arnon. "Aku sudah tidak ada sangkut pautnya dengan perusahaan Hendrawan. Kalian sudah mampu membereskan semuanya. Aku tidak harus ikut campur. Aku tetap adik kalian." Arnon beralasan. "Aku t
Pintu ruangan terbuka. Perawat berdiri di sana, lalu berjalan mendekat pada Ardiansyah. Dia mengajak pria yang tampak sangat cemas itu bergegas masuk ke dalam ruangan. Arnon berdiri, mengikuti mereka dengan pandangan mata. Dia tahu, kondisi Ardan pasti gawat. Arnon membalikkan badan, mencoba melihat ke dalam ruangan. Tidak begitu jelas, karena ada tirai dari kain sedikit transparan yang menghalangi. Dada Arnon berdegup kencang. Seperti yang Ardiansyah lakukan, Arnon pun mengucapkan doa. Dia memohon Tuhan menolong. "Tuhan, kumohon ... tolong Ardan ..." Arnon tidak tahu, yang ada di hatinya bukan lagi benci dan marah pada kakak tirinya itu. Dia sangat takut jika benar Ardan pergi, papanya pasti akan hancur. Belum sampai dua menit, terdengar tangisan keras dari Ardiansyah. Dia memanggil nama Ardan berulang kali. Arnon mengepalkan tangannya. Dia tahu, Ardan telah pergi. Tangis pilu Ardiansyah meratapi putra sulungnya. Tak bisa dibendung, titik air mata menggenang