“Gusti begitu cantik. Maaf bila hamba lancang,” ucap Pangeran Wirabhumi begitu Jenar duduk di hadapannya berselisih meja dengan hidangan yang mewah.Jenar tersenyum manis. Putra Mahkota Prastawarna itu sudah menyebut dirinya sendiri sebagai hamba. Sebuah langkah awal yang baik demi penaklukan tanpa kekerasan. Hal serupa berlaku lebih dulu pada dua pangeran sebelumnya. Dan Kini Kerajaan Sabrang dan Truna sudah menjadi bagian dari kekuasaan Astagina.“Silahkan dinikmati hidangannya, Pangeran,” ucap Jenar ramah. Namun justru yang ia ajukan ke hadapan Pangeran Wirabhumi adalah anggur dalam gelas perunggu dan juga kemolekan tubuhnya. Perempuan itu sengaja melepaskan kain yang menutupi pundaknya.Pangeran Wirabhumi terkesiap menelan ludahnya. Leher jenjang dan belahan dada indah itu benar-benar menghancurkan wibawanya. Ia tak pikirkan lagi poin-poin kesepakatan yang rencananya ia ajukan agar kerjasama Astagina – Prastawarna terjalin.Jenar amat mengerti apa yang tengah melanda pemuda tampan
“Pangeran Aruna!” seru Danapati. Lelaki itu segera keluar dari tempat persembunyiannya. Ia benar-benar bahagia. Tak percuma ia keluar dari istana dan mencari keberadaan Arya di Wana Payoda selama lebih dari dua tahun ini.“Dimana mereka?”Langkah Danapati terhenti manakala tak bisa menemukan dua sosok tadi. Hanya ada asap putih tipis dan senggurat jingga yang mungkin tak berarti apa-apa. Danapati tak mengerti. Ia amat yakin melihat Legawa dan Aruna di tempatnya berpijak kini.“Pasti Lembat Brabat!” gumam Danapati. Ilmu andalan Legawa itu memang berguna bila berada di pihak pemakai. Namun akan sangat merepotkan bila di pihak lawan.Keturunan murni terakhir Candrapurwa itu tampak begitu kesal. Ia bahkan mengunjamkan tinjunya ke sebuah batang pohon tak jauh dari tempatnya tadi melihat Legawa dan Aruna. Pencariannya hampir saja berakhir, namun rupanya keberuntungan tak berpihak padanya.“Berarti Pangeran bersama dengan Paman Legawa. Lantas dimana Ki Bayanaka? Aku pikir selama ini Pangeran
“Lihat lah, Warasena, dia mengenal namaku!” seru pria bertombak yang tak lain adalah Sakuntala, mantan senopati Astagina di era kekuasaan Prabu Ranajaya.“Warasena? Kau Prabu Warasena?” tanya Danapati seakan tak percaya. Belum hilang rasa terkejutnya karena bertemu Sakuntala, dia juga beradu pandang dengan Warasena, penguasa Candikapura.“Nah! Dia pun mengenaliku, Sakuntala! Kita berdua sebenarnya masih sangat tersohor! Apa kau mengerti, Senopati Kaki Satu?” timpal Warasena disusul dengan tawa dua pria itu.Danapati tak mengerti mengapa dua orang pembesar itu menjadi perampok seperti ini. Bagaimana bisa seorang Senopati Astagina dan Raja Candikapura menjadi rekan dalam kejahatan, Danapati tak mau memikirkannya. Satu hal yang membentuk gejolak dalam hati lelaki itu, bertemu dengan pembantai keluarga kakeknya, Prabu Anarawan, Raja Candrapurwa.“Kau!” Danapati menunjuk Warasena dengan ujung pedangnya. “Aku tahu dosa besarmu di masa lalu!”“Hah?” Warasena dan Sakuntala seketika menghentik
Selanjutnya yang terjadi adalah pertarungan antar sepasang pedang berbeda ukuran itu. Pedang gabungan milik Danapati berputar-putar penuh tenaga dengan jangkauan yang luas. Sedang pedang milik Warasena bergerak cepat menyerang dari arah mana saja. Dua Candrawala mengawali pertarungan pemiliknya.“Ini sungguh menarik. Mana yang akan menang, Candralawa asli atau tiruan dengan pengembangan dan pengalaman mumpuni?” gumam Sakuntala dalam hati. Mantan Senopati Astagina itu kini duduk bersila di tanah demi mendapatkan pangangan terbaik dari pertarungan.Warasena mengeluarkan trisula andalan yang entah kapan terakhir kali ia gunakan. Senjata yang menemaninya sepanjang menjabat menjadi Raja Candikapura sebelum nyaris seluruh pasukannya dikirim ke dunia ruh oleh Arya. Juga sebelum istana Candikapura dibumi-hanguskan dengan Sasra Sayaka-Cundhamani.Sedangkan Danapati bersenjatakan keris dengan pamor yang tidak jelas. Keduanya memulai pertarungan tepat di bawah pedang mereka yang melayang-layang
Danapati mencabut kedua pedangnya dari tubuh Warasena yang sudah babak belur. Tubuh pria paruh baya segera ambruk ke tanah penuh dengan darah. Tak ada lagi gerakan. Pun juga dengan gerakan saluran pernapasan. Warasena gugur di tangan keturunan orang yang ia bantai puluhan tahun lalu.“Huh! Perampokan ini gagal sudah!” keluh Sakuntala. Pria berkaki palsu itu perlahan bangkit menyangga tubuh dengan tombaknya dan bersiap pergi meninggalkan tempat itu.“Tunggu!” seru Danapati. Seketika Sakuntala mematung. Ia mulai khawatir kalau saja orang Astagina itu haus darah dan berniat untuk membunuhnya.“Aku menyerah, Anak Muda. Maafkan aku sudah mengganggu perjalananmu. Sekarang silahkan lewat,” ucap Sakuntala begitu ramah meski dengan senyum yang dipaksakan.“Apa benar kau Senopati Sakuntala yang menjabat di Astagina pada masa kekuasaan Prabu Ranajaya?” tanya Danapati lantang. Lelaki itu mulai berjalan mendekat masih dengan dua pedang terhunus.“B-betul. Bagaimana kau bisa tahu?” tanya Sakuntala
“Pangeran Aruna!” seru Danapati begitu menyadari orang yang menyentuh bahunya adalah Aruna, Pangeran Astagina yang ia cari-cari. Lelaki itu hendak berlutut namun pemuda di hadapannya segera mencegahnya.“Paman Danapati, bersikap lah biasa, kita tidak sedang di istana,” lirih Aruna berusaha tak menarik perhatian.“Ampun, Gusti. Apa yang terjadi, mengapa hamba tiba-tiba ada di tempat ini?” tanya Danapati dengan suara yang lebih pelan. Nyaris serupa dengan Aruna tadi, namun lebih keras karena ia begitu terkejut.“Kau berada di Padepokan Rakajiwa. Aku membawamu dengan Lembat Brabat. Sekarang mari ikut aku menemui Guru Legawa,” terang Aruna sembari berlalu.Danapati tak sempat mengatakan setuju. Namun diam artinya setuju, kira-kira begitu lah yang berlaku di istana. Lelaki itu mengikuti langkah cepat Aruna. Sesekali ia memperhatikan sekitar. Ingatannya tertarik puluhan tahun ke belakang. Ayahandanya pernah mengatakan nyaris saja menimba ilmu di Rakajiwa.Tiba-tiba Aruna berhenti dan member
Legawa terlambat. Ia tak mampu mencegah Aruna menggunakan Lembat Brabat. Pemuda itu hanya meninggalkan hawa panas di bekas tempatnya duduk tadi."Sial! Dia benar-benar ceroboh seperti ayahandanya!" rutuk Legawa. Guru besar Padepokan Rakajiwa itu segera berdiri tampak ingin menyusul muridnya."Apa yang akan kau lakukan, Paman?" tanya Danapati."Jelaskan kondisi istana, Danapati. Apa kah Aruna akan baik-baik saja? Sebelumnya ia pernah mengunjungi istana dan tak bertemu siapa pun," pinta Legawa."Dia sudah menghilang cukup lama. Dengan tampilannya sekarang pasti tak ada yang mengenalinya. Bisa jadi dia akan dikepung dan ditangkap seperti seorang penyusup!" jawab Danapati."Lantas dimana sebaiknya aku muncul di istana?" tanya Legawa sembari menyiapkan Lembat Brabat-nya."Bilik Pangeran Aruna adalah tempat paling aman!" jawab Danapati lugas."Baik, tunggu sebentar!"Seketika Legawa menghilang meninggalkan asap tipis hingga menyerupai kabut. Danapati sampai berdecak menyaksikan kehebatan ju
Bulu kuduk ketiga prajurit itu bergidik. Pandangan mereka meremang. Hampir sekujur tubuh terasa bergidik. Pemuda yang baru saja memaksa untuk menemui Gusti Sri Maharani hingga melumpuhkan dua pengawal mendadak hilang. Sebelumnya seorang pria paruh baya muncul dan segera hilang bersama pemuda itu.“Apa mungkin orang tadi lelembut Wana Payoda yang tersesat?” ujar salah satu prajurit tanpa menurunkan kewaspadaan.“Hush! Jangan kau bicara sembarangan! Sudah lebih dari tiga tahun, mengapa baru sekarang ia tersesat?” tampik rekannya. Ketiganya kompak menengadah, entah mengapa. Apa karena tak ada siapa pun di sejajar mata atau karena sudah terlanjur menganggap Aruna lelembut Wana Payoda.“Lantas, apa yang harus kita lakukan?” tanya seorang lagi.“Periksa dua pengawal itu! Jika mereka baik-baik saja, tak perlu kita laporkan peristiwa ini. Anggap saja tak pernah terjadi apa pun,” ucap seorang prajurit yang sepertinya memiliki pangkat lebih tinggi dari dua lainnya.“Baik!” seru seorang prajurit