Jakarta, 16 April 2018 Pagi itu, setelah menumpahkan seluruh kemarahannya, Bram meninggalkan Amara di teras samping bersama Puspa. Lelaki itu menuju ruang perpustakaan bermaksud menenangkan diri. Luka di jemari kanannya masih terbuka. Bram duduk kembali di hadapan laptop yang diletakkannya di meja di depan jendela. Dari tempat itu Bram bisa melihat dedaunan hijau bergoyang-goyang dijatuhi titik-titik hujan. Pemandangan sederhana yang sedikit meredakan kegusarannya. Bram tahu apa yang telah dilakukannya berlebihan. Dia menyalin data-data dari ponsel Amara. Namun, Bram perlu memastikan Amara tidak membahayakan langkahnya. Lelaki itu memberi akses kepada Vanty supaya bisa memeriksa semua yang diperolehnya. Bram ingin mendengar kesimpulan perempuan itu. Bram sedang tidak dapat berpikir jernih. Tak lama kemudian, nada panggil di messenger-nya berbunyi. Vanty mencoba menghubungi untuk kelima kalinya. Empat panggilan sebelumnya Bram abaikan karena belum siap berbicara, Kali ini lelaki it
Jakarta, 8 September 2017 “Pak Bram…,” desah gadis itu sambil menciumi wajah lelaki di hadapannya. Matanya memejam. Bibirnya mencari-cari bibir lelaki itu. Kedua tangannya dikalungkan di leher lelaki itu. Dia terkikik akibat sensasi aneh yang berputar di perutnya. Tubuhnya seperti melayang. Pikirannya terbang entah ke mana. “Pak Bram tahu tidak? Saya sangat menyukai Bapak.” Lelaki di depannya berdecak lalu memegangi kedua sisi kepalanya. Menahan wajah gadis itu sampai berhadapan dengan wajahnya. Berharap gadis itu mengenalinya. “Berhentilah memanggil namanya, Cantik. Apa kamu tidak bisa melihat aku?” bisik lelaki itu di telinga si gadis. Namun, kata-kata yang diucapkan lelaki itu menjadi percuma. Mata gadis itu terpejam. Dia tidak sadar akan apa yang dilakukannya. Dia bahkan tidak tahu semua kancing blouse yang dikenakannya sudah terlepas. Dia duduk di pangkuan lelaki itu sampai rok yang dikenakannya tersingkap. Tangan lelaki itu menyusup ke balik blouse-nya dan mengelusi punggung
Jakarta, 16 April 2018 Sopir pribadi Adhilangga membawa mobil menuju sebuah rumah sakit. Lokasinya tak jauh dari gedung Cakrawangsa Persada. Amara yang memintanya sebelum Bram kembali dari menemui Raymond. Gadis itu khawatir Bram mengalami cedera akibat perilaku impulsifnya pagi tadi. Bram menurut saja saat Amara mengajaknya turun di depan ruang IGD. Tidak ada tulang yang patah. Akan tetapi, bagian punggung jari tangannya mengalami memar otot sehingga harus dibebat. Kurang lebih satu jam kemudian, mereka kembali ke mobil. Bram naik ke kabin penumpang. Di sisi lain yang tidak tepat di belakang supir. Lelaki itu menepuk jok di sampingnya. Meminta Amara duduk mendekat. Meskipun jengah Amara bergeser. Bram meraih kepala gadis itu dan disandarkan ke bahunya. “Maafkan aku.” Hanya itu yang dapat Bram ucapkan. Tengorokannya seakan tersekat. Dikecupnya puncak kepala Amara dalam-dalam. Luapan sayang bercampur rasa bersalah. Kelembutan hati gadis itu membuat hati Bram yang sempat membeku k
Jakarta, 7 Februari 2018 Makanan di meja mereka sudah tandas. Perut Amara terasa penuh. Beberapa saat lalu, Bram memaksanya menghabiskan lauk-pauk yang dipesannya. Lelaki itu juga menuangkan lagi satu sendok nasi ke piringnya. Sekarang, Amara jadi banyak menguap. Rupanya, Bram memperhatikan. “Kita pulang setelah agak lengang, ya, Ra,” dalih lelaki itu sambil mengaduk-aduk minuman hangat di depannya. Sebenarnya, bukan masalah lalu lintas yang jadi pertimbangan Bram. Orang yang mengikuti mereka dengan minibus silver itu yang Bram khawatirkan. Orang itu membuntuti mereka. Bram tahu itu. “It’s okay, Pak. Nggak apa-apa,” sahut Amara. Padahal, dalam hati gadis itu menyesal. Semestinya, Amara bertahan untuk pulang dengan taksi saja. Pasti sekarang Amara sudah berada di kamarnya yang nyaman. Amara juga tidak perlu menghadapi rentetan pesan yang tiba-tiba tidak henti masuk ke ponselnya. Perbuatan yang dilakukan oleh seorang lelaki gila yang rupanya mengutus orang untuk menguntit mere
Yogyakarta, 16 April 2018 Seperti hari-hari biasa, sebuah pusat oleh-oleh di kawasan Malioboro itu disinggahi pengunjung yang datang dan pergi. Tempat itu terdiri dari dua lantai. Lantai bawah diisi dengan etalase aneka panganan khas Yogyakarta. Bersanding dengan sebuah café yang menyediakan menu tradisional. Café itu menyediakan sepuluh meja yang masing-masingnya terdiri dari empat buah kursi. Semua furniturnya terbuat dari kayu jati dan dipesan dari Jepara. Di lantai atas, para pengunjung bisa membeli atau sekadar melihat-lihat bermacam produk kerajinan tangan. Termasuk pakaian jadi yang dibuat dari batik tulis. Siang itu langit berawan. Seorang lelaki yang sudah terbilang sepuh memasuki tempat itu. Meskipun tak lagi muda, dia masih tampak gagah. Seorang perempuan berusia akhir lima puluhan menggamit lengan kirinya. Perempuan itu juga masih terlihat ayu walaupun sejumput helaian putih menghiasi rambutnya yang disanggul sederhana. Sepasang orang tua itu langsung menuju ke area café
Jakarta, 16 April 2018 Sesampai di rumah Bu Rima, Amara mengambil beberapa pakaian dan barang-barang. Bram bilang tidak perlu memindahkan semua isi kamarnya hari ini juga. Mereka juga belum bicara dengan sang pemilik rumah kalau Amara akan keluar dari sana. Kebetulan, hari ini Bu Rima sedang tidak ada. Setelah selesai berkemas-kemas, Amara ikut dengan Bram. Pengawal Adhilangga berpamitan pulang. Tempat tinggalnya ternyata tak jauh dari rumah Bu Rima. Anak buah Adhilangga yang lain sudah dibebaskan dari tugas sejak kemarin. Saat itu, Amara baru tahu kalau selama ini ada orang-orang yang menjaganya. "Aku hanya ingin melindungimu," terang Bram ketika mendapati Amara merengut sebagai protes. Gadis itu merasa Bram sudah mengerjainya selama ini. "Apa menjadi kekasihmu seberbahaya ini? Sampai dua orang bersenjata api harus berkeliaran di sekitarku?" timpal Amara. Dia hanya ingin mendapat jawaban dari rasa ingin tahunya. Tidak bermaksud lain. Amara pikir hanya gangguan dari Raymond yang h
Yogyakarta, 16 April 2018 Utari berjalan mondar-mandir di kamarnya. Perasaannya tidak menentu. Malam hampir larut. Panggilan yang dia tujukan pada nomor putrinya tidak juga terhubung. “Rara, kamu lagi di mana? Tega sekali kamu sama Mama,” keluh perempuan itu seraya mengempaskan tubuhnya ke sisi tempat tidur. Siang tadi, Baswara datang mengunjungi Utari. Lelaki itu menceritakan banyak hal yang membuat perempuan itu mengelus dada. Utari baru saja mengunjugi Amara bulan lalu di Jakarta. Anak itu tampaknya setuju untuk mencari pekerjaan di tempat lain. Rupanya, Amara hanya bermaksud menenangkan hati Utari. Bukannya menjauhi Bram, dia malah pergi ke sana kemari dengan lelaki itu. Bahkan anak itu berani sekali menerima lamaran Bram. Meskipun belum merupakan lamaran resmi. Jangan-jangan, apa yang dikatakan oleh Baswara benar adanya. Anak semata wayangnya, yang begitu dia jaga selama ini, sekarang sedang bersama anak lelaki itu. Utari menggeleng sambil memegangi kedua sisi kepalanya.
Jakarta, 13 April 2018 Kejutan ulang tahun yang Bram terima hari ini belum selesai. Setelah berpamitan pada Amara, lelaki itu langsung meluncur ke rumah ayahnya. Arya sudah mengatur jadwal pertemuan mereka. Memang agak sedikit larut karena semua anggota keluarga baru kembali dari aktivitas masing-masing. Rupanya, kakak-kakak ipar dan ibu tirinya sudah menyiapkan acara syukuran kecil-kecilan. Kekosongan yang merasuk karena ketiadaan Hapsari dan Talitha sedikit terobati. Jika mereka tidak ada, mungkin perayaan ulang tahun untuknya tidak pernah ada. Seketika, Bram menyadari sesuatu. Sebuah keputusan yang sedang diambilnya sudah tepat. Bram memang membutuhkan kehadiran seorang perempuan dalam hidupnya. Makhluk sensitif dan lembut yang menyadari hal-hal kecil yang luput dari perhatiannya. Yang memberi sedikit warna bagi hidupnya yang abu-abu. Bram sudah menemukan perempuan itu. Seusai acara, Bram meminta izin untuk bicara dengan sang ayah. Dia juga mengajak kedua kakak dan pamannya. Par