Jakarta, 6 Februari 2002 Sedan silver yang Bram kemudikan baru saja keluar dari area gedung Cakrawangsa Persada. Langit Jakarta sudah meredup sejak dua jam lalu. Sinar matahari berganti cahaya lampu penerang jalan. “Bram, kamu nanti langsung pulang saja. Jemput saya lagi besok pagi,” titah lelaki berkacamata yang duduk di bagian belakang kabin. “Baik, Om,” sahut Bram. “Saya harus sampai jam berapa?” “Jam tujuh pagi. Kebetulan, besok saya ada meeting di Gatot Subroto. Kamu sekalian antar saya ke sana. Kamu tidak ada jadwal bertemu dosen kan?” “Kebetulan sedang kosong, Om.” “Besok kamu ikut saya. Kamu bisa belajar berinteraksi dengan klien-klien saya.” Gunawan berucap sambil menikmati pemandangan di luar jendela. Tumben sekali sore ini lengang. “Iya, Om. Terima kasih,” balas Bram. Dalam benaknya, pemuda itu bertanya-tanya, “Apa dia tidak salah?” Dari kaca spion Bram melihat Gunawan memijat keningnya. “Coba saja Stanley seperti kamu. Anak itu terlalu santai menghadapi hidup. Terl
Jakarta, 29 Maret 2018 Bram memarkir mobilnya di depan sebuah rumah berlantai dua. Jalan di depan rumah itu hanya bisa dilalui satu buah kendaraan roda empat. Itu sebabnya dia harus rela mengalah pada sebuah taksi. Sedan berwarna biru itu berpapasan di tikungan beberapa saat lalu. Dengan jantung yang berdetak tak karuan Bram memasuki pagar. Kamar Andra terletak di ujung. Tepat berbatasan dengan tembok tetangga sebelah rumah. Siang itu suasana kos-kosan Bu Rima tampak sepi. Tidak ada seorang pun yang tampak. Sebagian besar penghuninya adalah karyawati. Sisanya para mahasiswi. Pasti mereka sedang berada di tempat aktivitas masing-masing. Sekilas tak ada sesuatu yang mencurigakan. Namun, Bram tetap tak sabar untuk menemui Andra. Dia hanya ingin memastikan bahwa gadis itu baik-baik saja. Begitu tiba di depan pintu kamar Andra, lelaki itu melihat sepasang sandal perempuan. Bram tahu itu bukan milik Andra. Ukurannya terlalu besar. Pintu kamar tidak tertutup sempurna. Ada sedikit celah te
Jakarta, 29 Maret 2018 “Pak Bram? Bapak kenal dengan Mama saya?” Andra muncul di belakang Utari. Gadis itu mengernyit sambil memandang ke arah Bram dan ibunya secara bergantian. “Mama kenal atasan Rara?” “Apa? Ternyata, dia menjadi atasan Rara?” batin Utari dengan dada bergemuruh. Bram tidak menjawab. Sebisa mungkin lelaki itu bersikap tenang. Bram berharap Utari tetap diam seperti itu. Ini bukan waktu yang tepat untuk membongkar masalah yang sempat dilupakan. Ada hal yang lebih penting saat ini. Keselamatan Andra! “Oh, iya, Ra,” sahut Bram cepat. “Ibu kamu pemilik salah satu toko kue di Malioboro kan? Saya pernah mampir membeli oleh-oleh waktu berlibur ke sana.” Utari tersenyum mendengarnya. Meskipun lengkung yang tergambar di wajahnya terlihat kaku. Hampir saja perempuan itu mati berdiri. “Iya, Ra. Mama ingat. Dia pernah mampir ke toko,” timpal Utari seolah-olah mengiyakan pengakuan Bram. Andra menaikkan sebelah alisnya sambil membalas, “Oh, begitu.” “Kamu tidak apa-a
Jakarta, 25 Februari 2010 Bram memasuki sebuah restoran yang terletak di lantai paling atas sebuah pusat perbelanjaan. Matanya menilik setiap meja yang terisi. Mencari satu sosok yang membuatnya meluangkan waktu datang ke tempat itu. Rupanya, seorang perempuan menyadari kedatangannya. Dia mengangkat tangan dan melambai ke arah lelaki itu. Perempuan itu sudah sampai sejak setengah jam lalu. “Kenapa tiba-tiba Ibu berubah pikiran?” tanya Bram tanpa tedeng aling-aling. Dia baru saja meletakkan bokongnya di kursi. “Minumlah dulu. Kamu baru saja sampai,” sahut perempuan itu sambil menyodorkan buku menu. Perempuan berusia pertemgahan empat puluh itu tampak salah tingkah. Bram menukas, “Terima kasih. Tapi saya tidak punya banyak waktu.” Di benak lelaki itu terngiang peristiwa nyaris sebulan lalu. Peristiwa yang menggores perasaannya. Harga dirinya seakan dijatuhkan. Siapa lagi pelakunya jika bukan perempuan yang kini duduk di hadapannya. “Nak Bram, saya minta maaf. Saya tidak seh
Jakarta, 29 Maret 2018 Arloji di pergelangan tangan Bram menunjuk angka lima lewat sepuluh menit. Lelaki itu masih bertahan di depan rumah kos milih Bu Rima. Lelaki itu bersandar di kursi di belakang kemudi. Suara seorang penyiar radio menemaninya. Sesekali, Bram mengintip ke arah kamar Andra. Gadis itu menuruti perintahnya. Pintu kamarnya sejak tadi tertutup rapat. Beberapa orang penghuni kos mulai berdatangan. Mereka baru kembali dari tempat kerja masing-masing. Sebagian yang mengenali mobil Bram tampak melirik ke kaca depan. Mereka tahu lelaki itu beberapa kali datang ke mari. Beruntung sekali, Bu Rima, si pemilik kos sedang keluar kota. Kalau tidak, pertanyaan-pertanyaannya akan sedikit merepotkan. Juga membatasi ruang gerak Bram dan kedua anak buah Adhilangga. Benda pipih berwarna hitam di atas dashboard berbunyi. Melihat nama yang tertera di layar, Bram langsung menjawabnya. “Pak, kami sudah menemukan lokasi orang itu.” Begitu kalimat yang Bram dengar dari salah seor
Jakarta, 29 Maret 2018 “Ada apa ini, Pak?” tanya laki-laki berusia 60 an. Wajahnya dipenuhi kumis, cambang dan jenggot yang lebat. Helaian uban menghiasi rambutnya yang lurus pendek berpotongan curtains. Lelaki itu duduk di kursi kayu dengan tangan terborgol di belakang. Wajahnya kebingungan mendapati tiga orang di sekitarnya. Seorang lelaki berpakaian rapi ala pekerja kantoran duduk di hadapannya. Matanya menatap lurus penuh selidik. Seolah-olah siap menguliti. Sementara, dua orang lainnya berdiri di dekat pintu. Yang satu memakai jaket denim biru muda. Yang satu lagi mengenakan polo shirt abu-abu. Raut keduanya tampak lebih tenang. Kalau berpapasan di jalan, orang tidak bakal menyangka mereka adalah penculik. Lelaki itu masih belum sepenuhnya sadar apa yang sedang terjadi. Kurang lebih dua jam lalu, dia tiba-tiba digiring ke sebuah mobil jeep. Padahal, dia sedang menunggu kedatangan kereta menuju Semarang. Seseorang menodongkan moncong senjata api ke pinggangnya. Lelaki itu mau
Jakarta, 29 Maret 2018 Atas saran sang paman, Bram memutuskan pulang. Sepertinya, dia memang butuh mengistirahatkan tubuh dan pikirannya. Bram terlalu memaksakan diri sampai tidak bisa lagi berpikir jernih. Dia hampir menghancurkan semuanya. Jantung lelaki itu berdegup kencang sepanjang perjalanan pulang tadi. Suaranya terdengar sampai ke telinganya sendiri Bagaimana tidak? Dia telah melabrak orang yang salah. Bahkan, Bram sempat memakinya. Untuk menebus kesalahan, dia mengganti tiket korban salah tangkapnya itu. Juga mengantar orang itu ke rumah seorang kerabatnya. Dia bisa bermalam di sana. Lalu mengejar keretanya besok pagi. Beruntung lelaki itu bersedia menerima permintaan maafnya. Juga tidak memperpanjang kesalahpahaman yang terjadi di antara mereka. Akan tetapi, dia tampak masih shock dengan ‘penculikan’ yang dialaminya. Tubuhnya gemetar sehingga membuat Bram merasa bersalah. Orang itu memilih tutup mulut sepanjang perjalanan. Bram juga tidak lagi memaksanya untuk bicara. “L
Jakarta, 29 Maret 2018 Lantai kamar mandi yang dingin menyambut sepasang telapak kakinya. Bram melepaskan satu persatu kancing kemeja hitamnya, lalu melemparnya ke keranjang rotan di sudut ruangan. Lelaki itu berhenti di depan cermin yang tergantung di balik pintu. Mengamati sejenak pantulan dirinya. Dia mendapati sosok yang berpuluh tahun lalu pernah dibencinya. Hanya karena penolakan dari luar dirinya. Hari ini, dia sudah tidak peduli dengan penilaian apa pun yang ditujukan padanya. Itu yang menjadikannya sosok berbahaya. Tak banyak yang tahu cerita-cerita yang disimpannya. Belum pernah seorang pun berhasil menyelami samudera hatinya. Mengurai labirin di pikirannya. Semua adalah rahasia. Termasuk mengenai sebuah garis sepanjang enam sentimeter di bawah rusuk kanannya. Sebuah bekas luka yang sebagian tersembunyi. Berlindung di bawah rambut-rambut halus yang berbaris dari dada bidang hingga ke perut nyaris kotak-kotaknya. Jemari Bram meraba garis melintang itu. Merasai teksturnya.