Jakarta, 23 Maret 2018 “Hai, Bram!” Wajah tegang Stanley langsung menyambut ketika Bram datang. Lelaki dengan rambut lurus dan diikat ke belakang itu duduk di samping ruangan Bram. Tepatnya, di meja yang ditempati Andra. “Tumben banget, Stan. Ada apa, nih?” sahut Bram sambil menepuk bahu Stanley. ”Yuk, ke dalam.” Bram menggiring Stanley ke ruangannya. Ruang kaca itu memang selalu dikunci oleh Bram jika ditinggalkan. "Aku hanya mau mau tanya sesuatu,” cetus Stanley tanpa berbasa-basi. Lelaki itu sudah duduk menyilangkan kaki dan memiringkan kursinya. Sementara itu, tangan kirinya mengetuk-ngetuk meja. “Tentang apa?” sahut Bram dari tempat duduknya. “Kargo via udara dari Guangzhou bermasalah di Bea Cukai? Bagaimana bisa sudah sebulan nggak ada progress?” Bram mengernyit. Kargo via udara? Dari Guangzhou? "Aku ingat betul tidak ada pengiriman via udara. Sudah dua bulan ini. Efisiensi anggaran sesuai kesepakatan. Aku sangat membatasi mengambil pilihan itu. ” "Kamu yakin?”
Jakarta, 23 Maret 2018 “Gawat!” cetus Kevin sambil menjatuhkan bokongnya di kursi. Lelaki itu baru saja kembali ke ruang meeting. Gelagat Kevin membuat rekan-rekannya menoleh dan membubarkan diri. Tadinya mereka sedang mengerumuni Ranggi. Berhubung sudah waktunya makan malam, mereka bermaksud memesan makanan melalui aplikasi. “Gawat kenapa, Kev? Kalau ngomong yang jelas, dong!” tegur Gilang. Lelaki itu menggulung lengan kemejanya lalu bersidekap. “Pak Stanley marah. Mampus kita semua!” sahut Kevin di sela napas yang terputus-putus. “Apa?! Pak Stanley marah? Memang kita habis bikin kesalahan apa?!” cecar Alena. Suara perempuan itu terdengar meninggi. “Pasti fatal banget sampai dia marah.” “Duh! Gimana, ya?” Kevin menggaruk bagian belakang kepalanya dengan frustasi. “Kenapa, Kev? Memangnya kesalahan apa yang sudah kita buat?” Andra ikut bertanya-tanya. Kalau diizinkan, sebenarnya gadis itu ingin segera pulang saja. Kali ini kepalanya terasa pening. Akibat membiarkan perut
Jakarta, 23 Maret 2018 Tubuh Andra terkulai ke samping. Beruntung Bram cepat menangkapnya. Jika tidak, gadis itu sudah tersungkur ke lantai. “Ra, kamu kenapa?!” pekik Bram cemas. “Jangan bercanda seperti ini. Tidak lucu!” Sebelah tangan lelaki itu menopang bahu Andra. Sementara tangan yang lain menepuk-nepuk pipi gadis itu. Wajah Andra terlihat pucat. Semua orang bangkit dari kursinya. Alena dan Gilang mendekat ke tempat Andra. Sedangkan Kevin, Ranggi, dan Niken diam terpaku di posisi masing-masing. “Apa dia pingsan?” selidik Stanley. Lelaki itu mendadak mematung. Baru kali ini Stanley mendapati Bram terlihat begitu panik. “Buka pintunya!” perintah Bram yang segera dituruti oleh Ranggi. Bram mengangkat tubuh Andra dan membawanya ke luar ruang meeting procurement. Di depan ruangan terdapat sebuah sofa panjang. Lelaki itu merebahkan Andra di atasnya. Tentu saja dengan bobot tak mencapai 50 kg, tubuh gadis itu terasa ringan baginya. Alena berinisiatif mengambil minyak angin di tas
Jakarta, 23 Maret 2018 Bram menutup pintu apartemennya dengan kesal. Seketika sosok Niken menghilang dari hadapannya. Dia tidak peduli jika sikapnya dianggap kejam. Bahkan, wajah memelas gadis itu tidak membuatnya luluh. “Ada-ada saja!” gerutu Bram sambil berbalik menuju kulkas. Dituangnya air dingin ke dalam gelas. Diteguknya untuk menyejukkan kerongkongan. Juga pikirannya. Beberapa saat lalu, gadis itu datang menyambanginya. Dengan pakaian dan parfum yang provokatif. Wanginya bahkan meninggalkan jejak di seluruh ruangan. Bram sampai harus menyemprotkan penetralisir udara. Khawatir jika bayang-bayang gadis itu menggoda hasratnya. Awalnya, Niken meminta lelaki itu untuk menemani ke sebuah night club. Kemudian, mencoba merayu ketika Bram menolak. Dia merasa risih dengan kelakuan gadis itu. Kalau Bram mau, dia bisa meminta Niken untuk kembali. Gadis itu pasti akan segera melemparkan diri ke pelukannya. Lelaki itu sadar dengan pesona yang dimilikinya. Bukan hanya satu atau dua wa
Jakarta, 24 Maret 2018 Alunan Only When I Sleep dari The Corrs membuat Andra mengerjap. Gadis itu meraba nakas untuk meraih ponselnya. Seketika ruang di balik perutnya seperti tergelitik mendapati nama Bram tertera di layar. Meskipun begitu badannya masih terasa lunglai. “Selamat Pagi, Ra,” sapa lelaki itu. Andra mendengar kicauan burung di background. Juga kelakar anak-anak yang sedang bermain. Ditambah celoteh Bu Rima yang tampaknya sedang berbincang dengan pedagang sayur. “Astaga! Jangan bilang dia sudah sampai sini,” pekik Andra dalam hati sambil membekap mulut. Gadis itu terpaku pada benda bundar di dinding kamar. Waktu menunjukkan pukul 08.10. “Ini pasti cuma mimpi.” Jantungnya seperti melompat. Andra teringat sesuatu. Sabtu ini bukankah dia harus merelakan hari liburnya? Dia dan Ranggi mendapat tugas dari Bram. Bram meminta mereka mengunjungi pameran manufaktur di JIEXPO bersamanya. Pasti bos gila kerja itu datang untuk menjemput Andra. “Selamat Pagi, Pak,” sahut And
Jakarta, 29 Maret 2018 Bram melangkah menuju meja administrasi. Seorang perempuan berusia sekitar enam puluh tahun tersenyum ramah kepadanya. “Selamat Pagi, Pak.” “Selamat Pagi, Bu. Atas nama Diandra Amaranggana Hadiwibowo,” tutur lelaki itu tanpa berbasa-basi lagi. “Oh, sebentar. Silakan duduk dulu, Pak.” “Baik. Terima kasih.” Perempuan itu mengenakan kacamata yang tergantung pada rantai di lehernya. Kemudian menilik tumpukan map di atas meja. “Kamar 205?” tanya petugas perempuan itu. “Betul.” Bram mengambil dompet dari saku celananya. Melihat Bram mengeluarkan kartu ATM dari dompet, perempuan itu menyergah, “Sudah lunas, Pak." Perempuan itu menyodorkan map di tangannya. Dengan telunjuknya dia menunjuk nota bukti pembayaran yang dimaksud. Bram menyipitkan matanya. Lelaki itu meneliti berkas-berkas di hadapannya. “Apa ini tidak salah, Bu?” “Tidak, Pak. Tadi rekan saya bilang ada seorang lelaki yang datang ke mari. Mungkin orang tua atau kerabat dari pasien.” “Seperti apa or
Jakarta, 29 Maret 2018 “Pak Bram, ini ada paket untuk Bapak,” serbu Niken. Bram baru saja menginjakkan kakinya memasuki ruangan procurement. Gadis itu langsung menyambutnya. “Paket untuk saya?” Kening lelaki itu berkerut. “Dari siapa?” “Kurang tahu, Pak. Tadi office boy yang antar ke sini.” “OK. Thanks.” Bram menerima kotak berwarna merah dengan hiasan pita satin berwarna hitam itu. Kemudian, lelaki itu berlalu ke ruang kacanya. Arloji di pergelangan tangan kanan Bram menunjuk pukul 13.30. Usai mengurus kepulangan Andra dari rumah sakit, dia mengantar gadis itu pulang. Itu sebabnya dia baru sampai sesiang ini. Lelaki itu menoleh ketika seseorang mengentuk pintu. “Ada apa, Al?” “Imel telepon terus dari tadi. Dia nyari kamu , Bram,” ujar Alena seraya menyelipkan separuh badannya di sela pintu. “Ada perlu apa?” Perempuan itu mengedikkan bahu. “Kayaknya ada sesuatu yang penting banget.” “Seharusnya, dia bisa menghubungi saya.” “Dia bilang nggak ada respond. Ya sudah. Aku cuma m
Jakarta, 29 Maret 2018 Andra baru saja hendak memejam. Obat yang diminumnya membuat kantuk menyerang. Namun, nada dering ponselnya tak kunjung berhenti berbunyi. Gadis itu menegakkan tubuh lalu menggapai gawainya. Benda itu dia letakkan di atas nakas sejak kembali ke kamarnya. “Halo,” sahutnya usai menggeser ikon gagang telepon. “Rara, kamu tidak ke mana-mana kan?” tanya Bram. “Nggak, Pak. Saya baru saja mau tidur. Apa saya harus ke kantor sekarang?” Bram berdecak. Mengapa hanya pekerjaan saja yang ada di kepala gadis itu? Tiap kali Bram menghubunginya, dia selalu membicarakan masalah kantor. “Apa menurut kamu, saya sekejam itu?” “Nggak, sih, Pak. Siapa tahu memang ada yang harus saya selesaikan,” balas Andra. “Kamu istirahat saja dulu. Tidak usah pikirkan soal perkerjaan.” “Iya, Pak. Terima kasih. Saya kira Pak Bram menelepon saya karena ada yang penting.” “Memang ada yang penting. Pastikan pintu kamar kamu terkunci, Ra.” “Jangan khawatir, Pak. Saya memang selalu mengunci pi