Jakarta, 29 Maret 2018 “Ada apa ini, Pak?” tanya laki-laki berusia 60 an. Wajahnya dipenuhi kumis, cambang dan jenggot yang lebat. Helaian uban menghiasi rambutnya yang lurus pendek berpotongan curtains. Lelaki itu duduk di kursi kayu dengan tangan terborgol di belakang. Wajahnya kebingungan mendapati tiga orang di sekitarnya. Seorang lelaki berpakaian rapi ala pekerja kantoran duduk di hadapannya. Matanya menatap lurus penuh selidik. Seolah-olah siap menguliti. Sementara, dua orang lainnya berdiri di dekat pintu. Yang satu memakai jaket denim biru muda. Yang satu lagi mengenakan polo shirt abu-abu. Raut keduanya tampak lebih tenang. Kalau berpapasan di jalan, orang tidak bakal menyangka mereka adalah penculik. Lelaki itu masih belum sepenuhnya sadar apa yang sedang terjadi. Kurang lebih dua jam lalu, dia tiba-tiba digiring ke sebuah mobil jeep. Padahal, dia sedang menunggu kedatangan kereta menuju Semarang. Seseorang menodongkan moncong senjata api ke pinggangnya. Lelaki itu mau
Jakarta, 29 Maret 2018 Atas saran sang paman, Bram memutuskan pulang. Sepertinya, dia memang butuh mengistirahatkan tubuh dan pikirannya. Bram terlalu memaksakan diri sampai tidak bisa lagi berpikir jernih. Dia hampir menghancurkan semuanya. Jantung lelaki itu berdegup kencang sepanjang perjalanan pulang tadi. Suaranya terdengar sampai ke telinganya sendiri Bagaimana tidak? Dia telah melabrak orang yang salah. Bahkan, Bram sempat memakinya. Untuk menebus kesalahan, dia mengganti tiket korban salah tangkapnya itu. Juga mengantar orang itu ke rumah seorang kerabatnya. Dia bisa bermalam di sana. Lalu mengejar keretanya besok pagi. Beruntung lelaki itu bersedia menerima permintaan maafnya. Juga tidak memperpanjang kesalahpahaman yang terjadi di antara mereka. Akan tetapi, dia tampak masih shock dengan ‘penculikan’ yang dialaminya. Tubuhnya gemetar sehingga membuat Bram merasa bersalah. Orang itu memilih tutup mulut sepanjang perjalanan. Bram juga tidak lagi memaksanya untuk bicara. “L
Jakarta, 29 Maret 2018 Lantai kamar mandi yang dingin menyambut sepasang telapak kakinya. Bram melepaskan satu persatu kancing kemeja hitamnya, lalu melemparnya ke keranjang rotan di sudut ruangan. Lelaki itu berhenti di depan cermin yang tergantung di balik pintu. Mengamati sejenak pantulan dirinya. Dia mendapati sosok yang berpuluh tahun lalu pernah dibencinya. Hanya karena penolakan dari luar dirinya. Hari ini, dia sudah tidak peduli dengan penilaian apa pun yang ditujukan padanya. Itu yang menjadikannya sosok berbahaya. Tak banyak yang tahu cerita-cerita yang disimpannya. Belum pernah seorang pun berhasil menyelami samudera hatinya. Mengurai labirin di pikirannya. Semua adalah rahasia. Termasuk mengenai sebuah garis sepanjang enam sentimeter di bawah rusuk kanannya. Sebuah bekas luka yang sebagian tersembunyi. Berlindung di bawah rambut-rambut halus yang berbaris dari dada bidang hingga ke perut nyaris kotak-kotaknya. Jemari Bram meraba garis melintang itu. Merasai teksturnya.
Jakarta, 29 Maret 2018 Jarum pendek jam dinding telah berlari meninggalkan angka 12. Semua penghuni kos-kosan Bu Rima sudah berada di kamar masing-masing. Sebagian sedang berkelana di alam mimpi. Andra masih berbaring menatap langit-langit bercat kuning gading. Lampu dia biarkan menyala. Utari tidak suka berada di tempat gelap. Jika hanya sendirian, Andra lebih suka menggunakan lampu tidurnya. Andra baru saja terbangun menjelang pukul delapan. Mungkin itu sebabnya kantuk belum juga menghampiri. Usai meninggalkan Bram di teras, gadis itu memang langsung terlelap. Obat yang dia minum menuntut tubuhnya untuk beristirahat. Anehnya, malam ini badannya malah terasa segar. Padahal, dia juga menelan obat yang sama. Empat jam yang lalu, Bram menyempatkan diri meneleponnya. Memastikan kondisi gadis itu. Andra bertanya-tanya pada diri sendiri. Salahkah jika dia menyangka kalau lelaki itu memiliki rasa? Meskipun, sikap Bram yang aneh siang tadi membuatnya meragu. Mungkin lelaki itu memang seda
Jakarta, 29 Maret 2018 Utari mengangkat tubuhnya hingga duduk bertatap muka dengan Andra. Perempuan itu bimbang untuk mengutarakan apa yang seharusnya dia utarakan. Mendadak, dia menyesali perkataannya sendiri. Hampir saja dia keceplosan menceritakan rahasia yang disimpannya sampai sejauh ini. Mungkin, belum saatnya Andra tahu yang sebenarnya. Hati perempuan itu menjadi ciut membayangkan reaksi anaknya. Apa jadinya kalau Andra sampai tahu bagaimana dia bisa menyelesaikan kuliahnya? Apa sebaiknya dia tutup rapat perkaranya dengan Bram? “Mama mengerti, Ra. Kamu sudah dewasa. Pasti kamu tertarik untuk menjalin hubungan. Kamu mulai berpikir mencari teman hidup.” Perempuan itu mengulurkan tangan dan membelai rambut Andra yang dibiarkan terurai sebatas bahu. Andra menghela napas panjang. Teman hidup? Sampai di usianya yang menginjak 26 tahun sekarang ini, tidak masuk dalam daftar keinginannya hal semacam itu. Andra hanya berpikir bagaimana menjalani hidup tanpa merepotkan orang lai
New York, 12 November 2010 “Mel, aku tidak pulang. Hujan deras sekali. Lebih baik aku menginap di sini malam ini. Kamu makan saja dulu. Tidak perlu menungguku.” Perkataan Bram sesaat lalu masih terngiang di kepala Imel. Lelaki itu tergesa mengakhiri teleponnya. Dia bahkan tidak mengatakan di mana akan menginap. Sungguh menambah kepahitan yang terpaksa ditelannya usai menemukan sebuah kenyataan. Sekarang, perempuan itu duduk bersedekap di sofa sambil menyesap teh manis hangat dari cangkir keramik. Single sofa yang didudukinya menempel di dinding dan bersisian dengan jendela. Dari tempatnya, perempuan itu dapat melihat dengan jelas titik-titik di permukaan kaca. Di luar, hujan deras menjatuhi kota Manhattan. Langit tampak temaram seperti suasana hatinya saat ini. Ponselnya dia biarkan tergeletak begitu saja di lantai parket. Imel tidak sengaja menjatuhkannya. Sesekali dihapusnya sungai kecil yang mengalir di pipinya. Gerimis baru saja turun ketika Imel mendekati apartemen Bram tiga
New York, 13 November 2010 Keesokan harinya, Bram berlari di running track Central Park bersama Stanley. Mereka mencari kehangatan dari paparan sinar matahari di langit New York yang cerah. Mungkin sama seperti para pengunjung lain yang mulai berdatangan. Mereka berangkat dengan subway. Sejauh mata memandang, keduanya dimanjakan oleh lanskap yang kontras tetapi mengagumkan. Gedung-gedung yang menjulang, danau yang biru membentang, dan pepohonan yang rindang. Perpaduan antara peradaban modern dan keindahan alam. Minggu lalu, tempat ini ramai dipadati penonton lomba maraton tahunan. Bram dan Stanley sudah puas berada di antaranya. Menjadi peserta acara itu tidak masuk dalam rencana selama tinggal di sini. Sabtu pagi itu, mereka berlindung di balik jaket hoodie. Udara terasa menusuk. Itu sebabnya Bram dan Stanley terus berlari sampai hampir dua jam. “Jadi balik ke Jakarta besok, Stan?” tanya Bram ketika mereka melangkah menyusuri jalur menuju pintu keluar. Dedaunan yang berserakan d
Jakarta, 10 Februari 2010 “Sudah, Ra. Ikuti saja permintaannya. Mungkin dia utusan dari pusat untuk mengawasi kinerja kita. Daripada kita semua kena masalah,” urai lelaki dengan kemeja casua kepada Amara. “Kamu tenang saja. Saya sudah minta supervisor mengawasi kamu dari area kasir. Beri isyarat kalau dia macam-macam, atau kamu merasa terancam.” Lelaki itu menunjuk ke etalase di dalam bangunan dengan gaya minimalis yang dindingnya terbuat dari kaca. “Baik, Pak,” sahut Amara sambil menyambut daftar menu dan nota pesanan yang diserahkan sang manajer. Meskipun dengan hati bimbang, gadis itu menghampiri pelanggan yang dimaksud. Lelaki yang mereka bicarakan itu duduk di salah satu meja di pelataran restoran sejak satu jam lalu. Di tangannya sebuah koran sore membentang. Sebuah pemandangan yang terbilang langka. Di zaman serba internet seperti sekarang, ada yang masih tertarik membaca surat kabar. Satu dua pelanggan lain melirik ke arah lelaki itu. Mereka merasa tergelitik dengan penampi