Jakarta, 29 Maret 2018 Bram melangkah menuju meja administrasi. Seorang perempuan berusia sekitar enam puluh tahun tersenyum ramah kepadanya. “Selamat Pagi, Pak.” “Selamat Pagi, Bu. Atas nama Diandra Amaranggana Hadiwibowo,” tutur lelaki itu tanpa berbasa-basi lagi. “Oh, sebentar. Silakan duduk dulu, Pak.” “Baik. Terima kasih.” Perempuan itu mengenakan kacamata yang tergantung pada rantai di lehernya. Kemudian menilik tumpukan map di atas meja. “Kamar 205?” tanya petugas perempuan itu. “Betul.” Bram mengambil dompet dari saku celananya. Melihat Bram mengeluarkan kartu ATM dari dompet, perempuan itu menyergah, “Sudah lunas, Pak." Perempuan itu menyodorkan map di tangannya. Dengan telunjuknya dia menunjuk nota bukti pembayaran yang dimaksud. Bram menyipitkan matanya. Lelaki itu meneliti berkas-berkas di hadapannya. “Apa ini tidak salah, Bu?” “Tidak, Pak. Tadi rekan saya bilang ada seorang lelaki yang datang ke mari. Mungkin orang tua atau kerabat dari pasien.” “Seperti apa or
Jakarta, 29 Maret 2018 “Pak Bram, ini ada paket untuk Bapak,” serbu Niken. Bram baru saja menginjakkan kakinya memasuki ruangan procurement. Gadis itu langsung menyambutnya. “Paket untuk saya?” Kening lelaki itu berkerut. “Dari siapa?” “Kurang tahu, Pak. Tadi office boy yang antar ke sini.” “OK. Thanks.” Bram menerima kotak berwarna merah dengan hiasan pita satin berwarna hitam itu. Kemudian, lelaki itu berlalu ke ruang kacanya. Arloji di pergelangan tangan kanan Bram menunjuk pukul 13.30. Usai mengurus kepulangan Andra dari rumah sakit, dia mengantar gadis itu pulang. Itu sebabnya dia baru sampai sesiang ini. Lelaki itu menoleh ketika seseorang mengentuk pintu. “Ada apa, Al?” “Imel telepon terus dari tadi. Dia nyari kamu , Bram,” ujar Alena seraya menyelipkan separuh badannya di sela pintu. “Ada perlu apa?” Perempuan itu mengedikkan bahu. “Kayaknya ada sesuatu yang penting banget.” “Seharusnya, dia bisa menghubungi saya.” “Dia bilang nggak ada respond. Ya sudah. Aku cuma m
Jakarta, 29 Maret 2018 Andra baru saja hendak memejam. Obat yang diminumnya membuat kantuk menyerang. Namun, nada dering ponselnya tak kunjung berhenti berbunyi. Gadis itu menegakkan tubuh lalu menggapai gawainya. Benda itu dia letakkan di atas nakas sejak kembali ke kamarnya. “Halo,” sahutnya usai menggeser ikon gagang telepon. “Rara, kamu tidak ke mana-mana kan?” tanya Bram. “Nggak, Pak. Saya baru saja mau tidur. Apa saya harus ke kantor sekarang?” Bram berdecak. Mengapa hanya pekerjaan saja yang ada di kepala gadis itu? Tiap kali Bram menghubunginya, dia selalu membicarakan masalah kantor. “Apa menurut kamu, saya sekejam itu?” “Nggak, sih, Pak. Siapa tahu memang ada yang harus saya selesaikan,” balas Andra. “Kamu istirahat saja dulu. Tidak usah pikirkan soal perkerjaan.” “Iya, Pak. Terima kasih. Saya kira Pak Bram menelepon saya karena ada yang penting.” “Memang ada yang penting. Pastikan pintu kamar kamu terkunci, Ra.” “Jangan khawatir, Pak. Saya memang selalu mengunci pi
Jakarta, 11 Februari 2013 Dua minggu berlalu sejak Bram menghadiri pernikahan Satria. Pagi itu pukul 08.10, dia duduk berhadapan dengan Baswara. Sang ayah sudah sampai di ruang kerjanya. Ruang yang cukup luas untuk memarkir enam buah mobil. Letaknya di lantai 20 sebuah gedung di kawasan bisnis Jakarta Selatan. Bukan tanpa alasan Bram ada di sana. “Aku kemari hanya untuk mengembalikan ini,” tutur lelaki itu. Dia menyorongkankan satu set kunci mobil beserta surat-suratnya di atas meja. Kemarin, seorang pengawal Baswara mengantarkan sebuah sedan seharga milyaran ke tempatnya. Bram merasa sedikit tersinggung. Apa maksud Baswara melakukan itu padanya? Ketika bertemu di acara Satria, ayanhnya itu menunjukkan ekspresi tidak suka. “Masih sombong seperti biasa,” komentar Baswara. Lelaki dengan rambut yang telah memutih itu duduk di sebuah kursi besar. Di belakangnya, pemandangan gedung-gedung pencakar langit tampak dari jendela. Bram tersenyum simpul lalu berdalih, “Aku tidak sanggup
Jakarta, 6 Februari 2002 Sedan silver yang Bram kemudikan baru saja keluar dari area gedung Cakrawangsa Persada. Langit Jakarta sudah meredup sejak dua jam lalu. Sinar matahari berganti cahaya lampu penerang jalan. “Bram, kamu nanti langsung pulang saja. Jemput saya lagi besok pagi,” titah lelaki berkacamata yang duduk di bagian belakang kabin. “Baik, Om,” sahut Bram. “Saya harus sampai jam berapa?” “Jam tujuh pagi. Kebetulan, besok saya ada meeting di Gatot Subroto. Kamu sekalian antar saya ke sana. Kamu tidak ada jadwal bertemu dosen kan?” “Kebetulan sedang kosong, Om.” “Besok kamu ikut saya. Kamu bisa belajar berinteraksi dengan klien-klien saya.” Gunawan berucap sambil menikmati pemandangan di luar jendela. Tumben sekali sore ini lengang. “Iya, Om. Terima kasih,” balas Bram. Dalam benaknya, pemuda itu bertanya-tanya, “Apa dia tidak salah?” Dari kaca spion Bram melihat Gunawan memijat keningnya. “Coba saja Stanley seperti kamu. Anak itu terlalu santai menghadapi hidup. Terl
Jakarta, 29 Maret 2018 Bram memarkir mobilnya di depan sebuah rumah berlantai dua. Jalan di depan rumah itu hanya bisa dilalui satu buah kendaraan roda empat. Itu sebabnya dia harus rela mengalah pada sebuah taksi. Sedan berwarna biru itu berpapasan di tikungan beberapa saat lalu. Dengan jantung yang berdetak tak karuan Bram memasuki pagar. Kamar Andra terletak di ujung. Tepat berbatasan dengan tembok tetangga sebelah rumah. Siang itu suasana kos-kosan Bu Rima tampak sepi. Tidak ada seorang pun yang tampak. Sebagian besar penghuninya adalah karyawati. Sisanya para mahasiswi. Pasti mereka sedang berada di tempat aktivitas masing-masing. Sekilas tak ada sesuatu yang mencurigakan. Namun, Bram tetap tak sabar untuk menemui Andra. Dia hanya ingin memastikan bahwa gadis itu baik-baik saja. Begitu tiba di depan pintu kamar Andra, lelaki itu melihat sepasang sandal perempuan. Bram tahu itu bukan milik Andra. Ukurannya terlalu besar. Pintu kamar tidak tertutup sempurna. Ada sedikit celah te
Jakarta, 29 Maret 2018 “Pak Bram? Bapak kenal dengan Mama saya?” Andra muncul di belakang Utari. Gadis itu mengernyit sambil memandang ke arah Bram dan ibunya secara bergantian. “Mama kenal atasan Rara?” “Apa? Ternyata, dia menjadi atasan Rara?” batin Utari dengan dada bergemuruh. Bram tidak menjawab. Sebisa mungkin lelaki itu bersikap tenang. Bram berharap Utari tetap diam seperti itu. Ini bukan waktu yang tepat untuk membongkar masalah yang sempat dilupakan. Ada hal yang lebih penting saat ini. Keselamatan Andra! “Oh, iya, Ra,” sahut Bram cepat. “Ibu kamu pemilik salah satu toko kue di Malioboro kan? Saya pernah mampir membeli oleh-oleh waktu berlibur ke sana.” Utari tersenyum mendengarnya. Meskipun lengkung yang tergambar di wajahnya terlihat kaku. Hampir saja perempuan itu mati berdiri. “Iya, Ra. Mama ingat. Dia pernah mampir ke toko,” timpal Utari seolah-olah mengiyakan pengakuan Bram. Andra menaikkan sebelah alisnya sambil membalas, “Oh, begitu.” “Kamu tidak apa-a
Jakarta, 25 Februari 2010 Bram memasuki sebuah restoran yang terletak di lantai paling atas sebuah pusat perbelanjaan. Matanya menilik setiap meja yang terisi. Mencari satu sosok yang membuatnya meluangkan waktu datang ke tempat itu. Rupanya, seorang perempuan menyadari kedatangannya. Dia mengangkat tangan dan melambai ke arah lelaki itu. Perempuan itu sudah sampai sejak setengah jam lalu. “Kenapa tiba-tiba Ibu berubah pikiran?” tanya Bram tanpa tedeng aling-aling. Dia baru saja meletakkan bokongnya di kursi. “Minumlah dulu. Kamu baru saja sampai,” sahut perempuan itu sambil menyodorkan buku menu. Perempuan berusia pertemgahan empat puluh itu tampak salah tingkah. Bram menukas, “Terima kasih. Tapi saya tidak punya banyak waktu.” Di benak lelaki itu terngiang peristiwa nyaris sebulan lalu. Peristiwa yang menggores perasaannya. Harga dirinya seakan dijatuhkan. Siapa lagi pelakunya jika bukan perempuan yang kini duduk di hadapannya. “Nak Bram, saya minta maaf. Saya tidak seh