Jakarta, 11 Juli 2013 Tanah merah di depannya masih basah. Aroma kembang tabur masih memenuhi penciuman. Beberapa ikat bunga beraneka jenis dan warna segar bertumpuk di atasnya. Bram bersimpuh di sisi pusara itu. Air mata luruh tak terbendung. Lelaki itu tidak sanggup lagi menyembunyikan kesedihannya. Ketegaran yang selalu ditunjukkannya pada dunia seakan lenyap tak bersisa. Segenap keluarga dan pelayat sudah meninggalkan pemakaman satu jam lalu. Bram masih enggan untuk beranjak. Di sisi kanannya Adhilangga juga bersimpuh. Lelaki itu menepuk-nepuk bahu Bram. Tidak ada yang bisa dilakukan selain berupaya memberikan sang keponakan sedikit kekuatan. Sementara, Vanty menyandarkan kepala di bahu kiri Bram. Isaknya kembali pecah menyaksikan air mata lelaki itu membasahi wajah. Ini kedua kalinya perempuan itu menyaksikan Bram begitu hancur. Hanya bisa menekur di makam dua orang perempuan yang disayanginya. Hanya ribuan sesal yang sekarang membayangi Bram. Memperbesar sebuah lubang di ha
Jakarta, 23 Maret 2018 "Niken?" Bram mengernyit. Dari layar monitor video intercom dia mendapati wajah salah seorang anak buahnya. Benar-benar di luar ekspektasi. "Selamat Malam, Pak Bram," sapa gadis itu begitu Bram membuka pintu. Aroma sensual menguar dari tubuhnya yang berbalut mini dress merah dengan luaran crop jacket hitam. Wajah gadis itu berhias make up lengkap layaknya orang yang hendak pergi ke pesta. "Mau apa kamu ke sini?" tanya Bram. Lelaki itu kemudian melongok ke kanan dan kiri, memeriksa lorong apartemen. Tidak ada siapa pun yang lalu lalang. Bukannya menjawab, Niken malah berkilah, "Saya merasa nggak enak bicara di depan pintu, Pak." Bram menyelipkan Beretta di tangannya ke bagian belakang pinggang celana linen yang dikenakannya. Kemudian, dengan terpaksa dia meminta gadis itu masuk. "Darimana kamu tahu saya tinggal di sini?" selidiknya. Dalam hati Bram bertanya-tanya. Apakah kedatangan Niken semata sebuah kebetulan? "Saya sudah pernah bilang. Saya terbiasa me
Jakarta, 13 Januari 2010 Bram menenggak air mineral dari botol di tangannya. Kudapan di hadapannya sudah tandas. Namun, Talitha belum juga menunjukkan tanda-tanda bahwa dia sudah selesai dengan urusannya. Talitha duduk beberapa meja di depannya. Di hadapan adiknya itu, seorang gadis lain tampak sedang berbicara. Sesekali tangannya bergerak-gerak di udara. Sesekali dia menelengkan kepala. Bram tidak tahu seperti apa rupanya. Gadis itu duduk membelakanginya. "Mas Bram tunggu sebentar di sini, ya. Litha wawancara dulu sama Amara," sergah Talitha begitu mereka sampai. Dia meminta Bram duduk di meja yang ditunjuknya. Talitha sendiri langsung menghampiri meja yang sudah ditempati seorang gadis. Gadis itu memakai jaket jeans dan membiarkan rambut ikalnya tergerai melewati bahu. Gadis yang disebut Talitha bernama Amara itu sudah tiba lebih dulu. Sepertinya, dia sengaja menunggu Talitha selesai mengikuti kelas terakhir hari ini. Bram hanya menggeleng lalu mengempaskan tubuhnya di kursi. "K
Jakarta, 13 Januari 2010 Bram kembali menilik dari spion tengah sosok yang sedang duduk di kursi belakang. Gadis itu menatap keluar jendela. Gadis bernama Amara itu tengah terhanyut dalam pikirannya sendiri. Dia sibuk mengamati pejalan kaki yang lalu lalang di luar. Keberadaan Amara di dalam mobilnya sedikit mengganggu konsentrasi Bram. Sejak pertama lelaki itu mendapati wajahnya. Sejak tatapan mereka bertabrakan di kantin tadi. Sejak mereka saling berjabat tangan. Jantung Bram berderap begitu cepat. Amara memang bukan gadis paling cantik yang pernah Bram temui. Akan tetapi, seperti ada magnet dalam dirinya. Membuat Bram tergoda untuk selalu memandanginya. Mungkin karena rautnya yang innocent dengan poni yang jatuh di keningnya. Mungkin karena sepasang mata almond-nya yang bermanik kecoklatan dan dinaungi bulu mata lentik. Mungkin juga karena posturnya yang mungil sehingga menggugah rasa ingin lelaki itu untuk melindungi. Bram benar-benar tidak tahu apa penyebabnya. “Sial! Be
Jakarta, 17 Maret 2017 Gadis itu berada dekat dengannya. Gadis yang selama tujuh tahun ini memenuhi ruang hatinya. Mengganggu pikirannya. Sebelum Bram sempat menepikannya karena berbagai persoalan hidup yang harus dihadapi. Akan tetapi, sekarang Bram tidak tahu apa yang harus dilakukan. Selain membiarkan semua berjalan seperti apa adanya. Lelaki itu merasa tidak berdaya untuk mengatur semua agar seperti keinginannya. Bukankah yang terpenting gadis itu kini dalam jagkauannya? Meskipun Bram harus menanggung perihnya menyimpan kerinduan. Mengungkapkan segala yang ingin dikatakannya menjadi perkara yang rumit. Tujuh tahun lalu, mereka bertemu untuk pertama kalinya. Bram pernah mencari tahu segala tentangnya. Pernah menemui ibunya dan meminta gadis itu untuk menjadi miliknya. Dalam waktu yang begitu sempit karena Bram harus segera meninggalkan Indonesia. Namun, penolakan yang Bram dapat. Bukan sekadar penolakan. Lebih tepatnya sebuah cemoohan. "Apa kamu tidak bisa mendapatkan pa
Jakarta, 23 Maret 2018 “Rara, kamu tandem sama Ranggi, ya, buat pengadaan mesin baru. Permintaan material kan sedang tidak terlalu ramai bulan ini. Daripada kamu main Feeding Frenzy terus tiap hari,” seloroh Bram sekenanya. Andra hanya tersenyum simpul. Di laptopnya memang ter-install permainan yang disebutkan Bram. Bisa dihitung dengan jari berapa kali Andra membukanya. Terhitung sejak dia bergabung dengan Cakrawangsa Persada. Gadis itu tahu Bram hanya bergurau. Sebenarnya lelaki itu sedang menyindir salah seorang rekannya. Ranggi menoleh ke arahnya sambil tertawa lebar. “Kalau saya sih nggak masalah, Pak!” celetuk pemuda jangkung berambut keriting itu. Meeting koordinasi untuk minggu depan dimajukan secara mendadak. Jumat ini, usai jam kantor, karyawan divisi procurement terpaksa pulang terlambat. Normalnya, meeting dilaksanakan seusai jam makan siang setiap hari Senin. Namun, Senin besok, Bram dan Gilang harus ke Semarang. Bersama tim Quality Assurance, mereka akan melakukan
Jakarta, 23 Maret 2018 “Hai, Bram!” Wajah tegang Stanley langsung menyambut ketika Bram datang. Lelaki dengan rambut lurus dan diikat ke belakang itu duduk di samping ruangan Bram. Tepatnya, di meja yang ditempati Andra. “Tumben banget, Stan. Ada apa, nih?” sahut Bram sambil menepuk bahu Stanley. ”Yuk, ke dalam.” Bram menggiring Stanley ke ruangannya. Ruang kaca itu memang selalu dikunci oleh Bram jika ditinggalkan. "Aku hanya mau mau tanya sesuatu,” cetus Stanley tanpa berbasa-basi. Lelaki itu sudah duduk menyilangkan kaki dan memiringkan kursinya. Sementara itu, tangan kirinya mengetuk-ngetuk meja. “Tentang apa?” sahut Bram dari tempat duduknya. “Kargo via udara dari Guangzhou bermasalah di Bea Cukai? Bagaimana bisa sudah sebulan nggak ada progress?” Bram mengernyit. Kargo via udara? Dari Guangzhou? "Aku ingat betul tidak ada pengiriman via udara. Sudah dua bulan ini. Efisiensi anggaran sesuai kesepakatan. Aku sangat membatasi mengambil pilihan itu. ” "Kamu yakin?”
Jakarta, 23 Maret 2018 “Gawat!” cetus Kevin sambil menjatuhkan bokongnya di kursi. Lelaki itu baru saja kembali ke ruang meeting. Gelagat Kevin membuat rekan-rekannya menoleh dan membubarkan diri. Tadinya mereka sedang mengerumuni Ranggi. Berhubung sudah waktunya makan malam, mereka bermaksud memesan makanan melalui aplikasi. “Gawat kenapa, Kev? Kalau ngomong yang jelas, dong!” tegur Gilang. Lelaki itu menggulung lengan kemejanya lalu bersidekap. “Pak Stanley marah. Mampus kita semua!” sahut Kevin di sela napas yang terputus-putus. “Apa?! Pak Stanley marah? Memang kita habis bikin kesalahan apa?!” cecar Alena. Suara perempuan itu terdengar meninggi. “Pasti fatal banget sampai dia marah.” “Duh! Gimana, ya?” Kevin menggaruk bagian belakang kepalanya dengan frustasi. “Kenapa, Kev? Memangnya kesalahan apa yang sudah kita buat?” Andra ikut bertanya-tanya. Kalau diizinkan, sebenarnya gadis itu ingin segera pulang saja. Kali ini kepalanya terasa pening. Akibat membiarkan perut